Fenomena New Social Movement atau Gerakan Sosial Baru Pra dan Pasca Pemilu 2019

1354
Muh. Ridwan Tawakal, S.Sos.,M.AP
Muh. Ridwan Tawakal, S.Sos.,M.AP
Social Movement atau  Gerakan Sosial

Di berbagai Negara belahan dunia peristiwa sosial movement atau gerakan sosial merupakan fakta sosial yang perlu dijawab dan diselesaikan oleh pihak cendikiawan dan pihak pemerintah sebagai seseorang maupun institusi pengambil kebijakan (decision making). Misalnaya Revolusi gerakan sosial di rusia. Selain itu penguasa otoriter yang mampu bertahan cukup lama di Asia tenggara Ne Win di Burma Ferdiand Marcos di Filipina juga tumbang dengan protes rakyat. Pada tahun 1970-an islam fundamentalis mengambil kekuasaan dari Shah Iran, Sandinista menggeser posisi Somoza di Nikaragua, serta kelompok-kelompok teroris dijerman dan italia melakukan serangan-serangan ke instlasi militer, politisi, dan simbol-simbol lembaga hegemoni.  Sejak dekade 1980 hingga 1990-an perubahan politik dan demokrasi juga terjadi Negara-negara Asia Pasific seperti Zina, korea selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Burma/Myanmar. Di Indonesia pernah terjadi gerakan sosial tahun 1998 oleh kalangan mahasiswa ditandai turunnya soeharto sebagai presiden Indonesia. Dan masih banyak lagi gerakan-gerakan soial yang terjadi di Indonesia seperti dalam bukunya Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil kekerasan komunal dan demokratisasi di Indonesia. Gerakan sosial di Poso, Ambon, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan muncul pertanyaan disini mayoritas gerakan sosial kota-kota diluar jawa.

Dalam pandangan Singh gerakan sosial berbeda dengan beberapa bentuk masa aksi seperti kerumunan (crowd), kerusuhan, pemberontakan, dan revolusi. Kerumunan (Crowd) merupakan masa aksi yang tidak memiliki sebentuk organisasi sangat cair dan meletup dan hilang secara tiba-tiba. Kerusuhan adalah kekacauan massal yang meletub secara tiba-tiba, dalam periode tertentu, dan melakukan peggerusakan atau menyerang kelompok tertentu. Pemberontakan adalah masa aksi yang terorganisasi untuk menentang dan memisahkan diri dari sistem dan otoritas yang dianggap mapan. Revolusi adalah mengandaikan seluruh partisipasi masyarakat dan keseluruhan wilayah suatu Negara untuk menggulingkan dan menggantikan tatanan politik dengan sesuatu yang baru. Gerakan sosial atau social movement menurut singh biasanya merupakan mobilisasi untuk menentang Negara dan sistem pemerintahannya yang tidak selalu menggunakan kekerasan dan pemberontakan bersenjata, sebagaimana yang terjadi dalam kerusuhan, pemberontakan dan revolusi. Pandangannya, umumnya gerakan sosial menyatakan dirinya di dalam kerangka demokratik.

Sejalan dengan pandangan tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, lawan dan penguasa. Disini terdapat 4 kata kunci penting yakni tantangan kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial, dan interaksi berkelanjutan.

Pendekatan untuk memahami gerakan sosial

Dalam buku joni rusmanto, gerakan sosial sejarah perkembanngan teori antara kekuatan dan kelemahannya menjelaskan perkembangan gerakan sosial. Dalam buku tersebut ada 3 paradigma studi gerakan sosial baru (new sosial movement) yakni paradigm keteganagan struktur (structural strain paradigma), paradigm mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm), dan paradigm berorientasi identitas. Pertama, paradigm ketengangan struktur (structural strain paradima) paradigm tersebut menempatkan pada ketegangan struktur (structur strain) dimana bentuk-bentuk ketenganan pada tingkat lebih dari sekedar hamya pengalaman individu. Dalam konteks ini, ketengangan dipahami sebagai sebuah kondisi yang eksis secara obyektif dan juga menggambarkan suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial yang berkonflik. Dalam pandagan Ted Gurr menjelaskan ketegangan struktural terjadi, misalnya, kekerasan-kekerasan muncul saat terjadi deprivasi relative. Perasaan terpinggirkan terjadi karena kesenjangan antara nilai-nilai ekspetasi dan nilai-nilai kemampuan. Singkatnya gerakan sosial muncul akibat ketidakpuasan. Ketidakpuasan akan terus meningkat ketika iinstitusi-institui yang berperan secara fleksibel tidak mampu merespon. Kedua, paradigma mobilisasi sumber daya memiliki kemajuan dari paradigm sebelumnya (ketegangan structural). Paradigm ini berupaya keras melakukan formulasi ulang, memusatkan perhatian gerakan masyarakat pada proses sistem mobilisasi yang terorganisir secara lebih rasional dan yang lebih canggih, baik dari segi karakteristik model-model bahkan bentuk gerakan yang diambil oleh para konstituen sebagai anggota dari gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer. Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai tingkat dan tipe keterlibatan orang-rang dalam sebuah gerakan, dengan membedakan penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan (beneficiaries). Uang, dukungan senjata, sumbagan dana para elit, dukungan media dan pembentukan opini public yang condong mendukung gerakan tersebut, juga merupakan sumber-sumber daya. Ketiga, paradigm berorientasi identitas, lebih menekankan basis perspektif mereka pada peranan identitas yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan. Perbandingan paradigma mobilisasi sumber daya manusia yang sentralitas pemikirannya terletak pada rasionalisme dan matrealisme, maka paradigm berorientasi identitas memusatkan perhatian mereka pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat non materialistik. Dalam konteks paradigm berorientasi identitas mengajukan asumsi dan mengurai pokok pertanyaan mendasar seputar pada masalah integrasi dan solidaritas. Gerakan sosial menurutnya, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia menggerakan sesuatu yang lain. Pandangan sosiolog perancis Alain Touraine tentang gerakan sosial baru/new social movement  berpendapat bahwa dalam nemilai gerakan sosial baru (GSB) bahwa unsur dari gerakan sosial adalah aksi (action), yaitu sebuah aksi melawan sistem sosial. Dalam tulisannya, The Self Production of Society (1973), Touraine menyatakan bahwa masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan sosial, karena tatanan sosial itu tidak memeliki jaminan metasosisal demi sksistensinya.

Fenomena New Social Movement atau Gerakan Sosial baru

Jauh sebelum pemilu serentak dilaksanakan pada tahun 2016 2 desember terjadi suatu peristiwa gerakan sosial yang sangat fenomenal dari kalangan para ulama umat islam yang dikenal degan gerakan sosial 212 aksi bela islam jilid III yang di anggap  terjadi sebuah penistaan agama islam. Gerakan 212 merupakan suatu gerakan sosial baru (GSB) yang memiliki identitas religious atau moral force yang terjadi secara damai.

Aksi 22 mei juga menunjukkan suatu gerakan sosial yang menuntut keadilan demokrasi atas hasil pemilu 2019, namun gerakan sosial tersebut dianggap oleh pemerintah adalah aksi yng mencoba melawan hukum atas keputusan hasil pemilu. Gerakan 22 mei dikenal dengan gerakan poople power yang coba dicanangkan oleh pihak “ketegangan structural” dan “memobilisasi sumber daya”.

Aksi papua tidak kalah ekstrim dari gerakan sosial sebelumnya, bahkan gerakan sosial yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat papua dapat dinilai tindakan melawan hukum, karena melakukan pengibaran bendera OPM dan meminta referendum. Ambros Koordinator aksi (Tempo.co) mengatakan merdeka dari Indonesia adalah cara untuk menghentikan diskriminasi dan perlakuan rasis bagi masyarakat papua.

Kini kembali gerakan sosial terdengar suara lantang independen dari mahasiswa yang turut mengkritisi kebijakan pemerintah terkait kebijakan RKUHP, Revisi UU KPK, RRU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU PKS dan Kriminalisasi Aktivis. Dalam gerakan sosial tersebut tidak hanya dari kalangan mahasiswa saja bahkan dari kalangan pemuda dan pelajar SMK atau STM yang sempat menunjukkan aksi heroiknya terhadap kebijakan pmerintah yang dianggap nyeleneh dan ngawur. Tetapi dalam gerakan gerakan sosial tersebut pemerintah kurang responsif terhadap tuntutan mahasiswa yang lahir dari keresahan masyarakat, malah pemerintah menunjukkan aksi arogansinya dan tipe pemerintahan yang otoritarian sehingga menimbulkan korban jiwa.

