Ledakan bom lagi-lagi menggelegar. Ironisnya terjadi di kala negri ini sedang tertatih. Mencoba bangkit dari pergolakan melawan Pandemi Covid-19. Minggu (28/3/2021), 20 orang yang terdiri dari warga, petugas keamanan gereja, dan jemaat mengalami luka-luka. Tepat di depan Gereja Katedral Makassar, 2 orang yang diduga kuat sebagai pelaku melancarkan aksinya dengan modus bom bunuh diri. Tragis.
Apa yang terjadi merupakan rentetan gangguan keamanan serius bagi negara ini. Bibitnya adalah radikalisme. Sebagaimana terorisme adalah bagian dari kebijakan radikal tersebut. Terorisme bagaikan alarm kehidupan berbangsa dan bernegara. Mencuatkan berbagai permasalahan mendasar, yang utama yakni soal ideologi kemudian ekonomi disusul faktor lainnya. Apa yang diinginkan dari aliran ini adalah pembaharuan sosial dan politik. Meski caranya adalah kekerasan.
Radikalisme seringkali dikaitkan dengan keagamaan tertentu. Padahal esensi agama adalah kedamaian lahir dan batin. Sangat kontradiktif. Olehnya itu gerakan-gerakan seperti ini lebih tepat jika disebut manipulator agama. Label keagamaan yang kerap diusung terorisme hanyalah kamuflase dibalik fanatisme yang sangat tinggi terhadap tujuan tertentu. Garis demarkasi nya dengan umat beragama adalah perwujudan nilai-nilai kekerasan pada pihak yang berbeda, sekaligus sebagai aktualisasi pemahamannya.
Apa yang dikatakan Charles Kimball sebagai “when religions become evil” menyiratkan adanya dua tanda yang menjadi penyebab, mengapa apa yang mereka namakan sebagai agama bisa menjadi kejahatan. Pertama, adanya klaim-klaim kebenaran sepihak. Klaim atas kebenaran ini mewajibkan kesetiaan dan kesamaan interpretasi. Perbedaan penafsiran, apalagi pemahaman keimanan mengakibatkan pihak yang berlawanan dihukum sebagai sesat alias kafir. Kedua, ada semangat misionaris yang militan dengan mengusung segala macam cara untuk menyelamatkan apa yang mereka hukum sebagai orang kafir yang masih berlumur dosa.
Sebagaimana Islam sering dikaitkan dengan radikalisme, tentu hal ini perlu ditilik ulang. Mengingat dalam Islam memberikan kejelasan serta tujuan-tujuan untuk menjadikan mental manusia itu sendiri menjadi karakter yang kuat dalam dirinya. Beberapa hal diantaranya, yakni Hilmun, yaitu kesanggupan atau kemampuan untuk menolak argumentasi yang bersifat pembodohan dengan bahasa yang santun.
Kemudian, Wara’, yaitu kehati-hatian, tidak rakus, rendah hati, yang mampu membentengi dirinya dari norma-norma yang dilarang oleh adat dan agama khususnya. Dan yang utama adalah Husnul Khuluq, yakni berprilaku baik terhadap sesama.
Pengertian-pengertian terhadap radikalisme, terorisme harus dibersihkan dari segmentasi agama apapun. Hal ini mencegah provokasi antar umat beragama sekaligus intern umat beragama. Identifikasi ini penting sebagai titik awal untuk mengenali, kemudian merumuskan solusinya dalam berbagai strategi.
Terorisme harus dipandang sebagai kejahatan tanpa embel-embel identitas apapun. Notabene dalam berbagai kasus di belahan dunia, terorisme membawa labelisasi berlatar sosial, politik, agama bahkan budaya. Jika ditilik lebih jauh keragaman motifnya, tak ada satu simbol yang bisa mewakili esensi terorisme selain dari kejahatan itu sendiri. Terkhusus kejahatan bagi kemanusiaan.
Secara jelas, dalam basis hukum di negeri ini, terdapat identifikasi pengertian terorisme dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Beberapa indikatornya yakni adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut, dilakukan oleh suatu kelompok tertentu, menggunakan kekerasan, mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah, serta dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Di Indonesia, perkembangan radikalisme sudah demikian mengkhawatirkan. Bahkan wanita dan anak-anak pun dilibatkan. Generasi muda menjadi sasaran empuk. Berdasarkan Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di tahun 2017, sebanyak 39% mahasiswa di 15 provinsi terindikasi tertarik paham radikalisme. Fenomena ini cenderung meningkat.
Tumbuhnya radikalisme tentu disebabkan oleh sokongan dana yang kuat. Hasil investigasi terbaru Polri menemukan rahasia pendanaan mereka melalui cara-cara yang tak lazim, yakni melalui modus kotak amal. Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan kotak amal diduga digunakan untuk jaringan teroris.
Dari pendataan, di Lampung sebanyak 6.000 kotak, Sumatera Utara 4.000 kotak, Malang 2.500 kotak, Magetan 2.000 kotak, Yogyakarta 2.000 kotak, Solo 2.000 kotak, Surabaya 800 kotak, Semarang 300 kotak, Pati 200 kotak, Jakarta 48 kotak, dan Ambon 20 kotak.
Penyebaran radikalisme bahkan makin massif seiring dengan perkembangan teknologi. Dunia maya dimanfaatkan dengan baik oleh jaringan teroris untuk menyebarkan paham dan tujuan mereka. Tanpa strategi yang jitu Negara akan kewalahan menghadapinya. Teknologi semakin mendekatkan bahaya laten ini ke anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Radikalisme sangat sulit diberantas sebab eksis di wilayah pemikiran (isme). Sebagaimana radikalisme berkaitan dengan pola pikir dan bertindak, maka hal yang harus disemai yakni pola pikir dan bertindak yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Pola tersebut sesungguhnya terkandung dalam jati diri bangsa kita, yakni nilai-nilai Pancasila.
Bahaya laten terhadap negara demokratis yang multikultural adalah budaya sektarian. Salah satu perwujudannya yakni sikap anti toleran terhadap “yang lain”. Inilah cikal bakal terjadinya radikal. Keberagaman bangsa ini adalah rahmat dari Tuhan, agar kita saling mengenal dan hidup rukun nan damai. Daya lekat itu ada dalam Pancasila yang merupakan filosofi keberagaman bangsa Indonesia.
Pancasila toh adalah ideologi bangsa kita. Idealnya eksis di wilayah pemikiran (isme). Ajaran yang terkandung didalamnya diperlukan sebagai upaya deradikalisasi.
Sebagai jati diri bangsa, hal ini bukanlah sesuatu yang asing bagi kita semua, melainkan hidup dalam kenyataan masyarakat sebagaimana telah dikristalisasi oleh pemikiran The Founding Father’s. Memang untuk menyelesaikan masalah tersebut tidaklah mudah dan sesederhana yang dijargonkan. Bangsa ini membutuhkan kerja keras dan konsistensi secara holistik.
Mencermati bias dari aksi kelompok radikal, secara sengaja mereka berupaya menggusur budaya lokal negeri ini, yang terbukti mampu menyatukan ribuan macam budaya dan keyakinan yang ada.
Kelompok-kelompok radikal ini mengedepankan eksklusifitas, tidak menginginkan adanya inklusifitas alias keberagaman. Pihak lain yang berlawanan keyakinan dipaksa mengikuti ajaran yang mereka klaim benar. Meski faktanya, ajaran kelompok ini justru mendekatkan diri pada budaya kekerasan, sekeji pun itu adanya.
Indonesia sangat kaya akan ragam budaya dan adat istiadat. Kekayaan inilah yang telah membesarkan Indonesia, menjadi negara berkembang. Kekayaan budaya ini juga terbukti memfilter atas masuknya berbagai paham (isme) buruk. Budaya dengan beragam adat-istiadat di dalamnya sejatinya telah merekatkan hubungan antar manusia. Semuanya jelas tercantum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Ideologi Pancasila sangat jelas sebagai nilai kontra dari radikalisme. Penanaman nilai-nilai Pancasila harus terus dijaga dan diterapkan dalam kehidupan. Bukan karena hanya melawan radikalisme bahkan untuk menyelesaikan segenap persoalan bangsa lainnya. Kita tidak perlu jauh-jauh mencari sekelabat konsepsi. Cukup berintrospeksi diri. Solusi itu bahkan ada pada jati diri kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, yakni kembali pada Pancasila.
Oleh : Muh. Fajar Hasan
Penulis adalah Tokoh Pemuda Sulawesi Tenggara, Komisaris Utama PT. Tetap Merah Putih, Ketua Harian Jaringan Indonesia (Jari) Korwil Sulawesi Tenggara. (*)