Dilema, Antara Mengkritik dan Ujaran Kebencian

Dilema, Antara Mengkritik dan Ujaran Kebencian
Drg Endartini Kusumastuti

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menghukum Kolonel HS dan Sersan Z, akibat istri mereka mengungggah postingan nyinyir terkait kasus penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto. Keduanya mendapatkan hukuman disiplin pemberhentian dan diganjar sanksi militer berupa penahanan ringan selama 14 hari. (www.zonasultranews.com, 11/10/2019)

Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, kasus pencopotan dua anggota TNI akibat postingan istri mereka bernada nyinyir, harus mengutamakan asas praduga tak bersalah. Menurut dia, seharusnya ada penyelidikan terlebih dahulu sebelum pemberian hukuman disiplin.Oleh karena itu, menurut Khairul, kasus pencopotan Dandim Kendari ini sekali lagi menunjukkan bahwa peraturan disiplin militer sarat dengan ketentuan-ketentuan karet, multitafsir, dan sangat mungkin digunakan untuk tidak saja mengelola kepatuhan. Lebih dari itu, dapat digunakan untuk menakut-menakuti dan mengintimidasi prajurit dan keluarganya, serta menganggap keluarga prajurit (sipil sekalipun) adalah subordinat TNI.Ia menyebutkan, penyelenggaraan hukum disiplin militer dilaksanakan berdasarkan asas. Di antaranya keadilan, pembinaan, persamaan di hadapan hukum, praduga tak bersalah, hierarki, kesatuan komando, kepentingan militer, tanggung jawab, efektif dan efisien, serta manfaat.(www.republika.co.id, 12/10/2019)

KEKUASAAN DALAM DEMOKRASI MEMBUNGKAM KRITIK KEPADA PENGUASA

Terkait dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan kritik kepada pemerintah, menarik mengutip pendapat pengadilan dalam kasus Hector melawan Attorney General of Antigua and Barbuda sebagaimana dinyatakan oleh Lord Bridge:

“Dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, tentu saja orang-orang yang mempunyai jabatan dalam pemerintah dan yang bertanggung jawab atas administrasi publik harus selalu siap dikritik. Semua percobaan untuk memberedel atau membatasi kritikan tersebut merupakan penyensoran politik yang licik sekali dan tidak dapat diterima.”

Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2005. Ratifikasi ICCPR membuat Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang diatur di dalamnya. Pasal 19 ICCPR telah mengatur dan menjamin hak setiap orang untuk berpendapat yang mencakup hak kebebasan mencari, menerima, memberikan informasi dan pemikiran apapun baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.Di negeri ini, kritik kerap dianggap sebagai bentuk kebencian, usaha mempertanyakan dianggap bentuk protes, dan setiap protes seringkali mendapatkan usaha pembungkaman. UU ITE berpotensi menjadi sebuah alat sensor, dan sensor selamanya hanya akan mengekalkan kebebalan. UU ITE tidak lebih baik daripada pseudo liberal yang mengaku memuja pluralisme tapi merayakan pemberangusan pada paham-paham yang tidak disukainya. UU ITE digunakan oleh banyak orang untuk membungkam kritik terhadap kebijakan publik. Dalam kasus Mirza, ia mengemukakan pendapat terhadap kebijakan publik yang dianggap tidak berjalan dengan baik. Dalam konteks ini, UU ITE menjadi sensor, digunakan untuk membungkam masyarakat yang ingin mengemukakan pendapat.

Mendorong pengadilan untuk menerapkan ICCPR di setiap kasus pelanggaran UU ITE yang berkaitan dengan hak kebebasan berpendapat akan berpengaruh besar terhadap putusan hakim yang mampu memberi keadilan dan sebagai cara untuk melindungi hak berpendapat warga negara. Selain itu penerapan dapat memaksimalkan fungsi pengawasan pengadilan terhadap kewajiban hukum negara yang diatur dalam ICCPR, serta menghargai keberadaan hukum Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang memiliki kekuatan hukum dan nilai moral yang tidak dapat dikesampingkan.

Terakhir, perlindungan hak kebebasan berpendapat tidak hanya menjadi tugas bagi pengadilan, tapi juga kepolisian sebagai alat negara, yang dituntut untuk memperhatikan ketentuan hukum hak kebebasan berpendapat sebelum melakukan penyelidikan dan penyidikan dari sebuah laporan.

Pengamat terorisme dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Sidratahta Mukhtar menyebut ada masalah intelijen dalam kasus penusukan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto. Informasi intelijen soal pelaku penusukan SA alias Abu Rara tidak terdistribusi dengan baik.Menurut Sidratahta, seharusnya sebelum Wiranto datang ke lokasi acara di Pandeglang, Banten, ada tukar informasi intelijen. Jadi, ada tindakan pencegahan sebelum terjadinya penyerangan.(www.republika.co.id, 12/10/2019)

Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) cenderung digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik. Saat ini sudah ada banyak korban pasal-pasal karet UU ITE.Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, sejak pertama diundangkan pada 2008 dan sampai 31 Oktober 2018, UU ITE sudah memakan sekitar 381 korban.Menurut Regional Coordinator SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), Damar Juniarti, sejak UU ITE pertama kali diundangkan pada tahun 2008 sudah memakan banyak korban. Kebanyakan korban yang dijerat dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2). Dalam catatan SAFEnet juga diketahui, sebanyak 90% pengenaan UU ITE dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sisanya dengan tuduhan hatespeech (ujaran kebencian).Biasanya, UU ITE menyasar pada pelaporan yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, termasuk aparat negara maupun pemerintah. Pola pemidanaan kasus UU ITE pun ada bermacam-macam.Di antaranya seperti dengan bentuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy dan persekusi kelompok.Banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik secara online dapat ditujukan pada satu kelompok masyarakat, suku, atau agama.

ISLAM MENJAGA HAK BERPENDAPAT, TANPA MERENDAHKAN MARTABAT

Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE bersifat subyektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya.Penilaian subyektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih obyektif. Jangan sampai UU ITE malah membungkam masyarakat yang hendak melakukan kritik atau koreksi terhadap kebijakan atau permasalahan publik yang bermasalah.

Dalam praktiknya, UU ITE lebih sering digunakan untuk menjerat orang-orang yang mengkritisi permasalahan sosial. Padahal, orang-orang tersebut warga negara yang sedang menyuarakan pendapat.Kebebasan berpendapat telah dijamin dan diberikan kepada tiap warga negara oleh undang-undang. Dalam hal ini, UU ITE justru lebih sering memenjarakan warga ketimbang digunakan untuk fungsinya.Savenetvoice menganggap Pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan pisau bermata dua. Selain berpotensi diselewengkan sebagai alat sensor, ia kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya kebebasan mengemukakan pendapat.Sebab, alih-alih melindungi masyarakat dari bahaya penyebaran kebencian, yang ada malah pengekangan terhadap masyarakat agar tidak melakukan kritik sosial.

Mengemukakan pendapat dalam Islam juga dikaitkan dalam saling menasihati yang merupakan pokok agama Islam. Nabi Muhammad berkata bahwa Agama adalah nasihat, termasuk nasihat kepada pemimpin kaum muslimin. “Jangan melarang seseorang memberikan hak kepada manusia untuk mengatakan kebenaran jika dia mengetahuinya.” Sabda Nabi Muhammad. Dilihat dari apa yang dicontohkan Nabi Muhammad terlihat bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi mengemukakan pendapat. Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, ada seorang wanita yang menyampaikan pendapat pada khalifah dengan menolak pendapat khalifah, dan Umar sang khalifah tidak melarang wanita tersebut berpendapat. Bagaimana dengan praktek kebebasan pendapat umas muslim saat ini. Dinegara demokrasi, sebagian umat Islam memadukan ajaran Nabi Muhammad tentang kebebasan berpendapat dengan demokrasi. Padahal sungguh berbeda kebebasan pendapat pada demokrasi dan kebebasan pendapat dalam Islam. Dalam demokrasi semua hal dapat diperdebatkan, dalam suatu forum mengemukakan pendapat seseuatu yang haram dalam agama boleh diputuskan legal dilakukan dan sebaliknya sesuatu yang halal dapat menjadi haram. Berbeda dalam Islam, mengemukakan pendapat, bermusyawarah hanya boleh untuk urusan yang mubah. Sedang sesuatu yang sudah ditetapkan Allah/Hukum syara/Aturan Islam tidak diperbolehkan untuk diperdebatkan, divoting dan diputuskan hasil akhirnya dengan suara terbanyak. Sedangkan masalah teknologi Islam menyuruh umat nya untuk menyerakan nya pada ahli nya. Hal ini berdasar dalil Al-quran,

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” AL Maidah ayat 49.

Dari sini dapat dilihat bahwa Islam mengatur dengan lengkap bagaimana hak warga negara untuk menyampaikan pendapat kepada pemegang kebijakan dan persoalan sosial. Dan Islam sangat menjaga kehormatan masing-masing individunya untuk menyampaikan pendapat tanpa mengumbar aib dan kejelekan orang lain.

“Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selalu ia menolong saudaranya.” [HR. Tirmidzi]

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” [Shahih Muslim]

Wallahua’lam bishowwab

 


Oleh : Drg Endartini Kusumastuti
Penulis adalah Praktisi Kesehatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini