Akhir-akhir ini, wacana tentang percepatan pemekaran Provinsi Kepulauan Buton dari Sulawesi Tenggara kembali menghangat. Namun, usul tersebut tidak bisa diproses karena hingga saat ini pemerintah masih melakukan moratorium permintaan daerah otonom baru. Langkah ini diambil oleh pemerintah dengan pertimbangan bahwa desentralisasi yang sudah berjalan selama dua dekade ini tidak berjalan secara maksimal untuk kepentingan pembangunan.
Berdasarkan hasil evaluasi Bappenas dan Mendagri bahwa selama tahun 2012-2014, menyebutkan bahwa sekitar 70-80% daerah otonom baru gagal berkembang. Kegagalan itu dilihat dari segi kemandirian ekonomi yang diukur dari rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah (detik.com/29/2/19). Jika dilihat dari kemandirian daerah otonom baru, hanya Kalimantan Utara yang mencapai 20%, selebihnya rasio PAD terhadap total pendapatan daerah berada diangka 10% ke bawah.
Bagaimana Dengan Kondisi Fiskal Sulawesi Tenggara?
Meskipun dari tahun 2017-2019 pendapatan daerah dilingkup Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan, tetapi dari sisi kemandirian belum menunjukan perkembangan yang berarti. Data BPS memperlihatkan bahwa pada tahun 2019, Kontribusi PAD dari tiap-tiap daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara hanya mencapai 9,63%. Sebaliknya, rasio dana Transfer/Perimbangan dari pemerintah pusat sebesar 87,51%. Artinya, masing-masing Pemerintah daerah tidak optimal dalam menggali dan menemukan keunggulan potensi daerahnya untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.
Begitu juga dengan peta kapasitas fiskal di daerah wilayah cakupan Kepulauan Buton masing-masing belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Dari lima kategori (Sangat Tinggi-Tinggi-Sedang-Rendah-Sangat Rendah) yang diklasifikasikan melalui PMK Nomor: 126 Tahun 2019, kapasitas fiskal Kota Baubau berada pada kategori rendah, sementara daerah lainnya memilki kategori sangat rendah. Kondisi ini selain dipengaruhi oleh faktor kemiskinan, juga tidak diimbangi dengan inovasi daerah dalam menghasilkan sumber-sumber pendapatan sehingga kemampuan keuangan daerah dalam membiayai program-program strategis juga berkurang.
Beberapa angka tersebut sengaja ditampilkan untuk memperlihatkan bahwa pelaksanaan desentralisasi yang dijalankan selama ini masih menyisihkan masalah. Walaupun tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan pelaksanaan otonomi daerah juga memiliki kecenderungan positif. Tetapi faktanya untuk saat ini, beberapa daerah di wilayah Sulawesi Tenggara belum ampuh mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Efektifitas pelayanan dan pembangunan pun tidak berjalan indah, hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmatinya.
Jika diamati, angka ketimpangan ekonomi Sulawesi Tenggara masih berada di atas ketimpangan Nasional. Bahkan pada tahun 2018 berdasarkan data BPS, Sulawesi Tenggara berada di posisi runner up daerah yang memiliki level ketimpangan tertinggi di Indonesia setelah DIY. Untuk di wilayah Sultra sendiri, tingkat ketimpangan tertinggi berada di Kabupaten Buton Tengah sebesar 0,508, kemudian disusul Kota Baubau 0,452. Angka kesenjangan ekonomi yang dimiliki Kabupaten Buton Tengah tersebut termasuk dalam kategori tingkat ketimpangan tinggi, sementara Kota Baubau termasuk dalam kriteria sedang.
Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa capaian pembangunan kita belum bisa dinikmati secara merata oleh penduduk. Meskipun setiap tahun pendapatan perkapita masyarakat meningkat, tetapi manfaatnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk (orang kaya). Sedangkan sebagian besar penduduk dengan kategori miskin memperebutkan sebagian kecil sumber daya untuk meningkatkan pendapatannya. Isu seperti ini yang perlu diperhatikan bersama untuk dicari solusinya dalam rangka pemeratan ekonomi masyarakat.
Arah Baru Perjuangan
Masyarakat harus menyadari bahwa obat mujarab untuk mengatasi masalah pembangunan dan kesejahteraan tidak hanya melalui pemekaran daerah. Apalagi semangat dari pemekaran itu belum didukung dengan lingkungan kelembagaan dan kapasitas daerah yang baik. Vujanovic (2017) dalam artikel: Decentralisation to Promote Regional in Indonesia menyebutukan bahwa, suksesnya jalannya otonomi daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat bergantung pada kapasitas daerah dan lingkungan kelembaganya. Kelembagaan yang dimaksud misalnya terkait dengan keterampilan personel (SDM), infrastruktur, teknologi, keuangan, manajerial dan sebagainya.
Jika hal ini tidak diperbaiki, maka tujuan pemekaran untuk mendorong pembangunan, meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dibeberapa kasus lain, kapasitas daerah dan kelembagaan yang lemah seringkali menjadikan daerah memiliki basis pendapatan lebih kecil sehingga menjadi hambatan serius bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan. Selain itu, daerah baru juga hanya akan menjadi ladang “perburuan rente” para elit sehingga masyarakat kesulitan untuk mengakses kebutuhan ekonominya.
Dengan demikian, pembenahan kembali kelembagaan daerah menjadi aspek yang paling penting untuk diperhatikan. Bukannya mengingkari, tetapi sebaiknya hasrat perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Buton perlu direfleksikan ulang, sambil menunggu PP Penataan daerah dan PP Desain Besar Penataan Daerah yang mengatur secara teknis pemekaran wilayah diterbitkan. Tidak perlu membangun narasi yang berlebihan sampai harus saling melampar tudingan. Toh, secara administratif usulan pemekaran itu sudah diterima oleh pemerintah pusat (Tirto,15/10/21).
Terlepas dari itu, kita patut mengapresiasi langkah yang sudah dilakukan oleh semua para penggagas dan pejuang yang sudah terlibat. Saat ini, alangkah lebih baiknya jika energi perjuangan yang membara itu dialihkan untuk mengawal setiap daerah agar memiliki kapasitas kelembagaan yang baik dan terampil dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi saat ini. Memastikan agar setiap daerah di wilayah cakupan Kepulauan Buton dapat meningkatkan inovasi misalnya: pengembangan produk unggulan, pemberdayaan, membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, pelayanan publik dan sebagainya.
Sebab aktor utama dari pelayanan publik terletak di daerah Kabupaten/Kota yang masih diberikan kewenangan luas oleh undang-undang dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi. Sehingga, ketika keran moratorium telah terbuka, Kepulauan Buton dapat menjadi daerah persiapan otonomi baru yang benar-benar siap. Tidak lagi menjadi daerah yang masih memperdebatkan persoalan asset, tapal batas, polemik ibu kota, korupsi di saat masalah kesenjangan ekonomi masih menghantui masyarakat.
Oleh: Syahril H.
Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik