Awal tahun 2018, tepatnya pada akhir januari lalu, nampaknya remaja khususnya di Indonesia sedang dilanda ‘demam’ salah satu film yang sedang booming. Seolah terhipnotis dengan adegan-adegannya, hingga lupa masalah yang sedang terjadi di negeri sendiri. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi remaja berlaku demikian? Lalu bagaimana mestinya gambaran remaja yang ideal?
Remaja Kini
Manisnya kisah cinta remaja SMA menjadi suguhan utama dalam film Dilan 1990 yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Pidi Baiq. Penggambaran kehidupan remaja di masa SMA pun masih terasa masuk akal. Dari tingkah nakal remaja yang membolos, berpakaian tidak rapi, memiliki konflik dengan guru atau teman sebaya dan lainnya. Secara keseluruhan, film ini setidaknya terasa tepat untuk menjadi hiburan bagi para remaja dan masih dapat dinikmati untuk sekadar bernostalgia. (cnnindonesia.com, 26/01/2018)
‘Dilan 1990’ merupakan film drama Indonesia yang baru saja rilis tahun 2018. Film ini dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla dan merupakan film yang paling ditunggu-tunggu oleh penikmat film yang ingin bernostalgia pada masa mudanya. Film tersebut menceritakan kisah percintaan dua pasang anak muda yang tinggal di Bandung dengan latar belakang tahun 1990. (tribunnews.com, 28/01/2108)
Remaja dan Masalahnya
Film Dilan secara umum sebenarnya sama saja dengan film-film yang lainnya. Film yang menggambarkan tentang kehidupan remaja yang berkutat soal pergaulan dan romantisme cinta di masa muda. Tentunya apalagi kalau bukan budaya cinta yang tak semestinya dijalani tanpa sebuah ikatan yang resmi. Begitu juga, sebagaimana gambaran remaja masa kini lainnya yang tentu tak perlu dicontoh, tapi itu tidak menjadi perkara yang utama, karena dalam pembuatan film dalam sistem saat ini tentu ada kepentingan kapitalis di balik produksi film-film genre remaja sekaligus sebagai objek pasar yang menggiurkan.
Selain itu, tentu yang paling penting adalah perang budaya yang sedang dilancarkan oleh kaum kapitalis sekuler kepada negeri-negeri yang mayoritas Muslim. Karena menjadi incaran yang pas, sekaligus remaja dijadikan sebagai objek propaganda tentang budaya-budaya barat yang pastinya tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya ketimuran yang masih begitu kental dalam menjaga nilai-nilai kesopanan dan agama. Karena melalui film-film, baik produksi dalam negeri maupun luar, semuanya merupakan sarana empuk dalam mengenalkan budaya-budaya ala barat yang jauh dari nilai budaya timur.
Disamping itu, melalui tayangan film-film yang merupakan sarana paling cocok dalam mempromosikan budaya ala barat seperti pergaulan bebas, begitu juga dengan fashion. Sehingga remaja dengan sangat mudahnya akan membebek dengan apa yang telah mereka tonton dan dijadikan sebagai tren yang tak jarang menjamur dikalangan remaja. lebih miris lagi mereka bangga dengan hal itu, karena jika tidak, dapat dikatakan tak gaul dan kekinian.
Gambaran Remaja Ideal
Remaja merupakan tongkat estafet, pelanjut perjuangan dan cita-cita yang akan meneruskan mimpi para generasi sebelumnya. Apa jadinya, jika generasi yang seharusnya menjadi penerus masa depan tidak dapat diandalkan, baik dari sisi sains, teknologi apalagi minim tentang pengetahuan agama. Tentu telah terbayang bagaimana kehidupan mereka kedepannya.
Imam Syafi’i mengatakan, Sungguh pemuda itu distandarisasi dari kualitas ilmu dan ketakwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya. Ia tidak layak disebut pemuda. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan.
Begitu juga, Sebagaimana gambaran seorang remaja yakni Ibnu Abbas, begitu ia biasa dipanggil, dalam sehari ia menerima banyak ilmu. Bak kata pepatah, sekali dayung tiga empat pulau terlampaui, wejangan Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran akidah, ilmu dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan. Ia lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, 13 tahun umurnya. Meski Rasulullah telah berpulang, semangat jihad tak boleh berkurang. Maka ia pun mulai melakukan perburuan ilmu.Didatanginya para sahabat senior. Ia bertanya pada mereka tentang apa saja yang perlu ditimbanya. Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, hingga kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Karena ketinggian ilmunya itulah, ia kerap menjadi kawan dan lawan diskusi para sahabat senior. Umar bin Al-Kathab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar karena keilmuannya. Sampai-sampai Amirul Mukminin kedua itu memberi julukan kepada Ibnu Abbas sebagai “pemuda tua”.
Dengan demikian, remaja yang ideal sulit terwujud dalam kondisi saat ini yang jauh dari nilai-nilai agama. Olehnya itu, semua hal tersebut tentunya sangat mudah terealisasi, jika aturan yang ada senantiasa berpedoman pada aturan-Nya, karena yang tahu baik buruknya sesuatu tentang hamba adalah yang menciptakn hamba. Tentu hal tersebut akan dapat dirasakan bila aturan-Nya dapat diterapakan dalam seluruh lini kehidupan. Sehingga akan terwujud Islam rahmatan lil a’lamin. Wallah a’lam bi ash-shawab. ***
Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
Penulis merupakan Guru SMA Negeri di Kabupatem Konawe