Gedung Baru: Adaptasi atau Punah

321
Andi Syahrir
Andi Syahrir

La Ode Kaimoeddin pusing tujuh keliling. Saban hari, kritikan dan hujatan dialamatkan padanya. Tidak jarang, nyinyiran juga dirasakannya. Untung saja, saat itu media sosial belum ada.

Gempuran publik berangkat dari kebijakannya yang hendak memindahkan kantor gubernur ke kawasan Anduonohu. Sebuah kawasan yang masih penuh ditumbuhi pohon dan semak belukar.

Macam-macam saja Pak Gubernur ini, mau kasih pindah kantor gubernur ke hutan. Belum saatnya. Begitu kata orang-orang. Tapi Gubernur legendaris itu bersikukuh. Keputusannya bulat. Kantor gubernur harus pindah.

Tahun 1998, pembangunan mulai dilaksanakan. Tahun 2000, pegawai pemprov pindahan. Pelan-pelan, instansi-instansi ikut bergeser ke sana.

Kini, hanya tersisa beberapa OPD pemprov yang tidak berkantor di sekitaran Bumi Praja Anduonohu. Kini, kawasan itu menjadi pusat pertumbuhan baru di Kota Kendari.

Arus pemukiman, kawasan bisnis, pusat perkantoran semua bergerak ke sana dan menjadikan kantor Gubernur sebagai sentrum. Terakhir, gedung Bank Indonesia yang begitu megah berdiri di sana. Yang kalau masuk ke sana, mendaftarkan kedatangan saja harus difoto.

Selepas Kaimoeddin, Ali Mazi hadir. Bandara Wolter Monginsidi dibangun. Kritikan juga tidak sedikit menerpa. Belum saatnya bandara dibangun. Penumpang pesawat masih sedikit.

Gubernur jalan terus. Landasan pacu diperpanjang. Ruang tunggu dan kedatangan dibangun baru, tidak lagi dalam gedung milik TNI. Yang kalau kita masuk kawasan itu, dumba-dumba gleter di bawah tatapan tajam para petugas.

Tak perlu lagi kita bahas betapa strategisnya bandara yang telah bersalin nama menjadi Bandara Halu Oleo ini. Barangkali yang perlu sedikit dibahas adalah bagaimana mempertahankan toilet bandara tetap wangi.

Atau mempertanyakan kenapa gagang kran air di toilet selalu copot. Apakah setelah mereka cebok, kran air itu dilempar begitu saja. Ini juga kelakuan yang perlu dibina. Dibinasakan maksudnya.

Waktu terus berjalan. Zaman melahirkan pemimpin baru bernama Nur Alam. Di masanya, tiang pancang pertama Jembatan Teluk Kendari ditancapkan. Kritikan juga diterimanya.

Nur Alam menghadapi gugatan publik atas hilangnya sebuah ikon kota –kawasan Kota Lama. Kawasan Pecinan dengan segala jejak kesejarahan, denyut ekonomi, dan romantisme di dalamnya. Termasuk urgensi atas fungsi jembatan itu.

Kini, jembatan itu menjadi urat nadi pergerakan arus barang yang diangkut dari dan ke Kendari New Port di Bungkutoko yang kita bangga-banggakan itu. Kontainer raksasa tidak perlu masuk dan berkeliling kota –merampas hak pengguna jalan lainnya.

Jangan tanyakan pula betapa bangganya warga Sultra dengan hadirnya jembatan yang diresmikan Pak Jokowi itu. Hingga seminggu pasca peresmian, orang-orang berbondong-bondong selfie di sana.

Masa dengan setia bergerak. Ali Mazi kembali memimpin. Pembangunan kantor Gubernur baru digagasnya. Berkonstruksi 22 lantai. Akan dibangun di belakang kantor gubernur saat ini –yang dibangun Gubernur La Ode Kaimoeddin itu.

Kritikan pun bermunculan. Mayoritas mempertanyakan urgensi gedung baru. Masih banyak agenda pembangunan lain yang lebih prioritas. Begitu kurang lebih argumentasi yang dibangun para pengkritik.

Visi apa sesungguhnya yang diusung dari pembangunan kantor gubernur yang baru ini? Kita akan sambung pada tulisan berikutnya.

Tulisan ini hanya menjadi semacam pengantar bahwa perubahan zaman harus direspon dengan adaptasi. Kisah-kisah di atas adalah proses adaptasi dari pemimpin-pemimpin kita.***


Oleh : Andi Syahrir
(Penulis merupakan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini