Dalam sebuah diskusi kecil dengan seorang netizen yang mengomentari tulisan saya yang berjudul “Ayo (Berpura-pura) Perangi Narkoba”, dikatakan perlunya kepedulian anggota masyarakat terhadap lingkungannya untuk memberantas narkoba. Gagasan ini bukan hal yang baru tapi hingga saat ini tidak mengaktual di tataran aksi.
Bentuk kepedulian dan atau partisipasi seperti apa yang dilakukan anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya untuk melawan kejahatan yang hampir semuanya terorganisir ini. Mendatangi tetangganya yang sedang madat dan melarangnya? Melaporkan tetangganya yang ketahuan madat kepada pihak berwajib? Menanyai tetangganya darimana dia peroleh obat-obatan terlarang itu? Melaporkan seseorang yang dicurigai sebagai pengedar?
Tidak mudah melakukan semua hal itu. Ada banyak hambatan mulai dari rasa sungkan mencampuri urusan orang lain. Kemudian persepsi bahwa korban kecanduan itu adalah aib yang tidak boleh diketahui orang sehingga disembunyikan oleh keluarga sendiri, sampai pada rasa khawatir akan ancaman keselamatan dan ketentraman yang akan diterimanya jika seseorang “usil”.
Jika seorang anggota masyarakat di lingkungannya aktif “mengganggu” kenyamanan para pemadat dan atau pengedar, tunggulah aksi pembalasannya. Rumahnya mungkin akan dilempari tengah malam atau bahkan akan mencapat intimidasi dan ancaman baik langsung maupun tidak langsung.
Ingat, para pengedar ini memiliki jaringan dengan kekuatan uang yang bisa mengerakkan apa saja yang mengganggu kelancaran bisnis mereka. Termasuk, yang menjadi rahasia umum kita semua, adanya oknum-oknum tertentu yang memiliki kuasa untuk melindungi bisnis haram mereka.
Hal-hal inilah yang membuat anggota masyarakat, terutama di perkotaan, untuk tidak mau ambil pusing dengan lingkungan sekitarnya dalam hal pemberantasan narkoba ini. Masyakarat lalu mengambil posisi bertahan, menjaga keluarga masing-masing.
Persoalannya, tidak semua keluarga memiliki kesadaran untuk menjaga anggota keluarganya. Atau tidak semua keluarga ditakdirkan untuk memiliki keluarga yang samawa. Kita menemukan begitu banyak keluarga yang broken home, orangtua terlalu sibuk, atau bentuk-bentuk tidak ideal lainnya untuk dikatakan sebagai sebuah keluarga.
Meskipun demikian, masyarakat harus dituntut dan memang sudah sepantasnya begitu, untuk turut mengambil bagian dalam peperangan melawan narkoba ini. Kita tidak bisa hanya mengandalkan BNN yang kelembagaannya hanya sampai di level kabupaten/kota. Tidak bisa hanya mengandalkan anggota polisi yang dalam banyak kasus cukup mengecewakan saat menangani kasus narkoba. Tidak bisa hanya mengandalkan organisasi non pemerintah semisal Granat yang kemampuannya sangat terbatas.
Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah pendekatan. Sudah jelas bahwa partisipasi anggota masyarakat di lingkungannya tidak bisa dilakukan orang per orang. Individu per individu. Partisipasi ini harus melembaga agar ada jaminan perlindungan dari negara. Harus terkoordinasi baik sehingga operasionalisasi aksi menjadi lebih sistematis.
Lembaganya dibentuk dari tingkatan RT, level pemerintahan kecil di lingkungan tempat tinggal, kemudian tingkat desa/kelurahan, kecamatan, lalu masuk dalam struktur jejaring kerja BNN kabupaten/kota.
Taruhlah bernama “Garda Anti Narkoba” atau nama lain yang relevan. Beranggotakan sejumlah warga di tingkatan RT dengan keanggotaan antara 5-10 orang, meski semakin banyak anggotanya semakin baik. Demikian pula di tingkat desa/kelurahan, dan kecamatan.
Garda Anti Narkoba tingkat RT ini ini secara aktif dan sukarela melakukan pemantauan dengan bentuk kerja yang bersifat “intelijen”, lalu melaporkan hasil kegiatannya kepada lembaga di atasnya untuk mendapatkan penanganan reaksi cepat jika diperlukan. Laporan tidak usah formal-formal. Cukup pesan-pesan singkat di smartphone.
“Garda Anti Narkoba” di tingkatan desa/kelurahan juga beranggotakan personil TNI/Polri yang bertugas sebagai Babinsa/Babinkamtibmas. Jadi, keanggotaan personel TNI/Polri di Garda Anti Narkoba tingkat desa/kelurahan itu sifatnya ex-officio.
Demikian pula di tingkat kecamatan, Danramil/Kapolsek menjadi anggota ex-officio dalam kelembagaan Garda Anti Narkoba kecamatan. Keanggotaan utama tetap warga desa/kelurahan dan kecamatan yang bersedia menjadi relawan.
Kenapa TNI harus ikut serta? Jawabannya sederhana saja. Urusan pertanian saja TNI dilibatkan, apalagi kalau urusan perang melawan narkoba ini. Dua-duanya bermuara pada keamanan.
Garda Anti Narkoba ini harus dipersepsi sebagai bagian dari gerakan moral masyarakat dan partisipasi aktif masyarakat sipil untuk memerangi narkoba. Jadi, kita tidak hanya ribut di medsos dengan emoticon sedih, marah, atau like ketika ada kasus-kasus narkoba yang mencuat.
Kita turut mengambil bagian. Partisipasi kita dilembagakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan diri dari serangan balik jaringan pengedar atau pihak lain yang bersimpati pada kejahatan itu. Ini gerakan sosial. Gerakan massa.
Jadi, kelak ceritanya menjadi begini: bukan Andi Syahrir yang melapor, tapi Garda Anti Narkoba. Tangkismi itu.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial