Cabai memiliki banyak penggemar di kalangan masyarakat Indonesia. Rasanya yang pedas membuat sensasi tersendiri yang dinikmati para penyukanya baik untuk dijadikan sambal ataupun menambah sedap rasa masakan. Tidak sedikit produk makanan kemasan yang dijual menggunakan cabai sebagai penyedap dan penarik minat konsumen, seperti mie instan ataupun camilan ringan. Memiliki nilai produk yang signifikan, cabai menjadi salah satu komoditas penting bagi perekonomian Indonesia.
Dari sisi harga, komoditas cabai sering mengalami gejolak harga yang cukup fluktuatif. Harga turun ketika musim panen, ataupun melonjak naik ketika gagal panen atau musim kering. Seperti kondisi saat ini, kekeringan lahan hingga gagal panen menjadi fenomena yang tak aneh saat masa kemarau panjang yang akan terjadi hingga September ini. Minimnya stok cabai yang tidak seimbang dengan permintaan membuat harga komoditas cabai menjadi melonjak naik.
Selain harga cabai yang sering bergejolak tajam, disparitas produksi dan kebutuhan konsumsi, serta masa panen yang cabai yang berbeda menjadi permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah. Perbedaan tersebut yang menuntut terjadinya tambahan pasokan dari wilayah lain yang otomatis memperpanjang rantai distribusi dan meningkatkan harga jual.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan cabai tertinggi berada di Provinsi Sumatera Barat yang mencapai 0,59 kg perkapita perbulan pada tahun 2017. Tidak aneh karena daerah tersebut terkenal sebagai daerah asal muasal masakan padang yang bercita rasa pedas. Sementara sentra produksi cabai tertinggi adalah Provinsi Jawa Barat, yakni mencapai 273 ribu ton pada tahun 2017. Perbedaan tingkat produksi dan konsumsi tersebut menjadi penyebab perlunya tambahan pasokan antar wilayah untuk memenuhi kekurangan komoditas cabai.
Untuk wilayah Sulawesi Tenggara, distribusi komoditas cabai yang dipasok oleh petani lokal hanya sebesar 74.35 persen pada tahun 2017. Selebihnya, untuk kekurangannya berasal dari tambahan kiriman Provinsi Sulawesi Selatan. Namun sayangnya hal ini menyebabkan rantai pendistribusiannya lebih melibatkan cukup banyak pihak, diantaranya petani, pedagang pengepul, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir. Berdasarkan hasil survei BPS, Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Sulawesi Tenggara adalah sebesar 69,28 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga cabai dari produsen hingga konsumen akhir di Sulawesi Tenggara sebesar 69,28 persen.
Kondisi saat ini, menurunya jumlah suplai cabai dari distributor atau petani akhir-akhir ini membuat harga cabai terus melambung. Dari harga normal nasional 30.000-45.000/kg, kini mulai mencapai harga 200.000/kg menurut pernyataan dari Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Harga tersebut berlaku bagi berbagai jenis cabai, baik cabai rawit merah, cabai rawit hijau, maupun cabai merah keriting. Tak bisa dipungkiri akibat harga yang melonjak tajam mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Mereka yang biasanya membeli dalam jumlah banyak mulai mengurangi pembeliannya. Tentunya pada akhirnya berdampak pada omzet penjual yang menurun.
Bagi masyarakat kenaikan harga cabai bisa diantisipasi dengan membudayakan menanam cabai sendiri di rumah. Hal ini bisa mengurangi ketergantungan saat terjadi kesulitan pasokan cabai dan harga yang melambung tinggi. Mengkonsumsi cabai kering juga bisa menjadi alternatif untuk tetap bisa merasakan cita rasa pedas.
Sementara untuk para petani, sudah seharusnya bisa mengantisipasi pola rutinan musiman yang terjadi. Pola tanam yang terencana diharapkan mampu menjaga stabilitas produksi cabai sepanjang musim. Peran pemerintah dinilai penting untuk meyakinkan petani untuk mengoptimalkan penanaman di luar musim kemarau.
Pemerintah juga diharapkan mampu mengatasi masalah kekeringan dengan membuat penampungan air untuk pengairan lahan pertanian, sehingga petani masih bisa menghasilkan produksi meskipun saat musim kemarau. Selain itu pemerintah diharapkan juga memperbaiki sarana prasarana yang menunjang proses distribusi, baik dalam hal transportasi maupun infrastruktur jalan.
Oleh Dyah Tari Nur’aini SST
Penulis adalah Statistisi Ahli Pertama BPS Kab. Kolaka