ZONASULTRA.ID, KENDARI – Anggrek serat (Dendrobium utile) merupakan flora penanda identitas Sulawesi Tenggara (Sultra). Demi menjaga kelestariannya, pengembangan budi daya mulai dilakukan meskipun menuai jalan panjang.
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1989 tentang Pedoman Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah, anggrek serat menjadi penanda identitas Sultra. Masyarakat suku Tolaki menyebutnya sorume. Penghormatan pada anggrek serat membawanya tersemat sebagai gambar perangko pada 1997. Tertulis dalam perangko bernilai Rp300 itu, “Anggrek Serat, Sulawesi Tenggara”.
Meskipun memiliki ikatan kuat dalam kultur masyarakat dan diyakini sebagai tanaman dewa, anggrek serat kini terancam punah. Sebab, perambahan hutan terus berjalan. Di tengah menyusutnya habitat anggrek, masyarakat juga terus memburunya di alam. Turun temurun anggrek serat telah digunakan sebagai bahan baku anyaman pengisi ritual adat.
Penelitian awal Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Halu Oleo (UHO) dengan dukungan Pemerintah Kolaka Timur (Koltim), 2021, mendapatkan data-data berguna untuk pengembangan budi daya anggrek serat. Hasil penelitian itu berjudul “Pengembangan Budi Daya Tanaman Sorume di Kabupaten Kolaka Timur”.
Berita Terkait :
Perburuan Sorume dan Ritual Adat Tolaki
Hasil penelitian menyebut kondisi lingkungan tempat pertumbuhan anggrek serat adalah di Pegunungan Hopulo. Secara rata-rata, kisaran ketinggian tempat ditemukannya sorume 1.300-1.520 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan suhu 20,8°C dan kelembapan udara 56,2 persen, serta intensitas cahaya dalam kondisi terbuka sampai setengah ternaung.
Dari penelitian dengan metode eksploratif itu juga ditemukan bahwa ternyata sorume dapat tumbuh di luar habitat aslinya yakni di lingkungan Kelurahan Woitombo, Kolaka Timur; di Kota Kendari; di Kecamatan Landono, Kabupaten Konawe selatan; dan di Unaaha, Kabupaten Konawe.
Ketua Tim Peneliti Dr. Sitti Aida Adha Taridala mengatakan fakta bahwa sorume dapat tumbuh di luar habitatnya memberikan peluang besar bagi pengembangannya di luar habitat asli. Metodenya adalah budi daya dengan menanam sorume dalam pot dengan media sabut kelapa dan arang, atau dilekatkan pada pohon yang masih hidup. Lewat metode ini, pertumbuhan anggrek memang lebih lambat dibanding pada habitat aslinya. Namun, inilah satu-satunya upaya yang bisa dilakukan demi menyelamatkan anggrek serat dari kepunahan.
“Ini tidak akan berkembang kalau masyarakat kita Sulawesi Tenggara tidak menanam. Kalau hanya diambil terus dari hutan itu bisa habis, dan juga kalau pencari anggrek sudah tidak mampu naik ambil, siapa yang akan pergi mengambil jauh begitu di gunung, kan tidak ada. Di atas juga kalau hutan dirambah terus itu bisa habis,” ujar Sitti di kediamannya, Kendari, 17 April 2022.
Oleh karena itu, dalam hasil penelitiannya Sitti bersama tim merekomendasikan perlunya penerapan strategi konservasi oleh Pemda Kolaka Timur. Hal ini bertujuan, di samping untuk menjaga kelestarian sorume di habitat aslinya, juga dapat dikembangkan menjadi alternatif tujuan wisata edukasi, dengan memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian alam yang ketat.
Sementara metode budi daya secara generatif (dari biji), belum dilakukan karena belum adanya buah dari sorume yang siap panen. Metode budi daya dengan memanfaatkan bioteknologi terkini dengan kultur jaringan telah mereka lakukan tapi perlu diulang lagi karena diduga terjadi kontaminasi.
Dalam melakukan kultur jaringan ini, Tim Peneliti melakukannya di Laboratorium Agroteknologi Unit In-Vitro UHO. Bagian tanaman yang diambil untuk percobaan adalah bagian daunnya yang muda, sedangkan batangnya tidak bisa karena keras dan tidak berbuku-buku.
Percobaan kultur jaringan itu sudah dua kali dilakukan tapi belum berhasil. Menurut Sitti kegagalan ini adalah hal yang wajar karena butuh beberapa kali lagi percobaan. Oleh karena itu meski penelitiannya sudah berakhir, ia masih akan melakukan percobaan.
Selain kultur jaringan lewat daun, cara lain yang juga bisa dilakukan adalah kultur biji in-vitro. Namun hal ini belum bisa dilakukan karena dari sampel anggrek yang dibudidayakan belum ada yang menghasilkan biji. Sitti sudah mendapatkan biji anggrek serat dari hutan lokasi penelitian tapi karena lamanya di perjalanan maka tidak memenuhi syarat lagi untuk dilakukan kultur biji in-vitro.
Budi Daya Anggrek yang Efektif
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Destario Metusala menjelaskan untuk kultur jaringan (tissue culture) dengan daun tampaknya kurang efisien untuk tujuan perbanyakan anggrek serat mengingat prosesnya yang lebih rumit dibandingkan kultur biji secara in-vitro. Kultur jaringan dengan daun juga membutuhkan waktu yang lebih lama daripada kultur biji.
Menurut dia, teknologi kultur jaringan daun sebaiknya digunakan untuk memperbanyak individu dengan karakter genetik unggul hasil dari tahapan seleksi populasi yang ketat. Hal tersebut dikarenakan kultur jaringan daun memiliki kelebihan untuk menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dengan karakter genetik yang identik seperti individu sumber sampel/eksplan daun (induk).
“Apabila belum pernah dilakukan studi terkait seleksi individu anggrek serat dengan genetik unggul, maka mungkin lebih efisien dengan kultur biji secara in-vitro supaya dapat diperoleh variasi genetik yang lebih beragam. Kultur biji juga lebih sederhana dan laju pertumbuhannya di lab cenderung lebih cepat,” ujar Destario.
Lebih lanjut kata dia, untuk perbanyakan anggrek dengan pecah rumpun seperti yang dilakukan warga Ameroro juga bisa saja. Namun cara ini relatif lebih lama dan hanya bisa dipecah jadi beberapa rumpun baru saja.
Destario mengaku tertarik bisa mendapatkan rumpun anggrek serat untuk dibungakan lalu diserbuki agar jadi buah. Kemudian, buah akan mereka tabur di media kultur in-vitro di Laboratorium. Dengan cara ini sudah banyak yang berhasil pada anggrek jenis lain.
Hal lain yang juga penting dalam budi daya anggrek adalah lingkungan di mana anggrek bertumbuh. Apalagi bila habitat anggrek serat pada ketinggian 1.300-1.520 mdpl maka ketika berada di dataran rendah akan mempengaruhi pertumbuhannya.
“Perbedaan ketinggian lokasi itu bisa berpengaruh sekali ke pertumbuhan anggrek. Anggrek dari dataran tinggi cenderung akan stres saat ditanam di dataran rendah sehingga pertumbuhan juga tidak secepat/sebagus kalau ditanam di dataran tinggi. Mungkin tetap bisa hidup dan tumbuh, hanya saja tidak seoptimal kalau di dataran tinggi,” jelasnya.
Solusinya agar bisa optimal di dataran rendah maka harus dibuat rumah kaca dengan humidifier (alat pelembab udara) dan pengatur suhu. Hal ini supaya suhu dan kelembapan bisa persis sama dengan dataran tinggi sehingga anggrek seolah berada di habitat aslinya.
Target Pengembangan Sorume
Pemerintah Daerah (Pemda) Kolaka Timur (Koltim) memasang target untuk mengembangkan sorume sebagai ikon daerah. Hal ini dalam rangka implementasi visi misi Pemda Koltim 2021-2026 yakni pada poin misi pertama adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia berbasis ajaran agama, ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya lokal.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Koltim Mustakim Darwis menjelaskan budaya lokal yang dimaksud dalam misi tersebut salah satunya adalah tentang sorume. Sehingga, pengembangan sorume sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sesuai dengan visi misi kabupaten.
Pemda Koltim menganggap sorume sangat penting karena tanaman ini endemik dan hanya tumbuh di Koltim serta menjadi kebanggaan daerah. Apalagi, Koltim memiliki julukan “Wonua Sorume” yang artinya negeri anggrek serat dan dalam lambang Pemda Koltim terdapat kembang anggrek serat. Selain itu, sorume juga menjadi bahan baku pembuatan kerajinan tradisional.
Berita Terkait :
Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”
Oleh karena itu, dalam penyusunan RPJMD 2021-2026, pasangan bupati Samsul Bahri Madjid dan Andi Merya Nur ingin menonjolkan sorume sebagai ciri khas Koltim. Dalam perjalanan pemerintahan, Koltim kini dipimpin Penjabat Bupati Sulwan Aboenawas sepakat bahwa sorume adalah tanaman khas Koltim yang harus dilestarikan.
Sebagai tindak lanjut implementasi visi misi pemda, Bappeda bekerja sama dengan LPPM UHO pada 2021 lalu mengadakan penelitian, yang telah dicetak dalam bentuk buku. “Buku itu kita bagikan ke kecamatan-kecamatan. Harapan kita melalui ketua tim penggerak PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga) dan ibu-ibu camat mengembangkan itu di setiap kecamatan,” ujar Mustakim.
Saat ini, pengembangan sorume itu masih tahap awal berupa pengenalan ke pemangku kepentingan terkait dan masyarakat. Ke depan, yang diharapkan adalah dapat dilakukan budi daya secara luas sehingga siapa saja yang datang ke Kolaka Timur bisa melihat langsung. Sebab aneh bila sorume pupuler tapi hanya tinggal kenangan. Jangan sampai itu terjadi. (*)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma
“Liputan ini merupakan karya dari Fellowship Biodiversitas SISJ-EJN 2022”