Ini adalah bagian kedua –sekaligus terakhir– dari tulisan tentang pikiran-pikiran Ibu Budianti Kadidaa. Mantan Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan (Distanak) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), yang wafat pada 29 November 2020 silam.
Sebagai keluarga, sebagai sesama penggiat sektor pertanian di lingkungan birokrasi, saya merasa perlu membagikan pikiran-pikiran beliau, mengingat kiprahnya di Distanak begitu singkat. Barangkali ada sekeping pemikiran beliau yang masih bisa dikontribusikan bagi pembangunan pertanian di Sultra.
Pada bagian pertama tulisan ini, telah disampaikan tiga konsep besar yang disebut dengan Gerakan 3R. Regeneration of Farmers (Regenerasi Petani), Raising of Production (Peningkatan Produksi), dan Reinforcement of Extension (Penguatan Penyuluhan). Kita telah membahas yang pertama. Tulisan ini membahas gerakan yang kedua. Dan ketiga.
***
Indonesia menargetkan menjadi lumbung pangan dunia tahun 2045. Sultra tentu menjadi bagian dari cita-cita besar itu. Sultra harus mengambil peran sebab potensi kita besar. Dalam tataran peningkatan produksi –tentu beriringan dengan kebijakan regenerasi pertanian– ada empat strategi yang dapat ditempuh.
Pertama, intensifikasi pertanian. Ini meliputi kebijakan penyiapan benih/bibit, pengolahan tanah (kebutuhan alsin), kebutuhan pupuk, pengendalian hama penyakit, pengairan atau irigasi yang baik, pengelolaan pasca panen, dan pemasaran hasil.
Distanak memiliki sejumlah unit pelaksana teknis dinas (UPTD) yang menjadi ujung tombak pelayanan pemerintah yang berhubungan langsung dengan penyediaan benih/bibit dan pengendalian hama penyakit.
Ibu Budi memahami dengan cepat bahwa UPTD adalah wajah atas hadirnya negara (pemda) pada masyarakat. Begitu resmi menjabat, agendanya adalah mengelilingi seluruh UPTD yang ada di bawah naunagan distanak. Baik yang ada di Kendari maupun di daerah-daerah lain. Menyerap peluang. Membaca potensi. Mengenali tantangan dan hambatan.
Beliau kembali ke kantornya. Memutuskan bahwa kinerja UPTD harus dioptimalkan. Sebagai garda terdepan pelayanan. Dan juga sebagai sumber bagi pendapatan daerah. Baru itu yang akan digarapnya ketika takdir bergerak dengan caranya sendiri.
Kedua, ekstensifikasi pertanian. Tiga kebijakan besar yang diramu adalah pemanfaatan lahan tidur, pemanfaatan lahan rawa, dan pemanfaatan lahan sisa tambang. Sultra memiliki ketiganya.
Ketiga, diversifikasi pertanian. Juga ada tiga kebijakan yang bisa ditempuh, yakni pergantian jenis tanaman, sistem tumpang sari, dan pemanfaatan lahan berbasis hutan. Perlu ada komunikasi yang hidup di antara pemangku kepentingan. Ego sektoral disingkirkan jauh-jauh.
Keempat, rehabilitasi pertanian. Kebijakan ini sangat beririsan dengan kebijakan ekstensifikasi pertanian. Lahan-lahan tidur dan sisa tambang bisa kembali diolah dan ditanami.
Empat kebijakan di atas yang dirumuskan dalam rangka meningkatkan produksi. Tentu tidak semua dapat dikerjakan secara bersama-sama. Tapi memahami bahwa ada banyak alternative yang bisa ditempuh, pada gilirannya akan menciptakan inspirasi-inspirasi program kerja yang variatif, beda, dan baru. Yang anti-mainstream. Yang out of the box.
***
Gerakan ketiga ialah Reinforcement of Extension. Penguatan Penyuluhan. Pada bagian ini, sedikti banyaknya saya mempengaruhi pemikiran Ibu Budi. Ini adalah bidang yang saya geluti sejak menjadi birokrat hingga dalam kurun waktu sepuluh tahun.
Kondisi kepenyuluhan pertanian nasional mengalami perubahan drastis sejak otonomi daerah. Kinerja penyuluhan menjadi tidak optimal disebabkan kewenangan kebijakan penyuluhan pertanian berada di tangan pemerintah kabupaten/kota.
Maksudnya, bagi pemerintah kabupaten/kota yang peduli dan memahami peran strategis penyuluhan dalam pembangunan pertanian, maka kebijakan penyuluhannya akan baik. Sedangkan daerah yang kurang memberi perhatian terhadap penyuluhan, maka kinerja penyuluhan akan mengalami kemunduran.
Ada dua isu besar dalam penyuluhan. Pertama, isu ketenagaan dan SDM penyuluhan. Setelah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, kewenangan pengangkatan penyuluhan pertanian beralih ke pemerintah kabupaten/kota.
Dari waktu ke waktu, jumlah penyuluh pertanian aparatur yang diangkat semakin berkurang, tidak sebanding dengan yang pensiun, meninggal dunia, ataupun beralih ke jabatan lainnya.
Jika tidak ada langkah-langkah strategis yang ditempuh pemerintah, maka dalam lima tahun ke depan jumlah penyuluh aparatur yang ada di Sultra mengalami penurunan hingga seperduanya.
Saat ini, jumlah penyuluh pertanian di Sultra kurang lebih seribu orang atau malah kurang. Terdiri dari penyuluh PNS dan kontrak. Jumlah ini jauh dari ideal jika acuannya adalah satu penyuluh mengawal satu desa. Jumlah desa di Sulawesi Tenggara lebih dari 2.000 desa.
Jika jumlah penyuluh aparatur semakin menurun, maka perimbangan jumlah desa dan penyuluh akan semakin tidak ideal. Oleh karena itu, ada beberapa solusi kebijakan yang harus ditempuh pemerintah daerah dalam menyiasati kekurangan jumlah penyuluh.
Pertama, pengangkatan penyuluh PNS dan kontrak. Bagi daerah yang program prioritasnya di sektor pertanian, maka kebijakan pengangkatan aparatur harus memprioritaskan pengangkatan penyuluh pertanian, karena penyuluh merupakan garda terdepan dalam mendampingi petani berproduksi.
Kedua, pemberdayaan petani untuk menjadi penyuluh swadaya. Petani yang berhasil dalam usahataninya didorong untuk membagi pengetahuannya ke rekan sesama petani. Mereka inilah yang disebut dengan penyuluh swadaya.
Isu kedua ialah kelembagaan penyuluhan. Ada dua kelembagaan dalam dunia penyuluhan pertanian, yakni kelembagaan pemerintah dan kelembagaan petani.
Kelembagaan penyuluhan di lingkungan Pemprov Sultra berada di Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan dalam bentuk bidang yang dikepalai oleh seorang pejabat eselon tiga dan memiliki tiga unit seksi yang dikepalai oleh pejabat eselon empat.
Sedangkan di kabupaten/kota, struktur kelembagaan penyuluhan bervariasi. Terdapat kabupaten yang urusan penyuluhannya berbentuk bidang, namun ada yang hanya setingkat seksi (eselon IV).
Di tingkat kecamatan, terdapat Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang merupakan “rumah penyuluh”. Kebijakan nasional saat ini adalah hendak menjadikan BPP sebagai simpul koordinasi dan informasi pembangunan pertanian.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah provinsi berorientasi pada terwujudnya BPP sebagai simpul koordinasi dan informasi pembangunan pertanian. Skenario besar kerja-kerja penyuluhan harus berbasis BPP.
Selanjutnya, kelembagaan petani. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67 Tahun 2016, terdapat empat kelembagaan petani yang ada di Indonesia, yakni kelompok tani (poktan), gabungan kelompok tani (gapoktan), asosiasi komoditas pertanian, dan dewan komoditas pertanian nasional.
Dalam perkembangannya, arah pemberdayaan kelompok tani hendak mentransformasi poktan dan gapoktan menjadi kelembagaan ekonomi petani (KEP) dan korporasi petani, yang diharapkan dapat berbadan hukum.
Kebijakan penyuluhan terkait KEP adalah mewujudkan kelembagaan tersebut lebih berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan. Dalam upaya mendukung itu, Pos Penyuluhan Desa (Posluhdes) perlu dikuatkan untuk menjadi ujung tombak kegiatan-kegiatan penyuluhan di tingkat petani.
Fokus kebijakan pemerintah adalah penguatan kelembagaan petani. Program-program pelatihan merupakan metode yang ditempuh untuk meningkatkan SDM petani.
***
Singkatnya masa dinas Ibu Budi membuat pikiran-pikiran ini belum sempat beliau bicarakan. Apatah lagi diaktualisasikan. Bagaimanapun pikiran harus tetap hidup. Tulisan ini adalah cara untuk tetap hidup. Kendatipun jasad telah mati. Semoga menjadi amal jariyah bagi Ibu Budi. Amiin.***
Sebelumnya : In Memoriam Ibu Budianti Kadidaa: Jasad Boleh Mati, Tapi Pikiran Harus Tetap Hidup (Bagian 1)
Penulis: Andi Syahrir
(Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara)