ZONASULTRA.COM, KENDARI – Penyebab maraknya prilaku fitnah dan pencemaran nama baik di media sosial disebabkan oleh masyarakat itu sendiri. Kultur masyarakat memiliki peranan penting bukan hanya terkait pencemaran nama baik, namun juga soal ujaran kebencian dan hoax.
Ahli hukum pidana La Ode Awal Sakti mengatakan, ada empat aspek yang perlu diperhatikan, yakni hukum, penegakkan hukum, kesadaran masyarakat, dan sarana prasarana. Untuk menciptakan hukum yang baik maka keempat hal itu harus berjalan dengan baik.
Dari aspek hukum, pemerintah telah membuat aturan, salah satunya melalui Undang-Undang (UU) RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE).
“Walaupun sudah ada aturannya, undang-undang itu dan ada penegak hukum, tapi karena kesadaran masyarakat kita masih kurang yah tetap terjadi pencemaran nama baik, fitnah dan lainnya,” ujar Awal yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO), di Kendari, Jumat (23/11/2018).
Sarana dan prasarana penegakkan hukum juga dianggap penting dalam rangka mengungkap siapa-siapa saja yang menggunakan akun media sosial untuk tindak pidana. Bila pengguna media sosial lebih hebat maka akan sulit dideteksi.
#Penjelasan Undang-Undang ITE
Dalam undang-undang ITE telah diatur soal larangan ujaran kebencian, hoax, fitnah, pencemaran nama baik, dan larangan lainnya. Olehnya konsekuensinya yang melanggar aturan itu dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat dipidana.
Misalnya dalam pasal 45, UU ITE diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750 Juta.
“Dalam hukum pidana kaitannya ‘setiap orang dengan sengaja’ merupakan salah bentuk kesalahan. Dalam hukum pidana kesalahan ada dua yaitu kesengajaan dan kealpaan (khilaf). Selama dia mengkehendaki dan mengetahui maka dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana,” ujar Awal yang juga Magister Hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM).
Namun bila seseorang tidak sengaja atau lalai maka tidak bisa dibenturkan dengan delik ujaran kebencian. Untuk memproses pelanggaran itu maka menjadi ranah pembuktian bahwa seseorang sengaja berbuat ujaran kebencian di media sosial.
Terkait kata “setiap orang”, dalam UU ITE yang dimaksud tidak hanya sebatas satu orang. Dalam hukum pidana, nomenklatur “setiap orang” dalam delik ujaran kebencian tidak hanya dimaknai orang perorang, tetapi badan hukum pun bisa diproses.
Lanjut dia, masyarakat harus hati-hati dalam menggunakan media social sebab nomenklatur dalam pelanggaran ITE tidak hanya sebatas pembuat konten. Sebagai pengguna media sosial harus kritis, cermat, dan melakukan filter sebab bagi yang “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan” maka dapat diproses secara hukum.
“Misalnya ketika ada konten di facebook lalu kita bagikan. Jempol kita bisa menjadi alat yang membuat kita diproses. Kita bagikan saja ujaran kebencian, hoaks, fitnah, dan pencemaran nama baik maka kita juga bisa diproses dan dimintai pertanggungjawaban,” kata Awal. (A)