ZONASULTRA.COM, KENDARI – Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sulawesi Tenggara (Sultra) meminta kepada sentra penegakkan hukum terpadu (Gakkumdu) agar bertindak secara tegas dan serius, terhadap Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang melibatkan aparatur sipil negara (ASN) kegiatan politik.
Ketua Presidium JaDI Sultra Hidayatullah mengatakan, permintaan itu berangkat dari data yang telah dikumpulkan pihaknya, seperti bukti dan informasi dari seluruh wilayah di Sultra. Dan yang terbanyak pelibatan ASN dalam kegiatan politik saat ini laporannya dari Kota Kendari.
Hal itu berkaitan dengan maraknya dugaan keterlibatan birokrasi dan ASN dengan cara-cara agenda tersembunyi, seperti terlibat dalam sosialisasi dan kampanye baik untuk meminta dukungan calon presiden (Capres) maupun dukungan para caleg.
“Kami menggugat ketegasan Gakkumdu harus berani dan tuntas memproses kasus-kasus politisasi birokrasi dan keterlibatan ASN dalam Kampanye Pemilu 2019. Diperlukan tindak berani tanpa kompromi dari Bawaslu, agar ada efek jera, untuk memutus mata rantai politisasi birokrasi yang terus berulang saat ini,” ujar Hidayatullah dalam rilisnya, Minggu (3/3/2019)
Menurutnya, jika tidak berani maka para komisioner Bawaslu diminta mundur dari posisi pengawas Pemilu, karena kata Dayat, sapaan Hidayatullah, hanya menjadi beban negara dan rakyat untuk membiayai lembaga itu.
(BACA JUGA : Dua Oknum Caleg PKS Digrebek Warga saat Bersama Camat Kambu)
JaDI juga meminta gubernur Sultra dan seluruh bupati/wali kota agar mulai saat ini menghentikan seluruh aktivitas politisasi birokrasi, dan menertibkan seluruh ASN masing-masing agar tidak terlibat dalam kampanye dalam pemilu 2019 ini, karena tegas telah dilarang dalam nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Mantan Ketua KPU Sultra ini menjelaskan, mulai dari pimpinan Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) sampai perangkat desa dan kelurahan, dilarang terlibat dalam kampanye karena ada sanski pidana menanti. Apabila sudah terlanjur membuat arahan diam-diam, maka segera tarik dan hentikan cara-cara politisasi birokrasi ini.
“Selain itu, dalam pasal 280 ayat (2) disebut bahwa pelaksana dan atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengkutsertakan pimpinan MA, MK sampai perangkat desa dan kelurahan. Pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (2) huruf f merupakan tindak pidana pemilu,” terang Dayat.
Dia menambahkan, ASN memang memiliki hak pilih untuk dirinya sendiri dan bisa mencari tahu info visi, misi dan program para peserta Pemilu, tetapi bukan untuk ikut melibatkan diri berkampanye, dan bersama-sama dengan peserta pemilu untuk bersosialisasi dalam kampanye.
Penegasan sanksinya dalam undang-undang nomor 7 Tahun 2017 pasal 493 dan pasal 280 ayat (2) berbunyi, para pelanggar dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta. Jadi, kata Dayat, ASN dan pelaksana kampanye agar hati-hati dan jangan coba-coba melanggar ketentuan pasal tersebut.
“Jadi hindari potensi pelanggaran berupa keterlibatan ataupun dilibatkannya ASN dalam upaya pemenangan peserta pemilu serta penggunaan sumber daya milik negara agar untuk dihindari. Pejabat negara struktural dan fungsional dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu,” tandasnya.
JaDI Sultra juga mengingatkan kepada para camat, lurah, kepala desa dan perangkatnya untuk menolak permintaan pimpinan diatasnya siapapun dia, baik gubernur, wali kota maupun untuk tidak dimanfaatkan membantu kampanye baik capres maupun caleg.
“Karena apabila terlibat maka sanksi pidana dan pemecatan tidak hormat dari ASN bisa dijerat,” pungkas Hidayatullah. (b)