Euforia Pilkada Serentak dan Doktrin Primodialisme Putra Daerah

Euforia Pilkada Serentak dan Doktrin Primodialisme Putra Daerah
La Ode Tamsil

Reformasi 1998 telah memberikan angin segar bagi alam demokrasi (di) Indonesia. Hal ini terasa dengan adanya kebebasan pers, kebebasan bersuara, otonomi daerah, penghapusan dwifungsi ABRI, upaya pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Namun, hingga kini belum terjadi perubahan mendasar khususnya dalam menghadirkan pemerintahan yang bersih, bebas dari praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Malahan praktik korupsi semakin telanjang dari pusat hingga daerah. Pihak-pihak penjaga status quo juga tetap menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Era reformasi yang memberikan kebebasan bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya (di mana pada masa Orde Baru sangat dikekang), sebenarnya bisa menjadi salah satu cara menghadirkan pemerintahan yang bersih. Hanya saja, calon pemimpin yang diusung oleh partai politik (parpol) belum sepenuhnya berasal dari (harapan) rakyat.

 Euforia Pilkada Serentak dan Doktrin Primodialisme Putra Daerah
La Ode Tamsil

Banyak calon pemimpin yang diusung parpol lebih didasarkan pada faktor popularitas, kepemilikan modal ekonomi, dan relasi si calon dengan petinggi parpol tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri, ada juga pemimpin yang bersahabat dengan rakyat. Di lain sisi, sulitnya menghadirkan pemimpin pro-rakyat berkaitan dengan masyarakat yang terjebak dengan isu primordialisme (suku, agama, dan golongan). Pilihan masyarakat seringkali bukan didasarkan pada kualitas, kapabilitas, dan integritas calon pemimpin. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa lebih baik memilih calon pemimpin yang seagama/sesuku meskipun penjahat, daripada memilih calon dari agama/suku lain meskipun calon tersebut memiliki kualitas dan integritas.

Berbicara tentang pilkada..!!, Pilkada merupakan bagian dari otonomi daerah (Otoda) dengan tujuan untuk memperkuat partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Olehnya itu sangat diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan di tingkat daerah. Dengan adanya pilkada di harapkan masyarakat dapat terlatih untuk peduli kepada pemimpinnya, serta sadar terhadap apa, siapa, dan bagaimana pemimpin yang akan di pilih nanti.

Kehadiran Pilkada sebagai bentuk dari Otonomi daerah (Otoda) merupakan suatu regulasi yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan pemimpin dalam hal ini Gubernur/Walikota/Bupati dengan maksud dan tujuan meperlihatkan sejatinya sebuah demokrasi di Negeri ini.

Namun ada hal yang sangat menarik sesaat sebelum menjelang pilkada serentak, yakni dengan berkembangnya wacana putra daerah. Akhir-akhir ini kata putra daerah semakin membumi dan menjadi nilai jual bahkan diyakini menjadi salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin daerah.

Melihat fenomena tersebut, diperlukan pemikiran, analisa, pengalaman serta referensi secara jernih dalam memaknai kalimat putra daerah. Apakah yang dimaksud dengan putra daerah adalah mereka yang lahir, berkependudukan dan hidup tumbuh besar di daerah?. Apakah putra daerah merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin? Dan ataukah putra daerah mereka yang memiliki hubungan biologis dengan masyarakat sekitar atau sekedar lahir di suatu daerah dan setelah itu, mereka pergi dan tidak pernah memberikan konstribusi terhadap daerah tersebut ?

Pengertian Putra Daerah

Sebenarnya, istilah putra daerah bersifat netral. Tidak ada definisi buku terhadap istilah tersebut. Namun kalau di dasarkan landasan hukum pemerintahaan daerah melalui UU no 22/1999 dan yang terbaru UU no 32/2004. Pengertian putra daerah dapat dibuat beraneka ragam. Namun, demi kepentingan demokrasi dan integrasi bangsa, pengertian putra daerah harus bermuatan ciri-ciri sebagia berikut:

1.    Mengenal daerahnya dengan baik
2.    Mampu berbahasa daerah
3.    Mempunyai visi dan misi yang jelas untuk membangun daerah
4.    Dikenal oleh masyarakat daerah
5.    Pernah tercatat sebagai penduduk dan tinggal di daerah

Dalam kamus besar bahas Indonesia arti dari kata Putra Daerah itu pun sendirinya tidak ada melainkan kata yang berdekatan ialah bumi putera yang memiliki arti anak negeri atua penduduk asli atau pribumi.

Putra Daerah Dalam Pemerintahan Daerah

Isu putra daerah bukan hanya ramai saat pemerintahaan orde baru, pada zaman pemerintahan presiden Soeharto, isu putra daerah sudah menjadi topic pembahasan. Dari yang kita lihat pemilihan bupati walikota dan gubernur, para calon dan wakilnya hampir seratus persen putra daerah nya masing masing. Padahal peraturan UU no 12 tahu 2008 dan peraturan pemerintah no 49 tahun 2008 tidak mencantumkan syarat putra derah bagi calon kepala daerahnya masing masing.

Mungkin kita bisa melihat beberapa contoh seperti Terpilihnya Jokowi Dodo dan Ahok dalam pilkada periode 2012-2017 merupakan sesuatu hal yang bersifat eksploratif karena baru kali ini provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari luar daerah. Inilah yang di namakan dengan pemimpin impor yang pernah hangat di bicarakan. Sebab pemimpin asli daerah sudah hilang citra sayap emasnya di mata masyarakat asli terutama Jakarta.

Contoh lain dalam pemilukada Sulawesi selatan yang di menangkan oleh Syahrul yasin limpo, dari semua calon yang terpilih semuanya putra daerah Sulawesi selatan.

Yang menarik adalah pemilukada sumatera utara, calon yang memenangkan pemilihan gubernur adalah Gatot Pujo Nugroho dan Teuku Erry, nama pasangan tersebut mudah untuk ditebak dari suku mana mereka berasal. Apakah nama Gatot dan Teuku termaksud putra daerah sumatera utara? Saya sulit untuk mengatakan ya, seperti yang anda ketahui Gatot pujo nugroho sebuah nama yang sangat kental dikalangan jawa, dari suku jawa yang sudah lama tinggal di sumatera utara. Sedangkan nama Teuku Erry tidak salah lagi dari keturunan bangsawan melayu sumatera utara atau tepatnya sumatera utara bagian timur.

Kemungkinan besar untuk mendatangkan pemimpin yang dari luar daerah itu pasti ada, dan optimis untuk bisa di ikuti oleh dari daerah lainnya. Sebab masyarakat sudah pandai memilih dalam melihat sosok yang dikehendaki untuk pemimpinya, yakni tidak lagi berorentasi putra daerah atau tidak putra daerah. Namun sosok yang diperlukan saat ini adalah sosok yang mampu dan telah memberikan bukti, bukan hanya sebatas pencitraan.

Pemimpin yang sejati harus merakyat bukan selalu memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang selalu memerintah. Seperti Jokowi membuktikan keberhasilan di solo. Meski warga Jakarta tidak melihat secara langsung, peran media sangat besar dalam mempublikasikan jokowi dengan keberhasilan-keberhasilanya

Kategori Sederhana Mengenai Putra Daerah

Sejak akhir masa orde baru diskusi putra daerah versus bukan putra daerah hampir selalu menghiasi setiap pemilihan kepala daerah. Biasanya mengenai argument bahwa yang terbaik bagi sebuah daerah adalah memiliki pemimpin yang berasal dari daerah itu. Sejauh ini kita dapat membuat sebuah kategori yang sederhana menyangkut siapakah sang putra daerah,

menurut webstern dictionary kata putra daerah lebih dekat kepada kata native (orang pribumi) yang artinya an origin in habitant (penduduk asli) or long life resident (penduduk tetap) atau existing in or belonging to one by nature (seseorang yang tinggal di daerah tersebut).

Berdasarkan defenisi diatas dalam teori Samuel P. Huntington, pernah mendefenisiskan putra daerah menjadi 4 jenis adalah :

1.    Putra daerah genealogis
Putra daerah genealogis terbelah lagi ke dalam dua kategori. Mereka yang kebetulan dilahrikan di daerah bersangkutan dari (salah satu atau kedua) orang tua yang juga berasal dari daerah tersebut, dan mereka yang tidak dilahirkan di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah tersebut.

2.    Putra Daerah Politik
Yakni Putra daerah yang memiliki kaitan politik dengan daerah itu. Misalnya : anggota dewan perwakilan daerah (DPD) dari daerah tertentu yang sebelumnya tak punya kiprah politik dan ekonomi daerah tersebut atau anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) pusat yang oleh partainya ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan genealogis daerahnya.

3.    Putra Daerah Ekonomi
Putra daerah yang kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Dalam kontek sistem politik dan ekonomi Indonesia, putra daerah politik dan ekonomi ini biasanya hanya berhubungan dengan daerah asalnya.

4.  Putra Daerah Sosiologis
Yakni mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah asalnya tetapi juga hidup, tumbuh dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat di daerah itu.

Kategori sederhana ini bisa membantu kita membahas mengenai soal putra daerah versus bukan putra daerah secara lebih layak dan relevan. Bahwa soal putra daerah atau bukan sebetulnya hanya perkara sekunder. Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat.

Seharusnya yang perlu diantisipasi dan menjadi perhatian yang serius bagi seluruh masyarakat Dalam pelaksanaan pilkada serentak adalah praktik-praktik kecurangan yang dilakukan oleh para bakal calon seperti :

1.    Money Politik
Money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat hanya karena telah diberikan uang oleh kandidat atau para tim suksesnya.

2.    Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya dan masih bisa dijadikan senjata ampuh dalam memaksakan kehendak calon tertentu. Intimidasi bisa dalam berbagai bentuk diantaranya, ancaman akan dinonjobkan dari jabatan tertentu atau bahkan pada perseoalan penghilangan Hak-Hak Asasi yang kita miliki.

3.    Pendahuluan Start Kampanye
Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga dipakai untuk calon saat melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagai media kampanye. Calon yang menyampaikan visi dan misinya dalam acara tersebut padalah jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.

4.    Kampanye Negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi calon kepada masyarakat. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “nurut” dengan orang yang ada di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang adapat merusak integritas daerah tersebut.

Kembali ke pemilihan pemimpin daerah, yang harus diutamakan ialah  tentang kapabilitas dari calon-calon pemimpin tersebut. Suatu daerah tidak hanya dapat dipimpin oleh pemimpin yang bermodalkan kefiguritasan namun tidak memiliki kapabilitas, integritas terlebih lagi sikap ketegasan dan pangalaman sebagai pemimpin.

Menurut saya, pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat yakni seseorang yang tidak hanya memiliki akseptabilitas namun ditunjang oleh moral yang baik serta public figure yang benar – benar telah teruji, memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya dan juga memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas serta ketegasan yang sangat dibutuhkan di dunia  perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas dan mampu menjawab segalah permasalahan suatu daerah dan keluhan rakyat.

Namun yang perlu kita ketahui bersama klaim diri dengan melekatkan status sebagai bentuk sandaraan kepentingan politik harus perlu penafsiran dan pemaknaan yang jernih, beberapa fenomena yang telah terjadi akibat klaim diri sehingga sebagian masyarakat tertipu dan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.

Mungkin kita semua perlu merenungkan kembali makna dalam mencari pemimpin yang benar-benar pro rakyat yang punya niatan untuk membangun daerah yang dimimpinnya, perlu kita ketahui bersama bahwa Jika suatu kepemimpinan diserahkan kepada yang tidak memiliki kapabilitas dan pengetahuan maka kita sedang mempersiapkan kehancuran yang terencana seperti yang dikatakan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya:

“Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. ada yang bertanya, “bagaimana menyia-nyiakannya?” beliau menjawab, “jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Semoga pada momentum pelaksanaan pilkada serentak baik Gubernur/Walikota/Bupati nanti, kita semua benar-benar dapat memilih pemimpin yang benar-benar Pro terhadap rakyat dan serius dalam membangun daerah serta dapat memberikan rasa keadilan dan kesejahterahan buat rakyatnya.***

 

Oleh : La Ode Tamsil
Koordinator : Investigation Policy Political Law in Indonesian ( IPPLI )
Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Universitas Jayabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini