Impor Ugal-Ugalan, Islam Solusinya

Impor Ugal-Ugalan, Islam Solusinya
Hamsia

“Menteri Enggar ugal-ugalan dalam impor, lalu indonesia diserbu barang impor di berbagai sektor. Tapi, kenapa Jokowi diam saja dan tidak kunjung mengganti Enggar?

Hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kaasitas Gudang Bulog sudah berlebih.

Kemudian ada juga kritik pada impor gula yang sempat meroket, hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi.

Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik.

Tak hanya itu, masuknya produk semen asing ke Indonesia juga menuai persoalan. Sebab, produksi semen Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun. Belum lagi, dari sejumlah kebijakan impor yang dikeluarkan juga kerap bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 9 Agustus lalu, KPK menangkap 11 orang terkait suap impor bawang putih. Dikutip dari Antara, Rabu (7/8/2019).

Sesungguhnya kebijakan impor yang berkepanjangan ini menjadi bukti nyata buruknya riayah  negara terhadap urusan umat, nampak dari kebijakan impor yang sangat bebas dan tak mengidahkan kepentingan negara dan rakyat banyak. Bahkan, kebijakan ini merupakan bukti penguasa sudah jadi terjebak danmenjadi antek kepentingan kapitalisme global.

Kebijakan impor tidak sejalan dengan program pemerintah dalam masalah ketahanan pangan. Impor beras dan impor pangan lainnya berpotensi melanggar UU No 18/201 tentang pangan. Karena, menurut anggota Pokja dewan Ketahanan Pangan Gunawan, persyaratan impor bahan pangan ialah karena tidak bisa ditanam di dalam negeri , kurangnya produksi dalam negeri, ketidakcukupan cadangan pangan nasional (pemerintah, pemda dan masyarakat), serta tidak boleh merugikan pelaku usaha pangan dalam negeri khususnya petani.

Impor pangan sebenarnya menunjukkan kelemahan perekonomian Indonesia. Negara tidak mampu berdikari, berdaulat diatas kaki sendiri. Meski jargon “makan apa yang kita tanam, memakai apa yang kita produksi” selalu didengungkan tiap kampanye, namun teryata hasilnya tetap impor lagi, dan impor lagi.

Kebijakan ini justru mematikan pertanian di Indonesia. Pasalnya kebijakan ini justru hanya memiskinkan petani-petani lokal dan hanya memperkaya para kapitalis yang bersembunyi dibalik kebijakan impor ini.

Inilah bukti pemimpin yang gagal dalam memenuhi kebutuhan dan membela kepentingan rakyatnya. Gagal dalam menjalankan aktifitas ekonomi negara. Sangat jauh dari yang pernah dijanjikan dulu semasa belum berkuasa. Berjanji impor akan dikurangi, tapi kenyataannya malah ugal-ugalan.

Masalah ini memang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Indonesia sebagai negara yang agraris justru menjadi sebuah negara yang doyan mengimpor. Mulai dari daging sapi, sayur, garam, gandum, kedelai bahkan hingga bawang pun semuanya didatangkan dari luar negeri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China masih mendominasi sebagai negara pengimpor komoditas sayur dan buah terbanyak bagi Indonesia. Kontribusi nilai impor sayur China mencapai 67,15% dengan nilai US$ 271,8 juta dari total nilai US$ 404,6 juta yang dipasok berbagai negara. (bisnis. Liputan6.com, 3/9/2013)

Seyonginya hal ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang mencengkram negeri ini. Kapitalisme yang mengubah negeri agraris ini menjadi negeri importir pangan. Kebijakan yang dilahirkan pemerintah akan senantiasa diarahkan untuk para kepentingan para kapitalis. Maka tidaklah heran jika kebijakan yang dilahirkan malah semakin menyengsarakan kaum mayoritas (rakyat) dan mensejahterakan kaum minoritas (kapitalis).

Hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam yang berlandaskan kepada syariat Allah. Prinsip utamanya jelas yaitu pemenuhan kebutuhan hajathidup orang banyak atau masyarakat keseluruhan tanpa pandang bulu. Dalam Islam negara memiliki peran penting dalam hal pemenuhan rakyatnya termaksud dalam hal penyediaan bahan pakan ternak.

Rasulullah SAW bersabda “seorang imam (khalifah) memelihara dan mengatur urusannya terhadap rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Islam pertanian menjadi perhatian negara karena pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan Rasullullah bersabda dalam sebuah haditsnya, “Tidaklah seorang muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau menanam sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan Ahmad).

Negara dalam Islam melakukan penjagaan dan pengelolaan pasar dengan baik. Sehingga, penetapan harga akan senantiasa terjaga. Negara juga memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk kesejahteraan rakyatnya, serta memaksimalkan pendistibusian hasil SDA secara merata hingga pemenuhan hajat hidup rakyat secara keseluruhan terpenuhi. Bukannya malah impor.

Kebijakan impor dalam perspektif Islam untuk memenuhi  kebutuhan pangan masyarakat? Jawabannya ada dalam politik pertanian Islam, yang diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.

Oleh karenanya perhatian negara dalam sistem Islam pun harus dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian, agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Inilah indahnya Islam, semua masalah yang ada pada masyarakat bisa terselesaikan hanya dengan diterapkan negara Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bis showwab.

 


Oleh: Hamsia
Penulis adalah ibu rumah tangga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini