Dunia politik praktis bergerak sangat dinamis. Reformasi politik di Indonesia memberikan ruang yang sangat lebar bagi dinamika tersebut melalui berbagai regulasi dibidang politik, termasuk sistem pemilihan kepala daerah.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat, dalam hal ini diyakini merupakan sesuatu yang konstruktif dari sistem demokrasi. Kebijakan ini, selain menyajikan harapan baru terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan ekspektasi rakyat, pada kenyataannya juga menghadirkan problematika yang cukup kompleks.
Jikallau terwujud kesejahteraan rakyat melalui pemilihan langsung, sementara streotype negatif pun semakin populer disematkan pada esensi politik. Seperti tersimpul dari ketraumaan bahwa “politik itu kotor” dan berbagai realitas seperti politik uang, politik transaksional, dan sebagainya. Ini tidak lain karena kenyataannya politik telah menjadi instrumen bagi oportunisme dan pragmatisme kalangan elit.
Politik dijadikan ladang mata pencaharian dan menumpuk kekayaan. Maka buahnya adalah praktek korupsi dan perilaku busuk lainnya. Tujuan politik untuk kesejahteraan rakyat pun terabaikan dan bagi rakyat, demokrasi hanya menjadi isapan jempol belaka. Oleh karena itu, membicarakankan moralitas dalam ranah politik sebenarnya menjadi sesuatu yang absurd.
Arus perubahan dan perebutan kekuasaan dalam sistem demokrasi mengharuskan seorang calon kepala daerah terlibat dalam kontestasi untuk meraih simpatimayoritas dari rakyat. Dalam proses ini berbagai cara dilakukan, termasuk cara-cara yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai moral. Masyarakat kadang disuguhi dengan citra palsu sang calon melalui polesan media kampanye, membeli suara dengan materi, sampai dengan kecurangan dalam proses pemilihan dan penghitungan hasilnya itu biasa terjadi. Fenomena seperti ini sesungguhnya sudah mengingkari nilai-nilai moral yang berlaku umum, yakni kejujuran. Proses ini tentu juga melibatkan sumberdaya yang luar biasa besar, termasuk dari segi pembiayaan.
Besarnya biaya kontestasi ini mendorong calon pemimpin untuk mengundang atau melibatkan partisipasi kelompok-kelompok kepentingan (bisnis) terlibat dalam hubungan mutualistik dengan calon kepala daerah. Dapat diduga kelompok ini akan mendapatkan previlage dari kebijakan sang kepala daerah apabila terpilih nantinya. Belum lagi berbagai kelompok kepentingan lain yang mengusung atau mendukung penyuksesan kepala daerah dalam pilkada ini. Kelompok-kelompok ini tentu saja berkepentingan untuk memperoleh bagian kekuasaan di kemudian hari, baik berupa jabatan atau lainnya.
Hal-hal tersebut akan sangat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di kemudian hari dan mendorong kepala daerah untuk berlaku diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena yang demikian berlawanan dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi tanggung jawabnya jika terpilih pada akhirnya.
Proses yang demikian itu, sangat berpotensi memunculkan tindakan koruptif.
Lazimnya, korupsi selalu melibatkan banyak orang di dalam lingkaran kekuasaan. Konsekwensi politik ekonomi dari Kepala Daerah terhadap jasa para pihak yang berkontribusi dalam kontestasi pilkadaseringkali membuat kepala daerah terlibat dalam kisaran korupsi. Hal ini sudah terbuktidari banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah selama kurun waktu belakangan ini.Problem lainnya adalah, bahwa pemimpin yang dihasilkan oleh sistem seperti ini tidak secara kokoh bertumpu pada kompetensi dan integritas untuk memimpin penyelengaraan pemerintahan.
Sementara orang yang berkompeten dan berintegritas tinggi tetapi tidak memiliki akses politik terhadap kekuatan-kekuatan politik (dan tentu saja ekonomi) dapat dipastikan tidak akan masuk dalam jaring kontestasi Pilkada dalam Pusaran Arus Perubahan. Karena dalam sistem pilkada langsung, hal yang paling penting adalah dukungan politik. Hal ini diperparah dengan semakin kuatnya peran media massa dalam pencitraan sang calon kepala daerah.
Menguatnya fungsi media disatu sisi bisa berdampak positif bagi pencerahan warga masyarakat untuk mengenal lebih dekat calon-calon pemimpin mereka. Akan tetapi di sisi lain, sulit dipungkiri bahwa media massa dewasa ini juga sebagian masih banyak yang bersifat tidak independen dan seringkali dimanfaatkan untuk melakukan politik pencitraan oleh satu kekuatan politik dan sarana melakukan kampanye negatif untuk lawan politiknya.
Hasilnya citra sang calon pemimpin menancap dalam kesadaran semu masyarakat dan untuk selanjutnya bahkan mereduksi daya kritis masyarakat dan melahirkan fanatisme. Media sepertiini justru turut aktif melakukan pembodohan masyarakat.
Persoalan moralitas terkait dengan kekuasaan dalam politik ini tidak semata-mata soal latar belakang pendidikan, ekonomi atau agama dari para elit. Karena pada kenyataannya wilayah kekuasaan politik ini banyak pula dihuni oleh orang-orang dari latar belakang pendidikan tinggi, mapan secara ekonomi, atau bahkan orang-orang yang kelihatan sangat Agamais dalam kesehariannya. Hal ini sekaligus menjelaskan realitas paradoks, terutama dalam bidang keagamaan. Karena tentu layak dipertanyakan bagaimana bisa ada korelasi positif atau benang merah antara tingkat kesalehan dalam agama dengan perbuatan tidak bermoral dalam politik.
Prilakuelit politik dalam proses demokrasi seperti tergambar di atas berhubungan timbal balik dengan pergeseran nilai-nilai moral dalam masyarakat. Dinamika politik merupakan cerminan dari konstruksi sosial politik masyarakat, dan demikian pula sebaliknya. Tampaknya, kondisi ini berangsur-angsur menimbulkan budaya politik yang oleh GunardMyrrdal (1995:33) digambarkan sebagai budaya yang lembek.
Indikatornya antara lain lemahnya disiplin, lemahnya etika dan moral anggota-anggotanya, korupsi merajalela, disiplin hukum dan undang-undang serta peraturan amat kendur, munafik, erosi nilai berlangsung terus, mudah disogok dan lainnya. Dengan demikian, moralitas yang mendasari perilaku politik para elit kemudian bermetamorfosis menjadi budaya politik dan menjadi bagian dari masyarakat.
Budaya politik pada dasarnya merupakan suatu pengertian yang deskriptif. Dia hanyamenggambarkan apa yang terjadi dalam tingkah laku politik, tanpa terlalu mempersembangkan apakah tingkah laku tersebut sesuai atautidak sesuai dengan nilai-nilai moral.
Budaya politik menjadi argumen atau dalih ilmiah untuk membenarkan praktek politik yang sedang berjalan. Masalahnya timbul karena nilai-nilai dan kebiasaan tersebut dianut oleh sekelompok orang yang relatif berkuasa dan berpengaruh secara politik. Akibatnya nilai-nilai, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial ini dengan mudah menyebar, diikutidan diterima oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. Masyarakat kemudian kelihatan lebih permisif terhadap politik uang dan kehilangan daya kritisnya terhadap pemimpin. Kekuasaan politik yang tidak berakar kuat pada nilai-nilai etis memberikan kontribusi besar terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Maka, bagaimana mungkin berharap masalah-masalah kesejahteraan sosial sepertikemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan bidang-bidang kesejahteraan masyarakat lainnya akan terselesaikan apabila krisis moralitas dalam kekuasaan politik initidak terpecahkan.
Problem moralitas dalam asas politik dan realitas keterpurukan dalam multidimensi yang dialami bangsa ini semakin memperkuat bahwa krisis ekonomi, sosial, politik dan lingkungan hidup berakar dari krisis moralitas bangsa itu sendiri.Sesungguhnya moralitas adalah esensi dari kehidupan itu sendiri. Maka politik tidak bermakna tanpa landasan moral. Moralitas disini adalah sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan, tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan, pengalaman bukan hafalan, kenyataan bukan penataran, kata hati bukan diskusi, esensi bukan teori, realitas bukan identitas, afektif bukan kognitif, aplikatif bukan normatif, amaliyah bukan ilmiah, dan seterusnya.
Sebagaimana hukum yang tidak akan berartibanyak tanpa dijiwai nilai-nilai moral, maka politik juga demikian.
Ada dua alasan yang dapat diajukan untuk mendukung pernyataan itu.
PERTAMA:
Tanpa moralitas politik akan kosong. Kualitas politik sebagian besar ditentukan oleh mutu moral. Karena itu politik harus diukur dengan norma moral. Sistem politik yang amoral (tidak memiliki relevansi moral) atau immoral (tidak sesuai dengan nilai etis masyarakat) harus diganti, bila kesadaran moral pada masyarakatnya telah mencapai tahap yang cukup matang.
KEDUA:
Sistem politik ditopang oleh kekuasaan para politisi yang seharusnya menegakkan perilaku etis dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Akan muncul kontradiksi besar seandainya perilaku mereka tidak etis, karena jelas bertentangan dengan tujuan politik mewujudkan kemaslahatan umum, sementara kemaslahatan umum adalah nilai etis yang bersifat universal.
Kekuasaan dalam hal ini sudah seharusnya dijalankan dalam koridor moralitas politik. Moralitas politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dan dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. (Frans MS : 1991) Terkait dengan itu, koridor moralitas politik tersebut sekurang-kurangnya berpijak pada, kedudukan penguasa atas rakyat adalah sebagaimana kedudukan wali atas anak yatim. Para elit politik mestimemiliki kesadaran bahwa jabatan politik yang sedang didudukinya adalah bukan hibah apalagi kebanggaan, tetapi justru amanat yang berat untuk menyejahterakan rakyat. Sebab itu, kekuasaan tertinggi hakikatnya ada di tangan rakyat, tapi bukan miliknya. Semangat pengabdian, kecintaan dan kasih sayang kepada rakyat seharusnya menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, tentang kemaslahatan rakyat. kebijakan penguasa atas rakyat mesti diorientasikan bagi kemaslahatan.
Kaidah ini adalah cambuk pedas bagi penguasa dan elit politik lainnya yang gemar memanipulasi kepentingan, yakni memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Dalam perspektif keagamaan, moralitas politik tidak cukup dicapai dengan mewujudkan kesalehan individu dan kesalehan sosial, tetapi perlu juga mengembangkan “kesalehan publik”. Kesalehan ini mensyaratkan kesadaran akan keberadaan diri sebagai khalifah melalui antara lain, kerja-kerja politik untuk mewujudkan titah TUHAN bagi sebesar-besar kesejahteraan umat manusia.
Wassalam
Oleh : Suranto Sanusi
Penulis adalah Pemerhati Politik