Dua tahun silam, dalam perhelatan sebuah festival bertajuk “Kendari Kreatif Festival 2015”, lahir sebuah slogan yang menggugah. ILIKENDARI. Sebuah city branding. Nama yang memikat dan mengikat. Mengikat rasa ke-Kendari-an kita.
Saya membayangkan tagline itu kemudian dipahat besar-besar di sebuah landmark di kota ini, lalu orang beramai-ramai selfie. Membangga-banggakannya, dengan kalimat mainstream: tidak sah ke Kendari kalau belum berfoto di sini.
Tapi slogan city branding itu ternyata memudar. Tidak lekat di benak publik. Seiring waktu, terdengar kian sayup-sayup. Pemerintah Kota Kendari juga tidak berbuat banyak untuk menstimulasi terwujudnya slogan “kekinian” itu –minimal membuat semacam photobooth. Barangkali karena sudah ada city branding duluan yang lebih “gimana gitu”, Kendari Kota Bertaqwa. Pun telah ada sebutan kultural, Kendari Kota Lulo.
Dapat pula dipahami bahwa pencetus ILIKENDARI ini adalah anak-anak muda yang irisannya dengan entitas politik praktis boleh dikata tidak ada. Mereka tidak bernaung di himpunan kepemudaan partai tertentu ataupun lembaga yang ditumbuhkan oleh politisi atau yang punya kuasa untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan yang berkonsekuensi penganggaran.
Mereka anak-anak muda yang sedang meretas masa depannya, meluangkan waktu untuk berhimpun, lalu mencoba sedikit berbuat baik untuk kotanya. Mereka menamakan diri Komunitas Kendari Kreatif.
*** *** ***
Ada yang berbeda dengan salah satu kelurahan di Kota Kendari. Tembok-tembok kota dimural indah. Ruang-ruang kosong berwarna-warni oleh bebungaan. Kelurahan ini sedang berbenah dalam rangka lomba kelurahan bersih dan hijau, yang bertema “Kendari Berbunga”. Kelurahan ini menjadi “klien” dari Komunitas Kendari Kreatif untuk mewujudkan visi ILIKENDARI yang mereka gagas.
Tapi terlepas dari itu, sesungguhnya ada sedikit kekecewaan atas apa yang saya sebut dengan “pembonsaian gagasan” atas filosofi yang dibawa oleh ILIKENDARI. Tagline ini tidak mendapat ruang formal yang memadai di level pemerintah kota untuk difungsionalkan sebagai sebuah kerja terpadu mewujudkan Kendari yang menyenangkan. Syukurnya, dimanfaatkan oleh sebuah kelurahan yang kebetulan sedang menjadi peserta lomba.
Pertanyaannya kemudian, seandainya tidak dalam rangka berlomba, apakah kelurahan ini akan disulap menjadi kawasan ekowisata? Apakah ide-ide cemerlang dari anak-anak muda Komunitas Kendari Kreatif akan diadopsi? Saya pesimis untuk mengatakan “ya”.
Lalu pertanyaan yang lebih mendasar lagi, kenapa kreatifitas pembangunan kita baru terpicu dan terpacu manakala berada di gelanggang kompetisi? Spirit berkreasi kita tidak muncul sebagai sebuah kesadaran, melainkan setelah kita diadu. Ini realitas yang menyedihkan.
Anda tahu apa bedanya amatiran dengan profesional? Amatir itu selalu masuk ke gelanggang lomba dalam rangka menang-menangan. Profesional itu tidak peduli soal menang atau kalah di setiap gelanggang, melainkan meraih legacy.
Apa maknanya? Jika negeri ini dibangun selalu dengan spirit perlombaan, maka kita sedang mengelola negeri dengan cara yang amatiran. Habis lomba selesai pula kita menanam bunga. Selesai pula kita membersihkan selokan.
Ada sebuah penggalan kalimat Walikota Bandung Ridwan Kamil yang perlu direnungkan. Kurangi kata kompetisi, perbanyak kata kolaborasi. Dalam ruang kompetisi yang paling fair sekalipun, semangat yang hadir di sana adalah mencoba tampil terbaik tanpa peduli apakah mitra tanding kita juga menampilkan yang terbaiknya. Kita mendapati ketidakpedulian.
Sedangkan terminologi kolaborasi akan membawa kita pada semangat, “Saya berusaha tampil sebaik-baiknya, dan kamu akan saya bantu untuk demikian.” Itu kolaborasi. Jika semangat kolaborasi itu yang menjadi nadi setiap upaya pembangunan kita, maka gagasan sekeren ILIKENDARI tidak terbonsai menjadi kegiatan-kegiatan kecil dalam rangka lomba tingkat kelurahan. Tapi diadopsi menjadi sebuah jalan pedang menuju Kendari Kota Bertakwa atau Kendari Kota Lulo yang sesungguhnya. ILIKENDARI. I Like Kendari. ***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial