Jamaah Tiktokiyah

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Diam-diam putriku ternyata suka ikut kajian. Saya tahu karena dalam beberapa waktu terakhir ini, dia “banyak” bicara tentang ajaran agama. Tepatnya perihal fiqih. Larangan dan anjuran. Hal yang lumrah untuk anak usia sepuluh tahun. Usia yang perlahan mulai mengenali istilah baik dan buruk. Bagus dan jelek.

Darimana dia mulai ngeh perihal syariat? Dari Tiktok ayah, katanya ringan. Sembari cekikikan. Saya menahan napas. Antara senang dan khawatir. Senang karena dia punya perhatian tentang agama. Khawatir karena dia menimbanya sendiri. Di samudera luas bernama dunia maya. Berselancar sendiri pada platform digital yang disenanginya. Aplikasi Tiktok.

Sebenarnya, bersama ibunya, saya sudah melakukan pengetatan jadwal bermain gadget. Hanya di jam-jam tertentu. Tapi justru di jam-jam tertentu itulah, dia berpetualang sendiri di belantara virtual. Menemukan hal-hal yang disenanginya. Game free fire. Hadoh…dan Tiktok.

Semalam, saya memutuskan melakukan evaluasi. Mengajaknya bertukar pikiran dengannya. Mendengarkan apa yang telah ditontonnya dan dipelajarinya. Yang menarik perhatiannya. Yang nyantol di pikiran dan perasaannya.
“Ayah, saya mau hapal itu doa bercermin supaya saya glow up,” katanya. Saya tidak bisa menahan tawa, kendatipun jauh di dalam hati diliputi kecemasan. Doa macam apa yang ditemukannya di Tiktok.

“Jadi, Ilong berdoa supaya glowing?”
“Iya, ayah. Saya mau glow up.”

Saya makin terkaget-kaget karena kepalanya sudah mulai terisi tentang bagaimana terlihat cantik –sebagaimana naluri kaum perempuan umumnya. Sungguh, waktu berlari begitu cepat. Selama ini, saya belum mau membicarakan hal-hal kualitatif seperti itu padanya karena berpikir dia masih anak kecil.

Saya masih senang menggendongnya seperti ketika bayi, kendatipun kakinya sudah menjuntai-juntai panjang karena tingginya sudah hampir sebahu ibunya. Saya masih menganggapnya putri kecilku yang masih belum tahu apa-apa. Saya telah dilampaui waktu.

Saya mencoba meramu kalimat –mencoba meluruskan persepsinya–tentang berdoa di depan cermin agar terlihat glow up (aduh…kosakata ini). Bahwa berdoa di depan cermin –jika ulama Tiktoknya merujuk pada sebuah hadits popular mengenai berdoa di depan cermin– sesungguhnya banyak dikiritisi ulama besar sebagai dalil yang lemah.

Dan di luar dari itu, saya berusaha menyusun kata-kata untuknya tentang bagaimana peran doa dan usaha. Bahwa untuk mencapai sesuatu tidak hanya dengan doa. Tapi juga dengan usaha. Bahwa doa bukanlah mantra sim salabim atau seumpama mengusap lampu ajaib milik Aladin. Doa tidak dimaksudkan sebagai jalan pintas nan praktis mencapai keinginan.

Dua hari yang lalu, putriku itu sebelumnya melontarkan pernyataan bahwa mentraktir teman dapat menghapus dosa. Ibunya yang kala itu menanggapinya. Dari mana dapat fatwanya? Dari Tiktok Dakwah, ujarnya.

Dua hari dari hari itu, dia berkomentar bahwa tidak boleh menguap kalau sholat. Lagi-lagi sumbernya dari Tiktok. Bergantian saya dan ibunya menanggapinya.

Dari sini saya belajar bahwa sudah waktunya mengubah pola pendampingan terhadap anak-anak. Gempuran aneka konten ternyata tidak mampu ditahan hanya dengan sekadar mensetting aplikasi gadget dengan batasan usia.

Konten-konten agama yang terlihat sebagai sesuatu yang baik dan mulia, perlu mendapat penjelasan tambahan. Klarifikasi ulang. Agar tidak ditelan mentah-mentah oleh anak-anak ini. Jamaah Tiktokiyah.

Satu milestone lagi dimasuki. Dimulai dengan berselancar di belantara Tiktok. Mengawalinya dengan hareudang…hareudang…hareudang…panas…panas…panas… Ehh, matimija.***

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UNHAS – UHO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini