ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo berulang kali menanyakan sebenarnya apa DNA bangsa ini? Agriculture? Manufacture? Techonology information? Cultural industry atau creative industry?
Pariwisata ada di dalam creative industry atau cultural industry. Oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya pertanyaan itu dibalik: Bidang apa yang paling bisa dan memungkinkan Indonesia bersaing di global level? Apa yang membuat Indonesia juara dunia? Tidak ada lawan yang bisa mengimbangi?
Sektor apa yang membuat confidence bangsa ini melonjak tinggi? Yang lebih menjamin credibility lebih besar? Yang bisa di-calibration di standart penilaian dunia? Tanpa bermaksud mengesampingkan sektor lain, jawabannya ada di creative industry, cultural industry, tourism sector!
Maka, tidak salah ketika Presiden Joko Widodo menempatkan pariwisata sebagai sektor prioritas, selain maritim, infrastruktur, pangan dan energi. Tidak salah juga presiden meminta seluruh kementerian dan lembaga untuk mendukung pariwisata menjadi leading sektor baru, untuk membangun competitiveness bangsa Indonesia.
Justru karena support banyak kementerian itulah, Arief Yahya meyakini daya saing kepariwisataan Indonesia menanjak. Membaik 8 peringkat, dari 50 ke-42 tangga di the Travel anda Tourism Competitiveness Index 2017 yang dilaunching oleh World Economic Forum. “Dengan spirit Indonesia Incorporated, semua problem dasar bisa kita atasi bersama-sama,” ujar Mantan Dirut PT Telkom yang asli Banyuwangi Jawa Timur itu.
Mudah mencari contohnya. Environment sustainability, misalnya. Jika tidak ada tragedi asap lagi, tidak ada pembalakan liar, tidak ada perusakan terumbu karang, diganti dengan banyak aktivitas penanaman bakau, penghijauan bukit-bukit gundul, pencangkokan terumbu karang bawah laut, konservasi binatang langka dan sebangsanya, maka secara otomatis mesin pendeteksi TTCI itu berkalibrasi. “Di sinilah peran Kementerian LHK, yang saat ini terus mensupport Kemenpar,” ungkap Arief Yahya.
Contoh lain, ICT Readiness. Arief yang ahli digital itu membayangkan suatu hari semua destinasi wisata Indonesia, semua public service, dari airport, pelabuhan penyeberangan, shopping mall, cafe-cafe, tempat berkumpul atau meeting point, sudah dilengkapi wifi dengan bendwitdh tinggi. Sehingga kalau ada wisatawan membuka smartphone-nya, berdigital online, di semua tempat menjadi sangat mudah dan murah. Komunikasi data juga bisa dilakukan dengan cepat, gampang dan murah.
Di era digital, ICT Readiness itu tidak bisa dihindari. Indeks daya saing Indonesia di sektor ini turun dari 85 ke peringkat ke-91 besar dunia. Turun itu bisa jadi, karena negara lain lebih cepat, menyiapkan infrastruktur telekomunikasi.
Contoh lain di security and safety, Indonesia turun dari posisi 83 tahun 2015, ke papan 91 di tahun 2017. Menpar Arief membayangkan jika ke depan berita-berita terorisme, kejahatan, kekerasan, kriminalitas, demo-demo dan sebangsanya tidak lagi banyak menghiasi media massa. Karena begitu news bertema itu di-relay oleh media global dan diviralkan di media sosial, akan sangat mempengaruhi persepsi publik, termasuk di dalamnya travellers.
Meskipun kejadian itu berada sangat jauh secara geografis dengan TKP – Tempat Kejadian Perkara. Sebagai contoh, dulu pernah ada ledakan di Pos Polisi Thamrin Jakarta. Satu titik kecil di Jakarta itu, berimbas sampai ke Bali, yang jaraknya ribuan kilometer dari TKP. Beberapa travel agent mengeluh, karena ada travel advisor dan travel warning oleh beberapa negara. Wisatawan itu sangat “sensi” dengan berita yang tidak sedap terkait security and safety.
Ada contoh juga soal Prioritization of Travel and Tourism. Menpar Arief Yahya sangat yakin, ke depan akan semakin melejit membaik. Kalau saat ini baru naik tiga strip, dari 15 ke 12, itu karena memang pemerintah dalam hal ini Kemenpar memberikan ruang gerak yang kondusif buat pelaku bisnis pariwisata untuk maju dan berkembang.
Saat ini, malah Kemenpar memfasilitasi semua industri untuk go digital, dan disupport total sampai menjadi online company berbasis digital. Arief mencontohkan transformasi digital, di industri pariwisata, dengan ITX Indonesia Tourism Xchange. Kemenpar mengendors ITX untuk membangun tools yang mempertemukan buyers dan sellers ke dalam satu platform digital. Semacam digital market place, atau mall yang berisi pelaku bisnis pariwisata di online.
ITX menyediakan website developer yang sudah commerce. ITX juga menyiapkan booking system dan payment engine. ITX bahkan mengajari mereka sampai betul-betul bisa online dan memanfaatkan fasilitas itu untuk mengembangkan bisnisnya.
Selain itu, banyak regulasi yang ditata ulang untuk memudahkan pelaku bisnis dalam mendongkrak usaha bisnisnya.
Misalnya pencabutan cabotage untuk cruise atau kapal pesiar, berbendera asing yang embarkasi dan disembarkasi ke beberapa pelabuhan di tanah air. Lalu CAIT untuk yachts atau perahu pesiar, sehingga pengurusan izin untuk sailing ke perairan Indonesia tidak harus memakan waktu 3 bulan lamanya. Sekarang sudah tinggal 3 jam, dan menuju 1 jam seperti Singapore dan Thailand.
Air Transport Infrastructure juga mengalami perbaikan peringkat, naik dari 39 ke posisi 36 besar. Lumayan, menyalip 3 negara. Tentu ini terkait dengan komitmen tinggi pemerintah dalam memperbaiki konektivitas udara dengan segala infrastrukturnya. Airport, airnav, dan airlines yang menjadi jembatan udara menuju ke tanah air dan destinasi wisata.
Hadirnya Terminal 3 Soekarno Hatta, yang disebut oleh Menhub Budi Karya Sumadi sebagai tourism airport, yang didesain untuk kenyamanan wisman masuk ke Jakarta, tentu akan memperkuat pilar ini ke depan. Dirut Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin rupanya juga sangat agresif dan berkomitmen tinggi untuk pariwisata. “Kami sentuh Terminal 3 Soekarno Hatta dengan smart airport dan go digital,” jelas Awaluddin.
Arief Yahya sangat terbantu oleh berbagai kebijakan Angkasa Pura II untuk mensupport kepariwisataan. “Airport kita harus bagus, orang-orang yang melayani wisatawan pertama kali juga harus ramah! Merekalah yang membangun kesan first impression,” katanya.
Juga banyak bandara di daerah wisata yang dinaikkan statusnya menjadi international airport dan dilengkapi semua persyaratannya. Seperti Bandara Silangit di Danau Toba, Bandara Belitung, Bandara Palembang untuk persiapan Asian Games 2018. “Semua yang masuk dalam 10 top destinasi prioritas, harus disupport dengan bandara internasional,” kata dia.
Ke-10 Top Destinasi Prioritas itu adalah Danau Toba Sumut, Tanjung Kelayang Belitung, Tanjung Lesung Banten, Kepulauan Seribu Jakarta, Borobudur Joglosemar, Bromo Tengger Semeru Jatim, Mandalika Lombok, Labuan Bajo NTT, Wakatobi Sultra dan Morotai Maltara.
Visa fasilitation juga contoh yang bagus, begitu kebijakan Bebas Visa Kunjungan 169 negara diterapkan, reaksinya pun beragam. Ada pro kontra. Terlepas dari pro-kontra itu, BVK itu cukup efektif menaikkan jumlah wisman dari negara-negara yang selama ini belum disentuh dengan BVK. Maka tahun 2016 jumlah wisman yang masuk ke Indonesia ada 12 juta, naik dari periode sebelumnya 2015 di angka 10,4 juta.
Kebijakan BVK itu, pengusulnya adalah Kemenpar. TTCI menilai ada kenaikan signifikan, dari peringkat 55 ke 17, dalam pilar international openess. Naik tertinggi, 38 trap di satu pilar itu. “Kami sudah diskusi panjang lebar dengan Sekjen UNWTO United Nation World Tourism Organization di Madrid, Taleb Rivai, bahwa BVK di banyak negara sangat kuat membantu menaikkan jumlah wisatawan,” kata Arief.
BVK itu mirip dengan bisnis start pack di simcard privider telekomunikasi. Dulu biaya kartu perdana itu sampai 100.000, lalu 50.000, turun lagi hingga 10.000, sampai akhirnya free. Bisnisnya bukan di startpack nya, tetapi di pulsanya. “Sama dengan tourism, bisnisnya ada di spending wisman ke destinasi wisata Indonesia. Bukan di biaya visa yang USS 35 per biji itu. Mereka bisa menghabiskan USD 1.200 sampai USD 2000 per kunjungan, jauh lebih besar dari visanya,” ungkap Arief Yahya.
Kaitan dengan spirit “Indonesia Incorporated” itu Menpar Arief juga menyebut peran pemprov dan pemkab atau pemkot. Di era otonomi daerah seperti saat ini, kepala daerah punya visi-misi sendiri-sendiri, yang terkadang disconnect dengan arah kebijakan pemerintah pusat. Ini bukan rahasia lagi, sehingga tidak semua program yang bagus dari pusat bisa diakses secara serius oleh daerah.
Hanya “Indonesia Incorporated” yang bisa membuat semua lini bergerak untuk tujuan yang sama. Presiden Joko Widodo sudah sering mengingatkan bahwa DNA bangsa ini adalah creative industry yang di dalamnya ada pariwisata.
“Karena itu, saya selalu mengarahkan kepada daerah untuk pintar-pintar memilih portofolio bisnisnya. Dan, pariwisata adalah sektor yang paling kuat, paling mudah, paling murah dan paling cepat menghasilkan PDB, devisa dan tenaga kerja,” ujarnya.
Ketika daerah sudah menempatkan pariwisata sebagai core business atau portofolio ekonominya, maka tinggal dilihat keseriusannya. Pertama, apakah sudah menempatkan Kadispar nya dari kader terbaiknya? Ingat, CEO commitment, ketika CEO nya mau, maka 90% akan jadi, begitupun sebaliknya.
Kedua, apakah sudah mengalokasikan sumber daya budget yang terbaik, untuk pilihan utamanya, sektor pariwisata? “Utamakan yang utama! Ketika pariwisata sudah ditempatkan sebagai prioritas utama, maka alokasikan sumberdaya budget dan manusia ke urusan utamanya dulu, pariwisata,” jelas Arief.
Karena itu, prestasi pariwisata Indonesia naik kelas dari peringkat 70 ke 50 (tahun 2015), lalu naik lagi dari 50 ke 42 tahun 2017 itu, bukan pekerjaan seorang menteri yang bernama Arief Yahya saja. Itu hasil kerja gotong royong, kolektif, bersama-sama, dalam bungkus Indonesia Incorporation. Karena itu ke depan, konektivitas antar kementerian dan lembaga serta daerah, menjadi sangat penting dan menentukan.
Menpar Arief Yahya menyebut, apa saja dari 14 pilar itu yang disentuh, diperbaiki regulasinya, impactnya bisa langsung dirasakan, langsung termonitor dengan baik oleh TTCI World Economic Forum (*)