Impor Guru, Kebijakan yang tak Perlu

256
Hamsia
Hamsia

Tirto.id – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mewacanakan akan mengundang guru dari luar negeri untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia. Menurut Puan, saat ini Indonesia sudah bekerja sama dengan beberapa negara untuk mengundang para pengajar, salah satunya dari Jerman.

“Kami ajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia,” ujar Puan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenes, di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, kamis (9/5/2019) lalu.

Lebih lanjut, Puan mengatakan jika para tenaga pengajar asing tersebut mengalami kendala bahasa, mereka akan diberi fasilitas penerjemah, serta perlengkapan ahli bahasa.

Puan mengatakan, para guru yang diundang ke Indonesia itu nantinya akan memberikan pelatihan keterampilan mengajar kepada guru Indonesia. Selain itu, mereka juga akan diberi kesempatan mengajar lansung para peserta didik

Wancana yang digulirkan Puan menuai kritik dari Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim.

Menurut Ramli, “impor guru atau mengundang pengajar dari luar negeri tidak tepat di tengah banyaknya guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, tapi tidak mendapat upah memadai. “Pemerintah lebih baik mensejahterakan guru honorer jika memang memiliki banyak dana.” ungkap Ramli, Ahad.

Tidak hanya itu,Ramli juga mengungkapkan bahwa guru Indonesia memiliki potensi cukup baik dalam hal mengajar. Akan tetapi, banyak guru memang dibebani kurikulum dan administrasi yang berat, sehingga sibuk dengan banyak hal yang sejatinya tidak perlu dilakukan.

Guru impor tidak akan bisa bekerja maksimal dengan ikatan kurikulum yang saat ini diterapkan. Pasalnya, mereka akan mengalami kendala bahasa, sehingga hal tersebut menjadi permasalahan besar. “Persoalan lainnya adalah maukah mereka para guru luar negeri ini mengajar di daerah terluar atau terpencil di Indonesia,”kata Ramli.

Ramli juga mengaitkan guru impor dengan kondisi pendidikan di dalam negeri. Ramli memaparkan, berdasarkan data yang termuat di majalah Dikti volume 3 tahun 2013, teryata jumlah Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) saat itu ada 429 lembaga terdiri atas 46 LPTK negeri dan 383 LPTK swasta. Jumlah mahasiswa keseluruhannya mencapai 1,440.770 orang.

Hal ini, menurut Ramli, menjadi kenaikan yang sangat mengejutkan karena pada tahun 2010 jumlah LPTK hanyalah sekitar 300-an . Artinya, ada kenaikan lebih dari 100 LPTK dalam jangka waktu hanya 3 tahun atau ada penambahan sekitar 30 LPTK setiap tahun atau tiga lembaga setiap bulan. “ jadi, setiap 10 hari muncul sebuah LPTK baru, tentu saja statistik ini langsung mematahkan asumsi bahwa minat menjadi guru itu rendah,” kata Ramli.

Tak hanya itu, dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta, diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300 ribu orang pertahun. Padahal, kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40 ribu orang per tahun. Dengan demikian, akan terjadi kelebihan pasokan yang sangat besar. (Republika.co.id).

Nasib Pendidikan di dalam Negeri

Sistem Pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan zaman. Namun, perubahan yang dilakukan tidak membawa perubahan bagi masyarakat. Yang ada hanya menambah masalah yang semakin menumpuk tiada berujung. Masih banyak masyarakat yang tidak mengenyam jejang pendidikan formal, sarana, dan prasarana yang kurang memadai.

Di tambah lagi, Seiring dengan perkembangan zaman dari tahun ke tahun biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Bagi masyarakat kelas atas, tingginya biaya pendidikan tidak menjadi suatu masalah karena menurut mereka pendidikan merupakan hal yang penting dan status sosial ekonominya yang mampu. Akan tetapi, bagi masyarakat kelas bawah, mahalnya pendidikan tentu saja bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh mereka..

Apalagi, Baru-baru ini dihebohkan dengan wacana Menteri Puan Maharani yang ingin mendatangkan guru dari luar negeri, untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Tentu bagi masyarakatyang berprofesi sebagaiseorang guru dan mahasiswa jurusan keguruan tidak setuju. Karena, merekalah yang akanmengabdi di negeri mereka. Kalau seandainya didatangkan guru dari negara lain, pasti akan terjadi persaingan dengan guru lokal dan mematikan hak guru dalam negeri.

Yang lebih dikhawatirkan guru dari luar negeri, mereka akan membawa bahasa dan budaya dari negara mereka dan disampaikan serta diajarkan kepada peserta didik di negeri ini. Kalau budaya positif tidak masalah, tapi jika budaya tersebut merusak moral generasi muda negeri ini, bagaimana?. Bisa jadi generasi bangsa semakin jauh dari pemahaman Islam, gaya hidup bebas, dan tingkah laku yang tidak mencerminkan seorang intelektual, mereka disibukkan dengan urusan dunia semata.

Seyogianya semua hal ini tidak terlepas sistem kapitalisme, mereka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka membuat sistem UKT yang disesuaikan dengan pendapatan orang tua katanya. Namun, kenyataanya pun tak seperti itu. Banyak diantara sekolah-sekolah dan fakultas-fakultas yang memiliki UKT tinggi, sehingga menyulitkan para orang tua yang ingin menyekolahkan mereka disana.

Begitupun dengan upah yang diberikan kepada guru di Negeri ini. Masih sangat kurang memadai. Upah guru masih terbilang sangat rendah dalam sebulan, terkhusus guru honorer dibandingkan dengan kebutuhan ekonomi mereka.

Sehingga, banyak diantara mereka yang sudah berkeluarga harus mencari tambahan penghasilan lain, dan bahkan ada yang barganti profesi demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Akibatnya, para guru tidak bisa fokus mendidik anak bangsa dengan baik. Bahkan ada beberapa sekolah yang kekurangan guru untuk mengajar, dan tidak adanya tindakan dari pemerintah. Dan kurang meratanya sarana dan prasana diberbagai kota-kota terpencil juga menjadi masalah dalam negeri ini.

Pendidikan dalam Sistem Islam

Sesungguhnya dalam Islam guru adalah seseorang yang paling dimuliakan, karena guru adalah orang tua bagi kita di sekolah. Sayidina Ali Thalib ra dalam sebuah riwayat menyatakan “diri sebagai budaknya seorang guru yang telah mengajarinya, meskipun hanya satu huruf.”

Selain itu, memuliakan guru merupakan prasyarat bagi kemudahann memahami dan memanfaatkan ilmu yang dipelajari. Syaikh al-Zarnuji dalam kitab Talim al-Muta’alim menegaskan “bahwa seorang pelajar tidak akan mendapatkan kemanfaatan ilmu yang ia pelajari kecuali dengan memuliakan guru.”
Menghormati guru merupakan kunci bagi kemudahan mendapatkan ilmu. Begitu pula dalam mengamalkan dan mengembangkannya.

Begitupun pendidikan dalam Islam, memiliki kualitas didikan terjamin dengan adanya tenaga pendidik yang mampu di semua bidang ilmu. Sarana dan prasarana pun dijamin dengan baik oleh Negara disemua sekolah Pun, untuk mendapatkan pendidikan itu sangat mudah, bahkan diberikan secara gratis oleh negara, megingat pendidikan merupakan salah satu tangung jawab negara kepada rakyatnya. Pemerintah juga memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan dalam negeri yaitu pendidikan Islam. Baik dilaksanakan diluar sekolah maupun dilingkungan sekolah.

Rasullullah saw bersabda “seorang imam (khalifah) kepala negara adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” ( H.R.Bukhari dan Muslim).

Islampun tidak hanya menjamin penduduk muslim mendapatkan pendidikan, tetapi juga penduduk non-muslim juga banyak menuntut ilmu di negeri muslim. Tujuan pendidikan Islam pun jelas menjadikan hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan mempunyai kepribadian Islam serta menguasai ilmu sains dan teknologi.

Muhammad Saw, sebagai kepala negara, pernah mengirimkan tenaga pendidik untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Pada saat yang sama, Nabi Saw juga mengizinkan kaum muslim satu dengan yang lain saling belajar dan mengajar.

Pada masa Abu Bakar As-Siddiq, masjid difungsikan sebagai tempat belajar, ibadah,dan musyawarah. Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah masjid dan didirikan pada masa Abu Bakar. Pusat pembelajaran adalah kota Madinah dan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para sahabat Rasulullah shallallahu a’laihi wa salam.

Begitupun dengan gaji guru dalam Islam pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Tercatat dimasa khalifahan Umar Bin Khattab, seorang guru diberi gaji 15 dinar per bulan (1 dinar =4,25 gr emas, 15 dinar =63,75 gr emas, bila sekarang 1 gr emas Rp.500.000, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp.31.875.000). belum lagi untuk seorang guru atau ulama yang menyusun kitab ajarannya, dihargai dengan emas seberat buku yang diterbitknnya.

Bukan hanya gaji yang besar, negara dalam islam juga menyediakan sarana dan prasarana secara gratis nan mudah dalam menunjang kualitas dan profesional guru dalam menjalankan tugas mulianya.
Namun sayang, kesehjateraan seperti ini tidak didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kaffah dalam aspek kehidupan. Wallahu a’lam bish showab.


Oleh : Hamsia
Penulis merupakan pemerhati umat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini