ZONASULTRA.COM, LAWORO – Namanya La Ode Pomusu. Usianya tak muda lagi, tepatnya 71 tahun. Pria berpostur tinggi besar itu merupakan sang juara Internasional Layang-layang Tradisional atau dalam bahasa Muna Kaghati Kolope (layang- layang dari daun ubi hutan).
Pria berdarah Belanda ini, menetap di Kelurahan Wamelai, Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Barat (Mubar), Sulawesi Tenggara (Sultra) bersama istri dan beberapa orang anaknya di tengah hutan.
Prestasinya yang gemilang, dan sempat mengharumkan nama Indonesia di mancanegara ternyata tak sebanding dengan hidupnya kini. Ia bersama istri dan beberapa anaknya mendiami Rumah panggung berukuran 7×9 meter yang terbuat dari kayu dan berjarak 1 kilometer dari jalan poros Raha-Wamengkoli
Sejak tahun 1978 hingga kini, rumahnya hanya diterangi lampu tembok yang terbuat dari kaleng bekas susu. Padahal ia sejak dulu kala telah mengharumkan nama Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara di luar negeri, namun bantuan sekadar penerangan belum juga dinikmati.
Baca Juga : Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian I)
Ia menuturkan selama mewakili kabupaten dan bahkan negara Indonesia, dirinya belum mendapatkan bantuan. Dirinya sangat mengharapkan bantuan listrik yang sejak kurang lebih 45 tahun sampai sekarang rumahnya belum teraliri listrik.
“Saya berharap pemerintah daerah Muna Barat (Mubar) dapat memberikan bantuan listrik ini. Karena sampai saat ini belum mendapatkan bantuan khususnya listrik. Saya pernah hampir mendapatkan bantuan listrik, hanya saja nama saya dicoret,” cetusnya.
Ia hanya mengandalkan hasil pertanian yakni kacang tanah dan jagung, untuk menghidupi kehidupan sehari-harinya bersama keluarganya.
Bersama sang istri bernama Wa Ode Maliina (63) mereka memiliki sembilan orang anak. Anak pertamanya bernama La Ode Balesi, menjadi TKI di negeri jiran Malaysia, anak keduanya Siti Nurliati bekerja sebagai tenaga honorer di TK Mega Indah Kelurahan Wamelai.
Kemudian, anak ketiganya Juruali dan bekerja sama dengan orang tua sebagai petani, anak keempatnya Silasnajin merupakan anggota TNI di Kaimana Papua. Selanjutnya, anak kelimanya Wa Ode Luasi sebagai ibu rumah tangga, anak keeman dan ketujuh yakni La Ode Mpimpitu dan La Ode Talolindo bekerja sebagai security di UHO, sementara dua orang anak gadisnya bernama Wa Ode Asmah dan Wa Ode Hanafiah tengah menuntut ilmu di UHO Kendari.
Baca Juga : Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian II)
“Beginilah kehidupan saya bersama keluarga kecilku, untuk kebutuhan sehari-hari kami mengharapkan dari hasil pertanian yang kami tanam. Alhamdulillah dari hasil pertanian ini, bisa memenuhi kehidupan kita sehari-hari,” kata pria paruh baya saat ditemui di kediamannya, Minggu (20/1/2019) lalu.
Kecintaan Kaghati Kolope dan Prestasi
Lalu bagaimana ceritanya Pomusu mahir membuat dan memainkan Kaghati?. Menurutnya, dirinya mahir membuat layang-layang tradisional sejak usia 12 tahun yang diteruskan dari ayahnya juga ahli dalam membuat layang-layang.
“Saya itu nanti tahun 1959 sudah bermain layang-layang yang terbuat dari daun kolope yang masih berukuran kecil kira-kira dulu 1 meter. Bapakku ini juga dulu pemain layang-layang,” jelasnya.
“Jadi saat main layang-layang dulu, kita punya layang-layang tidak ada yang memekai kertas. Semua layang-layang kami dulu bahannya terbuat dari daun kolope,” ungkapnya.
Pomusu sempat berhenti bermain layang-layang pada tahun 1968, saat dirinya beranjak dewasa. Tetapi tali Kaghati yang terbuat dari daun nenas hutan masih disimpannya. Pertama kali dirinya mengikuti lomba layang-layang tahun 1994 di Wakuru kecamatan Tongkuno, pada acara hari ulang tahun salah satu partai dan mendapat juara satu.
Mendapat juara sebagai layang-layang tradisional yang terbuat dari daun ubi hutan ini, pada tahun 1995 dirinya dikirim ke Jakarta mewakili Kabupaten Muna. Pada lomba layang-layang ini, dirinya mendapat juara Internasional.
“Saat saya menerbangkan layang-layang dari daun kolope dan berukuran lima meter di Ancol. Saya masih ingat yang mengundang saya dulu Ibu Sari dia adalah panitia layang-layang internasional. Dan situlah pertama kalinya saya mendapatkan juara internasional,” tuturnya.
Berhasil mendapat juara pertama di ajang internasional ini, tahun 1996 dirinya kembali dikirim di luar negeri tepatnya di Perancis kota Marseille. Saat itu, lawan-lawannya dari negara lain seperti Cina, Italia, Kanada, Perancis dan lainnya.
“Alhamdulillah saya mendapatkan juara internasional lagi di Perancis. Waktu di Perancis ada tiga kota yang menjadi tempat lomba layang-layang tradisional ini, hanya saya sudah lupa,” ucapnya.
Berselang satu tahun, tepatnya tahun 1997 dirinya kembali mengikuti lomba layang-layang tradisional di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan mendapat juara lagi. Nanti, di tahun 1998 dirinya kembali dikirim ke Jakarta dan mendapat juara lagi.
Usai dari Jakarta tahun 1998, dirinya selama satu tahun vakum mengikuti lomba layang-layang. Nanti tahun 2000, dirinya kembali dipanggil mewakili Indonesia di kejuaran internasional lagi, tepatnya di Jepang, akan tetapi dirinya membatalkan panggilan tersebut dengan alasan takut naik pesawat karena saat itu banyaknya pesawat mengalami musibah.
“Waktu dipanggil di Jepang saya tidak mau karena takut. Saya takut di pesawat, karena waktu saya balik dari Perancis, saya dengar ada pesawat yang jatuh,” ceritanya.
Berselang sekitar lima bulan, dirinya kembali dipanggil mengikuti lomba di Bandung tepatnya di Pangandaran dan mendapat juara nasional lagi. Kemudian, tahun 2002 mengikuti lagi di Lampung.
“Untuk iven internasional terakhir tahun 2009 di Itali saya mendapat juara dunia. Dan yang hadir saat itu 87 negara dari 120 undangan yang disebarkan,” tutur.
Dia menceritakan, saat menaikkan layang-layangnya yang terbuat dari daun ubi hutan itu, peserta dari negara lain heran. Karena layang-layang terbuat dari daun dan ada bunyi yang ditimbulkan dari layang-layang ini atau namanya itu ‘kamuumu’. Kamuumu ini terbuat dari rotan yang dibuat setipis mungkin.
“Mereka kaget liat layang-layangku, sempat saya ajar buat tapi mereka (negara lain) tidak pintar. Dan mereka heran kok layang-layang terbang tinggi saat hujan tidak turun, sebab kalau air hujan kena layang-layang langsung jatuh dari daun, apa lagi dengan getaran bunyi kamuumunya,” ucapnya.
Tanggapan Pemda
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Muna Barat (Mubar) Ali Kadirun mengatakan sejak dilantik pada 4 Januari 2019 yang lalu sebagai Sekretaris Disparbud, dirinya mempunyai banyak program termaksud akan membangkitkan lagi budaya layang-layang tradisional yang selama ini tidak mendapatkan perhatian. Sebab, di luar sana bahkan di luar negeri layang-layang tradisonal yang terbuat dari daun kolope itu hanya ada di Mubar.
“Saya berterima kasih kepada teman wartawan, telah memberikan informasi ini. Kita Disparbud akan mengejar salah satu item budaya layang-layang tradisional ini,” tuturnya.
Untuk kembali membudayakan layang- layang tradisional di Kabupaten Mubar, dirinya akan membuat lomba layang-layang sehingga budaya ini tetap terjaga dan melahirkan La Ode Pomusu yang lainnya.
“Insya Alah kita akan membuat festival layang-layang, baik itu terbuat dari kertas dan ini kita akan jadikan agenda tahunan kita nanti. Tetapi kita tetap utamakan budaya kita yakni layang-layang yang terbuat dari daun kolope ini, dan mempunyai nilai budaya,” ucapnya.
Lebih lanjut, kata dia, pihaknya akan memberikan pendampingan kepada La Ode Pomusu dalam mengikuti lomba layang-layang tradisional baik tingkat nasional maupun intrnasional nantinya.
Terkait dengan harapannya La Ode Pomusu mengenai listrik ini, kata Ali Kadirun, dirinya akan mengupayakan memfasilitasi dengan mengusulkan bantuan listrik yang diinginkannya melalui di Sekretariat Daerah (Setda) Mubar bagian ekonomi.
“Kita ketahui bersama beliau telah mengharumkan nama daerah sampai di tingkat internesaional ini dan butuh perhatian khusus oleh Pemda Mubar. Untuk listrik ini, kita akan memfasilitasi di Setda Mubar bagian ekonomi untuk bantuan tersebut,” tegasnya.
Solusi Akademisi
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UHO Kendari, La Ode Niampe mengatakan bahwa layang-layang tradisional yang terbuat daun kolope ini sudah berkembang selama zaman prasejarah di Muna. Hal itu dibuktikan dengan sebuah lukisan layang-layang di dinding Gua Liangkabori yang terdapat di Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.
“Jadi dengan ditemukannya lukisan layang-layang di Gua Liangkabori ini, artinya layang-layang di Muna sudah berkisar antara 4000 sampai 10.000 tahun yang lalu. Kita perkirakan kaghati (layang-layang) Kolope di Muna ini sudah sejak dahulu sudah ada,” jelasnya.
Kata dia, sesuai di dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan yang meliputi 10 obyek termasuk layang-layang ini masuk di dalamnya. Menurutnya, layang-layang ini bisa masuk dalam kategori layang-layang tradisional dan layang-layang teknologi dengan berbahan kertas dan kain.
Lanjut Niampe, jika Pemerintah Daerah (Pemda) Mubar memperhatikan layang-layang tradisional kolope ini sebagai aset budaya, maka masyarakat atau pemerintah setempat mengemas sehingga layang-layang itu bisa mendapatkan kesejahteraan bagi masyarakat di Muna dan Mubar.
“Kita tahu juga di Mubar ada juara nasional maupun juara internasional layang-layang tradisional daun kolope yakni La Ode Pomusu. Saya juga berharap pemerintah setempat dapat terus mengembangkan budaya kaghati ini,” ungkapnya. (**)