Megah, besar, dan tak terlalu tua . Bangunan itu ada dibagian ketinggian beberapa meter dibanding tanah sekitarnya. Dibeberapa bagian anak tangga berundak-undak hampir mengelilinginya. Nampak di depannya kokoh gerbang setengah jadi dilapisi semen kasar berikut coretan vandal melumurinya. Dipelataran selatannya ada beberapa makam, sakral dengan nisan stalagmit raksasa. Tertulis nama Wa Ode Ghito yang wafat pada tahun 1963, dalam usia 120 tahun. Bersandingan dengan makam La Ode Manenti Woro, yang konon itu adalah cucu kesayangannya.
Bangunan itu begitu familiar di Pulau ini. Orang biasa menamainya Masjid Muna. Di sistem informasi masjid Kementerian Agama Republik Indonesia, masjid bernama resmi Masjid Agung Al-Munajat.
Tampilannya tak setua sejarahnya. Dalam sebuah literatur, disebutkan masjid ini dibangun pada masa pemerintahan La Ode Huseini (Gelar Omputo Sangia) yang memerintah di tahun 1716-1757. Kemudian dipermanenkan dimasa pemerintahan La Ode Dika (gelar Komasigino) disekitaran tahun 1933.
Di era kemerdekaan, rehabilitasi membuat bangunannya terombak total dari segi ukuran dan bentuk. Itu terjadi di masa pemerintahan Bupati Maola Daud di tahun 1980-an. Hingga kemudian diera Bupati Ridwan B.A.E tahun 2000-an diupayakan kembali kebentuk asalnya, walau tampilannya tak begitu berjejak historis lagi.
**
Kemarin malam, Ibu Anjul bercerita untukku. Kebetulan sorenya ia beserta keluarganya berkunjung di Masjid Muna. Dalam ceritanya yang begitu panjang ia lebih banyak menggeleng. Tak ketinggalann dengan tarikan nada keluhnya.
Ia menggambarkan kondisi Masjid Muna saat ia kunjungi. Katanya, disekeliling Masjid, manusia tumpah ruah. Mobil-mobilan muncul berpakir bak cendawan dimusim hujan. Beberapa aparat berseragam beda warna terlihat bersiaga. Suasana seperti pesta, wisata. Hujan senyum dan salaman mewarnai. Begitupula dengan sampah yang membanjir.
Tawa ria berkumandang didalamnya. Nampak bocah beralas kaki berkeliaran sana-sini. Disudut kiri-kanan, cemilan berserakkan meluber kelantai. Tak ketinggalan bau pesing yang menampar hidung. Tua-muda bersendal pun bersepatu hilir-mudik. Ada yang bersila berebut berkah, adapula yang sekedar welfie bersama. Yang tua-tua, nampak banyak meminta doa, ataupun berkah pada beberapa tokoh agama.
Cerita dari Ibu Anjul mengingatkanku pada setahun lalu, dimana kejadian yang sama terjadi di Masjid Muna. Kebetulan saat itu saya sempat berkunjung dengan beberapa sahabat. Kurang lebih atau malah lebih, kesannya sama. Miris semiris-mirisnya. Saat itu, dari Masjid Muna, wajahku belum bisa lurus hingga sampai ke rumah. Emosi.
Ritual ini nampaknya jadi rutinitas wajib bagi sekelompok masyarakat. Setiap hari raya islam ramai nian orang berbondong-bodomg kesini. Yang pasti dalam Wisata Religi ini mereka punya motifasi masing-masing. Entahlah apa,yang jelasnya zaman menamai kebiasaan ini dengan istilah Wisata Religi.
***
Masjid, secara etimologis berasal dari akar kata Arab, sajada, yang artinya sujud. Dalam perspektif Islam, setiap tempat yang dijadikan tempat shalat bisa disebut masjid. Diawal sejarahnya, masjid berfungsi tidak hanya untuk melakukan ibadah semata, tetapi juga tempat berlindung dan menginap bagi Ahl Al-Suffah dan rumah tempat tinggal bagi Rasulullah dan keluarga.
Masjid-masjid yang didirikan di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam tidak lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat, mempunyai fungsi yang tidak banyak berbeda dengan fungsi masjid di Madinah. Hingga kemudian zaman menggerus fungsi masjid. Perlahan-lahan cenderung hanya untuk menampung kegiatan sholat.
Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal, Alm. Ali Mustafa Yaqub, menyebutkan lima fungsi Masjid di zaman Rasulullah SAW, yakni: Tempat ibadah, Pembelajaran, Tempat musyawarah, Merawat orang sakit, dan Asrama.
Menurut beliau, ada beberapa fungsi yang dirasa kurang tepat untuk diterapkan zaman sekarang. Dia menegaskan, fungsi Masjid sebagai asrama tidak tepat jika diterapkan dimasa ini. Ia menerangkan, pada zaman rasul, Masjid memang berfungsi sebagai asrama untuk para pelajar suffah. Hal ini berarti sekitar 300 hingga 400 orang akan tinggal di Masjid untuk belajar.
Dia menegaskan, jika kondisi ini diterapkan pada zaman sekarang dinilai kurang cocok. Menurutnya, jika kondisi tersebut terjadi di zaman sekarang, Ia khawatir Masjid akan menjadi tempat yang kumuh. Kecuali, dia menambahkan, asrama itu dibangun di sekitar atau di luar bangunan Masjid.
****
Kembali ke Masjid Muna. Antusiasme para wisatawan religi begitu tak terbendung. Nampak umat muslim jazirah ini begitu memaknai ini dengan unik. Kita tidak bisa menampik jikalau ini akan terus menjadi rutinitas dari generasi ke generasi.
Dalam fenomena yang terjadi di Masjid Muna kita bisa mengernyitkan kening menyambut ratapan. Sebab ilustrasi kondisi diatas toh hanyalah seserok sampah yang tidak bisa mewakili kotornya kondisi Masjid Muna saat ini. Begitu jauh dari kesan suci sebagaimana layaknya tempat ibadah, tempat hamba bersembah sujud pada Yang Maha Segalanya.
Masjid Muna begitu agung. Sebuah bangunan yang tak sekadar dari kepingan batu, semen, dan besi. Jauh didalamnya ada sebuah simbolitas Islam yang dalam falsafah tanah ini diwahidkan diatas badan, tanah, dan adat (Hansuru-hansuru badha, sumanomo koemo hasuru liwu, Hansuru-hansuru liwu, sumanomo koemo hasuru sara, Hansuru-hansuru sara, sumanomo koemo hasuru adhati, Hansuru-hansuru adhati, sumanomo notangka agama.
Dari sisi historis, sekelumit perjuangan Islam ditanah ini dapat digali disana. Apa yang menjadi ketidaksadaran, kebebalan, kejahiliyaan, kekurangajaran yang telah terjadi didalam Masjid, seyogyanya menampar keacuhan kita atas semua ini. Masjid adalah tempat suci untuk mensucikan diri dari kotoran-kotoran dunia ini. Bagaimana mungkin sebuah tempat ibadah diselimuti sampah, aroma pesing, juga kesyirikan ?
Menyalahkan atau disalahkan pastinya lahir dari setiap masalah. Sebijak-bijaknya adalah menyambut setiap masalah dengan niat menyelesaikannya. Ini adalah masalah fundamental. Masalah yang jauh lebih dekat dari nadi kita. Ini adalah dosa. Bukan sekadar hablum minan-nas tapi jauh pada hablum minallah. Kita mendustai warisan leluhur yang berbanjir darah dan keringat demi membangun Masjid Kebanggan kita ini. Kita mendustai titipan Allah S.W.T yang memberkahi tanah ini dengan melimpah ruah. Wallahu A’lam Bishowab.
Oleh : Abdul Haris Ruhaba
Penulis Merupakan anak Muda dari Raha