ZONASULTRA.COM, PASARWAJO – Sejak terbentuk, Kabupaten Buton tidak lepas dari sejarah kejayaan Kesultanan Buton yang diakui eksistensinya sebagai salah satu kerajaaan/kesultanan yang demokratis dan kaya akan aneka ragam budaya. Pada tahun 1950-an bersama seluruh kesultanan di Indonesia Timur, Kesultanan Buton menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai daerah eks kesultanan, berbagai tradisi dan budaya tumbuh dan terus terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Buton. Berbagai tradisi dan budaya tersebut diselenggarakan oleh individu, kelompok, dan masyarakat secara berkesinambungan.
Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Buton menginisiasi untuk menyelenggarakan tradisi dan budaya tersebut dalam bentuk event yang disebut Festival Budaya Tua Buton. Festival ini diselenggarakan setiap tahun sejak 2013 lalu. Tahun ini merupakan tahun kelima penyelenggaraan Festival Budaya Tua Buton di bawah kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakry.
Penyelenggaraan Festival Budaya Tua Buton adalah refleksi kegiatan budaya yang menjadi panutan terintegrasi baik dalam kehidupan individu maupun kemasyarakataan dan telah diwariskan secara turun temurun hingga saat ini. Untuk menghindari hilangnya identitas kebudayaan Buton kepada generasi muda, maka Pemerintah Kabupaten Buton menyelenggarakan kegiatan kebudayaan secara massal.
Disebut Festival Budaya Tua Buton karena berkenaan dengan terbentuknya Kerajaan Buton abad ke-12 pada masa kerajaan, setelah itu beralih ke abad ke-15 pada masa kesultanan, menggambarkan kehidupan manusia di Buton yang telah memiliki budaya tersendiri dan terpelihara secara berkesinambungan yang telah menjadi pedoman hidup masyarakat sampai saat ini.
Festival Tenun
Bagi orang Buton, kain tenun mampu menjadi praktek sosial karena dua hal. Pertama, tenun Buton merupakan pengejawatahan dari penghayatan orang-orang Buton dalam memahami lingkungan alamnya. Ini dapat dilihat dari corak motif yang terdapat pada tenun Buton. Hal tersebut dapat diamati melalui penggunaan bahasa kearifan lokal dalam corak kain tenun.
Alat tenun tradisional (parewana tanua) terdiri dari Pasaana Parewa, Tapua, Yaena Tapua Dopi, Tanekura, Kakunci, Jangka, Balidha, Kaju dan Kasoli. Corak kain Buton menggunakan nama flora dan fauna yang ada dalam kehidupan masyarakat Buton dengan mengandung maksud sebagai pesan moral untuk peletarian dan menjaga keseimbangan alam.
Kedua, tenun Buton sebagai identitas diri dan sosial. Dengan melihat motif pakaian yang dikenakan oleh wanita Buton misalnya, kita bisa mengetahui apakah dia telah menikah atau belum. Melalui pakaian yang dikenakan kita juga dapat mengetahui apakah seorang perempuan dari golongan awam atau bangsawan.
Dengan melihat tenun yang dipakai orang Buton, kita dapat mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat Buton.Tenun Buton merupakan simbol kedirian orang Buton, maka sudah sewajarnya jika orang Buton menjaga agar simbol jati diri sosilnya tetap lestari.
Untuk itulah Pemerintah Kabupaten Buton, pada Festival Budaya Tua Buton 2017 menampilkan Festival Tenun Tradisional Buton dengan menghadirkan 100 penenun asli dari berbagai pelosok Buton.
Festival Dole-dole
Festival Dole-dole adalah tradisi tua yang diwariskan secara turun temurun, yang merupakan imunisasi secara alamiah bagi masyarakat Buton. Prosesi Pedole-dole dilaksanakan untuk anak yang berumur di bawah 5 tahun. Pelaksanaan Pedole-dole ini biasanya dilengkapi dengan pemberian nama bagi anak.
Tradisi Pedole-dole ini berawal dari masa anak seorang Raja Buton bernama Betoambari sakit-sakitan. Atas petunjuk melalui meditasinya diperoleh jawaban bahwa harus dilaksanakan Pedole-dole kepada anak tersebut.
Setelah dilaksanakan prosesi Pedole-dole, Betoambari sembuh dan tumbuh sehat seperti anak lainnya. Sehingga Raja menginstruksikan agar semua masyarakat di wilayah Buton melaksanakan tradisi itu kepada anak-anaknya.
Dalam rangka menumbuhkembangkan tradisi Pedole-dole, Pemerintah Kabupaten Buton sejak tahun 2013 telah mencanangkan penyelenggaran Pedole-dole secara masal sebagai rangkaian pelaksanaan Festival Budaya Tua. Dan pada tahun 2017 ini penyelenggaraan Festival Dole-dole diikuti oleh 200 anak.
Festival Posuo (Pingitan)
Festival Posuo (Pingitan) adalah tradisi pingitan bagi gadis remaja Buton sebelum memasuki usia dewasa. Pada masa lampau, sejak terbentuknya struktur pemerintah kerajaan/kesultanan di Buton dilaksanakan selama 40 hari. Setelah itu menjadi 7 hari, dan saat ini dapat dilaksanakan hanya 4 hari lamanya, yang secara psikis bertujuan untuk membentuk mental dan yang dilarang, sebagai seorang gadis dewasa berdasarkan ketentuan adat istiadat dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.
Selain pembetukan psikis juga pembentukan fisik, yaitu diajarkan untuk merawat diri, dan berprilaku hidup sehat sehingga tetap tumbuh sebagai seorang gadis yang sehat dan cantik secara alami.
Posuo (Pingitan) bagi masyarakat Buton wajib hukumnya dalam ketentuan adat istiadat, sebelum melangsungkan pernikahan. Apabila seorang gadis akan menikah, sudah dapat dipastikan dipingit lebih awal baru dilangsungkan pernikahan.
Hal ini sebabkan karena Posuo (Pingitan) merupakan forum training kewanitaan untuk mendengarkan nasehat para Bisa (penasehat perempuan) dalam memasuki kehidupan berumah tangga nantinya. Sekaligus diajarkan cara merawat diri, sehingga setelah memasuki pernikahan akan mampu menjadi istri yang dapat menaklukan hati suami, sehingga diharapkan terbentuk kehidupan keluarga yang sakinah.
Ritual Tandaki (sunatan tradisi Buton)
Di dalam kehidupan sosial masyarakat Buton dikenal berbagai macam ritual yang berhubungan langsung dengan budaya dan kemasyarakatan.
Salah satu prosesi ritual yang dilaksanakan masyarakat Buton adalah Tandaki yaitu tradisi sunatan bagi anak laki-laki yang telah memasuki masa akil baliq, yang melambangkan bahwa anak laki-laki tersebut berkewajiban untuk melaksanakan segala kebaikan dan menghindari yang terlarang.
Ritual Tandaki biasanya diselenggarakan oleh keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi, sehingga dalam pelaksanaannya turut diundang keluarga, sanak saudara, kerabat dekat maupun kerabat jauh sedangkan yang kurang mampu dapat dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana yang disebut ‘Manakoi’ dalam pengertian bahwa pelaksanaan Tandaki hanya dihadiri oleh segenap anggota keluaraga terdekat.
Kelengkapan pakaiaan Tandaki (sunatan tradisi Buton) terdiri dari Tandaki (mahkota) yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan berbagai hiasan dan aneka rupa sehingga tampak sebagai lambang kebesaran pemakainya, keagungan dan kedamaian yang dijunjung tinggi secara ikhlas. Ikat pinggang diukir dengan kalimat tauhid dan sebilah keris sebagai lambang keberanian. Pada tahun 2017 ini Festival Tandaki diikuti 200 anak.
Festival Pekande-kandea
Festival Pekande-kandea adalah tradisi masyarakat Buton, yang pada zaman dahulu dilaksanakan untuk menyambut para pejuang kembali dari medan pertempuran.
Dalam bahasa Buton sering juga disebut Bongkaana Tao (merupakan acara pembukaan tahun sebagai doa kesyukuran terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen/rezeki yang diperoleh selama satu tahun). Juga dapat dilaksanakan setelah melaksanakan hajatan (pesta syukuran) sesuai dengan ketentuan adat istiadat, misalnya melaksanakan Kawia (pernikahan), Posipo (peringatan 7 bulan kehamilan), Tandaki (bagi anak laki-laki yang memasuki akil baliq), Posusu (bagi anak perempuan yang memasuki usia remaja), dan Posuo (remaja putri yang beranjak dewasa).
Bahkan pada acara-acara peringatan meninggalnya seseorang pun, kadang diakhiri dengan Pekande-kandea walaupun dalam skala kecil.
Pekande-kandea yang berarti makan bersama dengan duduk bersila berhadap-hadapan antara penjaga talang dengan pengunjung/tamu, yang diantarai dengan talang atau dulang (tempat makanan yang berkaki) yang diisi dengan berbagai macam makanan tradisional seperti: lapa-lapa, nasi bambu, nasi ketan, nasi merah (padi ladang), ikan (bakar dan berkuah), masakan ayam (baik yang dibakar, goreng maupun berkuah), cucur, epu-epu, onde-onde, baruasa, bolu, dan lain-lain.
Tata cara pelaksanaan adalah talang dijaga oleh gadis yang berpakaian adat, menyuap tamu yang hadir dan sebagai balasan tamu akan barter (disawer) untuk memberi sesuatu kepada gadis tersebut. Pada tahun 2017 ini Festival Pekande-kandea menampilkan 2.000 talang/dulang.
Buton Expo dan Malam Hiburan Rakyat
Salah satu rangkaian Festival Budaya Tua Buton adalah Pameran Buton Expo, yang merupakan sarana informasi dan promosi serta evaluasi pelaksanaan pembangunan yang telah dicapai, khususnya masa kepemimpinan pemerintah daerah setiap tahun. Juga diselenggarakan malam hiburan rakyat berupa lomba-lomba kesenian daerah dan penampilan artis ibukota dan lokal.
Pagelaran Tari Tradisional Kolosal
Tari Waindorigi
Tari Waindorigi berasal dari Takimpo, Kecamatan Pasarwajo. Tarian ini diilhami cerita yang menceritakan masyarakat Takimpo sebelum adanya Kerajaan Buton masa silam, di Liwu Takimpo Lipuogena oleh tokoh-tokoh adat mengamanatkan La Manuncama untuk menjadi duta (utusan) adat menuju Wabula.
Dalam kesepakatan tokoh Sara Takimpo, La Manuncama dalam perjalanan menuju Wabula didampingi oleh seorang wanita berparas cantik yang bernama Wa Indorigi. Di hari yang ditentukan berangkatlah mereka menggunakan perahu yang bernama Wasilomata dengan dikawal 20 orang perempuan dan 20 orang laki-laki.
Di saat pelayarannya, rombongan La Manuncama tersebut bernyanyi dan menari dengan gerakan-gerakan dasar di atas perahu yang pada dasarnya memberikan semangat dan pemujaan kepada wanita yang bernama Wa Indorigi.
Di pertengahan jalan, rombongan tersebut dihempas gelombang besar yang hampir menenggelamkan mereka. Untungnya di saat itu juga La Manuncama memanjatkan doa kepada yang maha kuasa sehingga tidak terjadi malapetaka dan Rombongan La Manuncama yang didampingi Wa Indorigi tiba dengan selamat di tempat tujuan.
Tari Popana
Tarian ini berasal dari masyarakat Todanga, Kecamatan Kapontori. Dilakonkan 12 penari yang terinspirasi dari penanggalan Islam yang terdiri 12 bulan.Tarian ini dimainkan masyarakat Todanga sejak awal masuknya Islam di Kerajaan Buton.
Penari juga dilengkapi dengan panah yang terbuat dari bambu yang dilengkapi dengan aksesoris bulu ayam. Intisari dari tarian ini tentang ajaran kekuatan antara “si Pincang” dan “si Mati”. Dalam adu kekuatan itu “si Pincang” dapat mengalahkan “si Mati” mengandung makna kebenaran selalu menang meski yang memperjuangkannya secara fisik tidaklah sempurna.
Tari Kaleko
Tarian ini diinspirasi dari permainan yang dilakonkan kaum muda mudi masyarakat Lambusango, Kecamatan Kapontori. Permainan ini menggunakan batok atau tempurung kelapa yang isinya terdiri dari Po Boku yang mengetuk-ketukan dua buah batok kelapa yang menimbulkan bunyi dan irama alam membuat perasaan dan pikiran menjadi senang dan bahagia.
Tari Kaleko mengungkapkan nilai kemenangan dan kebahagiaan yang merupakan impian bagi semua orang. Dan semua itu dicapai dengan pikiran dan tindakan yang mengedepankan kebenaran.
Dalam Festival Budaya Tua Buton 2017 ini kalaborasi Tari Waindorigi, Tari Popana dan Tari Kaleko ditampilkan secara kolosal oleh 10.000 penari. (Adv)