Film Jembatan Pensil, Kala Jakarta Menafsir Muna

Film Jembatan Pensil, Kala Jakarta Menafsir Muna
Jembatan Pensil

Film Jembatan Pensil, Kala Jakarta Menafsir Muna Jembatan Pensil

 

Film ini dibuka dengan lelucon yang garing. Kelakuan anak-anak dalam kelas di sebuah sekolah dasar gratis. Kekhasan tingkah polah anak-anak yang lucu dan spontan gagal dihadirkan dalam adegan itu. Sebagai pembuka, film ini sedikit gagal membangkitkan rasa penasaran.

Jika diibaratkan sebuah buku, saya akan membacanya dengan melompat-lompat, tidak akan telaten menikmatinya helai demi helai halaman. Saya punya ekspektasi besar atas film ini karena salah satu pemerannya adalah bintang besar, Meriam Bellina.

Tapi dia juga adalah salah satu sumber kekecewaan saya dalam film ini. Mbak Mer, yang berperan sebagai Ibu Farida yang cerewet, nyinyir, dan agak matre, gagal mengadopsi dialek Muna meski sudah berusaha keras. Dialek yang dilafalkananya entah dari mana.

Kendatipun, usahanya perlu dihargai. Mbak Mer tidak tahu apa-apa tentang Muna. Hanya beberapa kejap dia berinteraksi dengan masyarakat setempat, sudah harus dituntut untuk menyesuaikan lidahnya.

“Saya sepuluh hari di sana, kaget juga suara masyarakatnya keras dan tegas. Tapi mereka baik-baik dan jujur. Saya sangat tertarik dan terkesan dengan destinasi wisata di sana, apalagi Pak Bupatinya sangat baik, makanannya juga cocok dengan lidah saya, pedes-pedes sampe saya bawa cabe dari sana sebagai oleh-oleh, ” ujar Meriam Bellina tertawa dikutip dari poskotanews.com, Senin (24 Juli 2017).

Tetapi yang paling menyedihkan dari sebuah film yang mengangkat tema pendidikan berbasis kultural adalah pada adegan ketika Bu Guru Aida (Alisia Rininta) –gadis Muna yang kuliah di Jakarta– pulang kembali ke tanah kelahirannya.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Saat turun dari kapal, yang suasananya begitu “tertib” (tidak ada teriakan “pikul…pikul” yang diwarnai dengan lompatan-lompatan terampil para buruh pikul di dinding-dinding kapal), tasnya terjatuh. Dan aneh bin ajaib, sama sekali tidak ada yang menolong atau bahkan sedikit peduli dengan insiden itu. Orang-orang berlalu lalang begitu saja membiarkan “perempuan cantik” terlunta-lunta tanpa pertolongan….hehehe.

Saya kesal dengan adegan ini. Sungguh bukan kultur masyarakat Muna. Ini adalah kelakuan orang kota di Jakarta sana, yang tidak saling memedulikan. Film ini kemungkinan minim riset sehingga hal-hal fundamental luput dari perhatian.

Mengingat ini adalah film nasional –yang karenanya digarap dan diaktori mayoritas oleh orang Jakarta–yang “kebetulan” mengangkat konten-konten lokal, film ini lebih kental penafsirannya pada kultur Jakarta ketimbang Muna. Ada kekeliruan (jika tidak dikatakan kegagalan) tafsir di sana.

Mana ada gadis Muna (yang meskipun pernah mengecap kehidupan kota metropolitan), begitu tergagap-gagap dengan kehidupan keseharian masyakarat kampungnya. Bu Guru Aida yang terlihat asing dengan lingkungan masyarakatnya sendiri.

Hal lain yang juga sedikit disayangkan, ketika scene pemandangan indah itu tampil, tidak ada sama sekali informasi tentang nama tempat itu. Padahal, dalam film-film sekelas Hollywood saja, kerapkali mereka memberikan keterangan tentang sebuah tempat, misalnya New York City, Paris, Tokyo. Seharusnya, di film ini, ada tulisan singkat “Danau Napabale” atau “Gua Liang Kabori” ketika menyorot lokasi itu.

Di sepanjang film yang berlangsung datar, dengan dialog-dialog anak sekolah yang berlogat Jakarta mengakibatkan tidak hadirnya kekhasan bahasa Muna. Pesan yang hendak disampaikan mengenai inspirasi yang dibawa oleh tokoh Ondeng, sebagai anak yang mengalami sedikit “keterbelakangan”, menjadi agak tersamar.

Tidak ada tokoh utama yang benar-benar menjadi ikon dari ke-Muna-an yang menjadi latar film ini. Tokoh Ondeng yang menjadi tumpuan harapan ini untuk mengangkat lokalitas Muna dengan dialognya, hanya didominasi teriakan-teriakan.

Saya lebih seperti menyaksikan orang Jakarta yang sedang main film di Muna, ketimbang film bertema Muna yang diperankan oleh orang Jakarta. Corak Jakartanya yang kuat meredupkan konten-konten Muna yang hendak ditampilkan.

Tapi terlepas dari segala kekurangan film ini, kita patut berterima kasih pada kesediaan para sineas nasional yang melirik daerah, mengangkat tema-tema menarik untuk menjadi film yang mengedukasi, sekaligus mempromosokan daerah.

Dalam sebuah kesempatan berbincang kecil dengan Bupati Muna Rusman Emba, beberapa hari lalu, dikemukakan bahwa Pemda Muna turut memfasilitasi pembuatan film ini. Lokasi syuting juga mengambil lokasi-lokasi keren di Muna, seperti Danau Napabale atau Gua Liangkabori. Juga memperlihatkan kekhasan Muna dengan tenunan dan peternakan kuda.

Akhirnya, kecantikan Bu Guru Aida melumerkan segalanya. Andai saya ada di situ saat Bu Guru Aida turun dari kapal dan tas jinjingnya jatuh, maka dengan sukarela saya akan mengambilkannya. Skenario film pasti rusak. Dan sutradara akan berteriak, “Cut…cut..siapa tadi itu yang melompat ke air?”***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini