“Anak ayam mati dilumbung padi”, ungkapan ini mungkin sangat cocok disematkan pada negeri ini. Mengapa Indonesia seperti ini? Kekayaan alamnya tumpah ruah namun kenyataanya rakyat justru tak merasakannya. Kebutuhan pokok yang sudah menjadi barang langka saat ini pun semakin mahal. Akibatnya daya beli beli masyarakat saat ini menurun. Kondisi perekonomian negara dengan utang mencapai 4000 triliun menjadi efek domino disemua lini kehidupan negeri ini. Terlebih lagi rakyat kecil. Garam pun kena dampaknya, semakin mahal saja.
Tingginya harga garam sekitar 100% mengakibatkan kebutuhan garam nasional harus diimpor. Namun seiring dengan tingginya harga barang yang menjadi aspek penting dalam masakan tetap dibeli juga. Seperti dilansir di Republika.co.id di Karawang kenaikan garam dapur mencapai 100%. “dua bulan lalu harga garam dapur masih 1500/pcs . Sekarang mencapai 3000 an lebih”. Bahkan sempat kaget dengan kenaikan yang drastis ini.
Harga garam di Kabupaten Probolinggo juga naik karena stok menipis, begitu lansir Metrotvnews.com, Kamis (6/7). Di daerah tersebut, harga berubah dari Rp1.000 per kilogram menjadi Rp2.800-Rp4.000 per kilogram.
Menipisnya persediaan disebabkan beberapa petani mengalami gagal panen selama beberapa pekan terakhir karena cuaca ekstrem. Saat musim kemarau terkadang masih turun hujan,” ujar Ketua Kelompok Tani Garam ‘Kalibuntu Sejahtera I’, Suparyono, di Desa Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Probolinggo. Negara maritim dengan kekayaan bahari yang begitu banyak, namun kenyataannya saat ini tidak demikian. Negara yang 2/3 dikelilingi lautan ternyata garam pun “naik puncak” bahkan langka. Sungguh ironi, namun ini benar-benar nyata terjadi.
Negara sebagaimana seharusnya harus mampu menjadi sentral pengelola dan kepengurusan hak-hak rakyatnya. Kebutuhan garam saat ini adalah kebutuhan yang penting bagi rakyat. Bagaimana seharusnya pemerintah menanggulangi kelangkaan yang terjadi saat ini. Dengan cuaca ekstrim yang menjadi gagal panennya para petani garam, bukanlah sebagai alasan yang membenarkan hal ini wajarlah terjadi. Tapi bagaimana kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada sektor ini dan sebagai langkah tegas negara harus bersikap.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Berbeda dengan sistem yang berlaku saat ini yang melegalkan swasta dalam hal ini perusahaan yang memonopoli pengelolaan sumber daya alam, menurut syariah Islam, hutan, air dan energi yang berlimpah itu wajib dikelola negara. Pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam rangka semata-mata pemenuhan kebutuhan rakyat.
Rasulullah saw. pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang garam kepada sakah satu sahabatnya. Akan tetapi, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada sahabatnya itu seperti air yang mengalir, dalam hal ini tambang garam itu menguasai hajat hidup orang banyak.
Rasulullah SAW. bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang dan api.” (HR.Abu Dawud).
Dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti halnya garam ini terkategori kepemilikan umum yang menguasai hajat hidup masyarakat wajib dikelola oleh negara. Negara disinilah yang mewakili rakyat melakukan ekplorasi sumber daya alam berikut dengan hasilnya, Negara bukanlah sebagai pemilik atau yang menguasai kekayaan itu. Adapun hasil dari pengelolaan tersebut dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk misalnya layanan kesehatan, pendidikan, keamananan, dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
Hadits yang telah disebutkan diatas juga menegaskan bahwa yang termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup rmasyarakat dilarang untuk dimiliki perseorangan dalam hal ini swasta yang keuntungannya tidak dirasakan oleh masyarakat.
SDA merupakan faktor penting yang akan menunjang kesejahteraan masyarakat , namun saat ini sumber daya alam yang kita miliki justru dikuasai oleh asing melalui korporasi-korporasi negara-negara penjajah. Negara Indonesia dalam hal ini tidak memiliki daya dan upaya untuk menjadi negara berdaulat dalam mengelola kekayaan alamnya sendiri. Bahkan kebutuhan pokok seperti beras, garam dan lain sebagainya masih bergantung pada impor dari negara-negara lain.
Untuk mengembalikan kedaulatan umat atas kekayaan SDA yang mereka miliki, harus ditempuh dengan jalan penerapan syariat Islam secara kaffah disemua tataran kehidupan ini. Dalam hal ini negara yang akan mengelola sumber daya alam ini yang kemudian output dari pengelolaan itu berupa hal-hal mendasar bagi kehidupan masyarakat terlebih lagi negara. Sehingga jelas aturan Islam bukanlah agama yang mengatur ritual peribadahan semata namun juga bertumpu pada pengelolaan hak-hak publik yang itu seharusnya dimiliki oleh warga negara, bukan lagi harus merogoh kocek dalam hal sekedar membeli garam saja.
WalLahua’lam bi ash-shawab (*)
www.yat95.net
Oleh : Nurhayati