Sejak Rusman Emba menyatakan akan kembali mencalonkan diri memimpin Kabupaten Muna untuk periode kedua, dan Rajiun Tumada –Bupati Muna Barat– mendeklarasikan diri sebagai penantang Rusman pada Pilkada 2020, suhu politik di pulau itu mulai menghangat.
Wajah perpolitikan serta merta menyuguhkan kompetisi para elit itu seolah-olah sebuah peperangan antara kebaikan melawan kejahatan, peperangan antara yang benar melawan yang salah, peperangan antara yang dzalim dan yang terdzalimi.
Rakyat lantas terpolarisasi melalui produksi wacana yang mengaduk-aduk emosi sesaat. Mereka menjatuhkan simpati, menetapkan dukungan, hanya berdasarkan bahwa kandidat yang satu jahat sedangkan lawannya baik. Atau dikarenakan figur yang satu mendzalimi dan yang satu terdzalimi.
Perang wacana baik-jahat, benar-salah, dan mendzalimi-terdzalimi menggiring publik untuk tak lagi rasional menilai apa yang sesungguhnya telah dilakukan pemimpin mereka selama memerintah. Sedikit sekali –jika tak dikatakan tak ada– obyektifitas dalam palagan yang seperti ini.
Padahal, pada pemimpin yang telah memimpin selama beberapa waktu, relatif mudah untuk menilai mereka secara rasional dan obyektif. Lihat saja raportnya melalui laporan-laporan statistik yang dipublikasi secara resmi.
Tulisan ini mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), baik melalui situs resminya (BPS Muna dan Muna Barat) ataupun publikasinya dalam bentuk dokumen terbaru (Kabupaten Muna/Muna Barat dalam Angka 2018 dan 2019).
Rusman dilantik pada 2 September 2016, sedangkan Rajiun dilantik 22 Mei 2017. Artinya, Rusman telah memerintah 13 bulan hingga Desember 2017, sedangkan Rajiun memerintah selama tujuh bulan pada kurun waktu yang sama.
Tulisan ini menjadikan tahun 2017 dan 2018 sebagai titik penilaian. Sebab tahun 2016, Rusman baru tiga bulan memerintah, sedangkan Rajiun sama sekali belum mulai. Sedangkan untuk menilai 2019, belum dapat dilakukan karena proses pembangunan masih berlangsung.
Ada lima parameter paling utama untuk menilai keberhasilan Rusman-Rajiun. Tentunya, bagi yang terbiasa dengan gorengan “saling berbalas pantun”, tulisan ini membosankan karena sarat dengan angka-angka.
Pertama, laju pertumbuhan PDRB. Membatasinya pada PDRB atas harga konstan, untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi Muna naik 0,14 persen sedangkan Muna Barat naik 1,32 persen.
Kedua, persentase penduduk miskin. Muna sukses menurunkan persentase penduduk miskinnya sebesar 1,66 persen, sedangkan Muna Barat 2,07 persen.
Ketiga, persentase tingkat pengangguran terbuka. Apa itu pengangguran terbuka? Mereka adalah angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Mereka belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal atau dikarenakan faktor malas mencari pekerjaan atau malas bekerja.
Muna berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbukanya sebesar 0,04 persen. Keciiil sekali. Sedangkan Muna Barat malah melonjak drastis menjadi 5,05 persen. Ini angka yang besar.
Keempat, persentase angka partisipasi sekolah (APS). Ini indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses penduduk pada fasilitas pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi APS, semakin besar jumlah penduduk yang berkesempatan mengenyam pendidikan.
Namun demikian, meningkatnya APS tidak selalu dapat diartikan sebagai meningkatnya pemerataan kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan.
Pada tulisan ini, APS dibatasi pada tiga kelompok usia saja, yakni 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun. Ada satu kelompok usia lagi, yakni 19-24 tahun. Hanya saja, data yang tersedia tidak lengkap sehingga sulit membuat perbandingan.
Pada usia 7-12 tahun atau usia sekolah dasar, APS di Muna mengalami penurunan 0,23 persen. Sedangkan Muna Barat stagnan dengan persentase 100 persen. Artinya, semua anak rentang usia itu dapat mengakses pendidikan.
Di usia 13-15 tahun (setara SMP), APS di Muna menurun sebesar 0,37 persen sedangkan Muna Barat menurun 1,65 persen. Dapat diartikan bahwa pada usia SMP, terjadi penurunan akses terhadap pendidikan. Dengan kata lain, terjadi peningkatan angka putus sekolah sesuai dengan persentase di atas.
Pada usia 16-18 tahun (SMA), APS di Muna mengalami penurunan sebesar 3,06 persen sedangkan Muna Barat menurun sebesar 1,10 persen. Artinya, persentase laju putus sekolah setingkat SMA di Muna lebih tinggi daripada di Muna Barat.
Kelima, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
IPM di Muna mengalami peningkatan sebesar 0,86 poin sedangkan Muna Barat sebesar 0,68 poin. Secara umum, IPM di Muna lebih tinggi daripada di Muna Barat pada sepanjang 2017-2018.
Dari angka-angka pada lima variabel ini, kita dapat melihat kinerja dari masing-masing bupati tadi. Tentunya, masing-masing punya keunggulan dan kelemahan masing-masing. Silakan menilai.
Kita tunggu data di tahun 2019. Tepat ketika pertempuran benar-benar berlangsung. Apakah kita masih akan menoleh ke angka-angka ini? Atau kita hanya terjebak pada isu-isu, siapa merusak baliho siapa, atau mengundang tidak mengundang di perayaan hari jadi daerah.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial