ZONASULTRA.ID, KENDARI – Forum Masyarakat Anti Penggusuran (FMAP) di bawah naungan Komunitas Baku Sapa Kendari menyoroti berbagai penggusuran paksa yang telah banyak dilakukan selama kepemimpinan Penjabat (Pj) Wali Kota Kendari, Asmawa Tosepu.
Ketua Komunitas Baku Sapa Kendari, Tulus Lestari mengatakan bahwa sejak kepemimpinan Asmawa Tosepu, telah terjadi puluhan kasus penggusuran paksa yang berlindung di balik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penggusuran dilakukan kepada masyarakat kecil yang umumnya para pedagang kaki lima (PKL).
Padahal menurutnya, PKL memiliki peran penting tersendiri dalam kehidupan perkotaan, terutama bagi masyarakat kecil yang bergantung pada keberadaan PKL dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Namun nahas, mereka harus mengalami penggusuran paksa oleh PJ Wali Kota Kendari sehingga cenderung menunjukkan adanya bentuk pemiskinan struktural yang sengaja diciptakan oleh pemerintah melalui penggusuran paksa tanpa solusi kongkret sama sekali,” ungkapnya dalam keterangan resminya pada Senin (11/12/2023).
Pihaknya menyebut bahwa kasus penggusuran itu telah mengorbankan kurang lebih 300 lapak dan rumah yang tersebar di berbagai wilayah di Kota Kendari seperti Pasar Kota Lama, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sodoha, By Pass, sekitar RS Kendari, sekitar SPBU Tapak Kuda, pasar kuliner dan buah di Kali Kadia, dan tempat lainnya.
Tulus juga menyebut penggusuran paksa itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merujuk pada resolusi Comission on Human Rights Resolution 1993/77 bahwa penggusuran paksa dianggap sebagai pelanggaran HAM berat.
Instrumen penggusuran paksa ini, juga terdapat dalam UU nomor 11 tahun 2005, tentang hak ekonomi, sosial dan budaya yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya termasuk pangan, sandang dan perumahan serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus,
“Dan negara menjadi pihak yang akan mengambil langkah-langkah memadai untuk perwujudan hak tersebut,” tambah Tulus.
Lanjutnya, sebagai ruang hidup bersama, Kota Kendari melalui pemerintah seharusnya memberikan perlindungan dan keadilan untuk seluruh masyarakat yang hidup di dalamnya. Namun, dengan adanya penggusuran itu terkesan menunjukkan kurangnya keberpihakan Pemkot Kendari terhadap masyarakat kecil, seperti para PKL.
Untuk itu, FMAP menuntut Kemendagri, Kemenpan RB dan Presiden Joko Widodo untuk meninjau kepemimpinan Pj Wali Kota Kendari karena diduga telah melakukan penggusuran paksa yang melanggar HAM tentang hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob).
Komnas HAM RI juga diminta harus turun melakukan investigasi akibat tindakan sewenang-wenang PJ Wali Kota terhadap masyarakat kecil di Kota Kendari. Pihaknya meminta harus ada penghentian penggusuran paksa PKL yang mayoritas dari kalangan kelas bawah, perkuat dialog dan menciptakan solusi bersama.
“Penegakan RTRW Kota Kendari jangan hanya mengorbankan PKL yang mayoritas berasal dari kalangan masyarakat kecil, tetapi juga harus menindak para pengusaha yang menimbun laut dan mengklaim sebagai tanah milik pribadi di sekitar Teluk Kendari, terutama di kawasan By Pass dan wilayah Kecamatan Kendari,” tutur Tulus.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Kota Kendari, Kurniawan Ilyas mengatakan bahwa yang dilakukan tersebut bukanlah penggusuran paksa, melainkan penertiban untuk penataan Kota Kendari agar HAM yang lainnya dilindungi, dihormati dan dijunjung tinggi.
“Tidak hanya PKL, ada juga HAM untuk pejalan kaki, pemilik kendaraan, ada HAM kegiatan lainnya. Jadi dengan Perda Nomor 1 Tahun 2012 itu tujuannya untuk memberikan keseimbangan lingkungan. Untuk RTH di perda nomor 10 tahun 2011 juga demikian, jadi setiap makhluk hidup itu dijamin HAM-nya tanpa mengganggu HAM lainnya,” ucap Kurniawan via telepon WhatsApp.
Ia juga menyebut bahwa hal tersebut telah dijamin dalam UUD 1945 pasal Pasal 28J ayat (1) dan (2). Kurniawan juga menyebut bahwa penertiban yang dilakukan Pemkot Kendari tidak ada kaitannya dengan pemiskinan struktural karena bukan menghilangkan hak untuk mencari hidup, melainkan mengatur agar rapi dan sesuai dengan ketentuan.
“Aspirasi tetap dihormati dan pendapat tetap dihargai, namun ada pembatasan-pembatasan jika berbicara tentang lokasi PKL yang telah diatur oleh Perda. Pimpinan menjalankan aturan saja, tidak ada maksud-maksud lain. Penertiban juga ada tahapan-tahapan termasuk penyampaian lokasi yang boleh dan tidak boleh ditempati,” tutur Kurniawan. (A)
Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Muhamad Taslim Dalma