Dari beberapa gerakan sosial yang terjadi  diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial baru atau new social movement  dengan bersandar dari pendekatan pemikiran singh, tarrow, ted gurr dan dalam buku joni rusmanto Gerakan Sosial.

Polarisasi Gerakan Sosial/Social Movement

Sederetan gerakan sosial yang terjadi pra dan pasca pemilu 2019 ada beberapa pihak yang mengatakan gerakan sosial yang terajadi cenderung kurang masuk di dalam kerangka gerakan sosial baru, jika melihat dari sudut pandang singh, tarrow dan ted gurr misalnya,  gerakan sosial Papua akibat aksi pengepungan asrama papua disurabaya dan aksi perilaku kolektif (collective behavior) dan 22 mei ditandai dengan menuntut keadalian demokrasi hasil pemilu. Dari peristiwa gerakan sosial tersebut terkesan ditunggangi oleh kelompok tertentu dan melakukan tindakan kerusuhan dan pemberontakan bahkan revolusi. Misalnya gerakan sosial papua meminta referendum terjadi sebuah kerusuhan dan dapat diindikasikan tindakan makar dan melawan hukum begitupun juga gerakan sosial 212 dan di 22 mei. Namun dilain pihak ada beberapa “oknum” yang sering mengatakan bahwa selalunya gerakan sosial yang murni bangkit dari keresahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah selalu dikatakan ditunggangi oleh pihak “lawan politik” dalam padangan ted gurr dikatakan ketegangan struktur dan mobilisasi sumber daya. Sehingga muncul dan lahir lah anggapan-anggapan hoax, play victim, makar ataupun tindakan yang melawan kebijakan pemerintah yang menimbulkan tindakan kerusuhan, pemberontakan dan revolusi. Sehingga kadang kala terjadinya gerakan sosial yang terbangun oleh masyarakat sering mengalami polarisasi gerakan sosial.

Kebijakan publik terhadap social movement

Menurut Thomas R. Dye kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pandangan Thomas R. Dye ini diklasifikasikan sebagai keputusan (Decision Making) pemerintah punya wewenang untuk kenggunakan keputusan otoritatif termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi demi teratasinya sautu persualan publik. Dari sederat beberapa kejadian gerakan sosial pemerintah berhasil mengeluarkan kebijakan yang dianggap adil dari gerakan sosial tersebut, semisal gerakan 212 terjadi akibat peninstaan agama yang dilakukan ahok, kemudian ahok menjalani hukuman pidana terkait atas ucapannya yang dianggap melakukan penistaan agama. Tetapi gerakan sosial lain yang masih hangat terjadi pemerintah belum berhasil mengeluarkan kebijakan untuk menanangkan gerakan sosial tersebut. Misalnya gerakan sosial di Papua dan gerakan sosial RKUHP, Revisi UU KPK, RRU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU PKS. Dan atas kejadian dari gerakan-gerakan sosial tersebut banyak menelan korban, seyogyanya pemerintah responsif dalam melakukan pengamanan dan meredam gerakan sosial yang berujung konflik pertikaian. Semestinya pemerintah melakukan pendekatan humanisme government terhadap masyarakat dan aktor-aktor gerakan sosial. Seharusnya Pemerintah melakukan Pendekatan humanism (Approach Humanisme) seperti kepemimpinan Rasulullah terhadap berbagai perubahan dunia yang telah dihasilkan dan menjadi ikon penting bagi rakyatnya (umatnya) dalam keteladanannya, antara lain; (1) mampu menegakkan rasa keadilan; (2) memiliki rasa cinta, empati, dan simpati yang ditujukan kepada sesama umat manusia; (3) memegang teguh prinsip kejujuran; (4) menjunjung tinggi prinsip amanah; (5) memiliki kecerdasan dalam dimensi intelektual, emosional, dan spiritual; dan (6) bersikap transparan dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya. Bukan sebaliknya menanggapi gerakan sosial dengan tindakan arogansi, represif dan sistem otoritarian.

 

Oleh : Muh. Ridwan Tawakal, S.Sos.,M.AP
Penulis Merupakan Fungsionaris PB HMI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini