ZONASULTRA.ID, JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk berkomitmen kuat merealisasikan salah satu aspirasi besarnya pada 2025 yaitu menjadi Champion of Financial Inclusion. Untuk itu, bank terbesar milik negara tersebut mengusung konsep hybrid bank agar mampu melayani seluruh lapisan masyarakat hingga pelosok negeri di era transformasi digital.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan pihaknya berupaya keras mendidik dan mengajarkan masyarakat untuk masuk ke dalam ekosistem keuangan dengan tidak membeda-bedakan. Terlebih di era digital, BRI tidak ekslusif hanya melayani masyarakat yang bisa disentuh dengan digital saja, tapi juga yang belum melek digital pun harus dapat dilayani.
“Oleh karena itu strategi hybrid bank yang paling tepat bagi BRI. Tidak melulu digital, tapi tidak juga melulu konvensional. Bahwa nanti masyarakat bertransformasi menjadi masyarakat digital, kita siapkan dengan digital banking. Bahwa masyarakat sekarang masih ada yang harus dilayani secara manual, bahkan secara didatangi ke kampung-kampungnya, di desa-desa, membutuhkan kehadiran BRI, kita hadir di sana,” ujar Sunarso menegaskan.
Berdasarkan Laporan Keuangan BRI hingga akhir Kuartal II 2022, kontribusi transaksi melalui outlet konvensional kantor hanya 1,9% dibanding total transaksi. Persentase itu berbanding jauh dengan transaksi e-channel yang mencapai 98,1%, yang di dalamnya termasuk transaksi dari ATM, CDM, BRILink, BRIMO dan internet banking.
Untuk merealisasikan hybrid bank bahkan BRI memiliki sumber daya yang sangat memadai. Hingga semester I/2022, BRI memiliki branchless network melalui Agen BRILink sebanyak 570 ribu di seluruh penjuru Tanah Air. Adapun target jumlah Agen BRILink hingga akhir 2022 mencapai 600.000. Sementara itu jumlah branch network BRI terus menurun Hingga akhir Kuartal II jumlah kantor BRI tercatat sebanyak 8.804 kantor.
Untuk memperkuat layanan pula, BRI gencar menurunkan penyuluh digital dan keuangan ke desa-desa. Tugasnya pertama, mengajari masyarakat membuka rekening secara digital. Kedua, mengajari masyarakat bertransaksi secara digital. Ketiga, mengajari masyarakat untuk menjaga rekeningnya dari kejahatan digital.
“Melalui strategi tersebut, BRI bisa menjangkau masyarakat terluar, tertinggal, dan terdepan yang kita sebut 3T. Kemudian yang paling penting adalah jangan tinggalkan masyarakat yang masih konvensional, tapi juga jangan antipati kepada masyarakat yang sudah bertransformasi menjadi masyarakat digital, ini penting kita pastikan,” tuturnya.
Alasan Kuat
Apa yang diupayakan BRI tak terlepas dari hasil riset internal atas pasar utama perseroan yaitu pelaku UMKM. Bahwa nasabah UMKM terutama di mikro dan ultra mikro, sudah familiar dengan gawai tetapi pengetahuannya masih terbatas dengan produk-produk keuangan.
“Kemudian cash transaction masih menjadi pilihan utama dan mereka lebih senang memilih lembaga keuangan itu yang sifatnya local. Kenapa demikian? Karena mereka sebenarnya butuh agility, butuh flexibility, karena memang ternyata mereka itu memiliki cash flow rata-rata tidak stabil dan kemudian mereka memilih hubungan-hubungan lewat agen daripada lewat institusi keuangan formalnya itu sendiri,” imbuh Sunarso.
Berdasarkan hal tersebut, BRI menyimpulkan untuk bisa menjangkau seluruh masyarakat Indonesia hingga di daerah-daerah tertinggal, terdepan, terbelakang, diperlukan hybrid antara digital dan juga manual.
Dengan demikian diharapkan BRI menjadi yang terdepan dalam mewujudkan aspirasi pemerintah untuk menciptakan inklusi keuangan yang mencapai 90% pada 2024. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui riset 3 tahunan menyatakan indeks inklusi keuangan Indonesia baru sekitar 76% pada 2019.
“Kesimpulan, bahwa kita siapkan digital banking, tetapi jangan meninggalkan yang manual, karena masyarakat masih membutuhkan itu. Kita ikuti saja journey-nya masyarakat dan kita pastikan bahwa seluruh program kita baik yang sifatnya manual ataupun yang digital kita kawal dari atas sampai ke bawah dan kita pastikan bahwa semua inisiatif yang kita rencanakan itu bisa dieksekusi dengan baik,” pungkas Sunarso. (Adv)