Jangan Lagi Menyebutnya “Bantuan Pemerintah”

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Sudah menjadi kelaziman di negeri ini, pelayanan pemerintah yang berbentuk fisik-material bernilai ekonomi diistilahkan dengan bantuan pemerintah.

Alat dan mesin pertanian, peralatan penangkapan ikan (jaring, perahu, kapal), sembako, uang tunai, dan sebagainya disebut dengan bantuan. Bahkan ada nama program yang benar-benar menggunakan nama “bantuan” secara telanjang, misalnya Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Tepatkah istilah ini? Kita tidak akan menjawabnya langsung. Tapi kita balik bertanya, pemerintah itu apa sih? Atau tepatnya siapa sih? Dan apa pengertian bantuan itu?

Kira tunjuk hidung saja. Pemerintah itu presiden, gubernur, bupati/walikota, kepala desa, RT/RW, serta seluruh perkakas birokrasi yang membantu dan melengkapinya.

Mereka yang ditunjuk dan atau dipilih untuk mengelola pemerintahan adalah petugas kita. Rakyat juga. Bukan malaikat. Bukan dewa. Bukan jin yang keluar dari lampu ajaib untuk mengabulkan apa saja yang kita minta.

Mereka semua hadir untuk melayani rakyat. Pemerintah lahir dari rakyat, pengelolanya rakyat, diperuntukkan bagi rakyat. Dari, oleh, dan untuk rakyat. Demikian semboyan kita, bukan?

Adapun bantuan itu berkaitan dengan kedermawanan. Sikap moral. Hal yang seperti ini opsional. Orang boleh dermawan. Tidak juga tak ada masalah. Orang tidak lantas dihukum karena tidak membantu. Dengan demikian, bantuan bukan sesuatu yang wajib. Bukan keharusan.

Mari kita tautkan dua hal ini. Pemerintah ada bukan untuk memberi bantuan. Pemerintah hadir untuk melayani. Pelayanan ini tidak opsional. Ini sebuah kewajiban.

Pemerintah tidak superior atas rakyatnya. Meminjam istilah “petugas partai”, sejatinya pemerintah adalah petugas rakyat. Pemerintah adalah sekumpulan elemen dari rakyat yang ditugaskan untuk melayani rakyat.

Sehingga istilah bantuan adalah sesuatu yang sangat keliru jika kita gunakan dalam kegiatan-kegiatan pelayanan pemerintah.

Istilah “bantuan pemerintah” berarti pemberian pemerintah kepada rakyat. Pemberian itu boleh ada, boleh tidak. Pihak pemberi tentu lebih superior dari yang menerima pemberian. Kalau orang bilang celaka duabelas, maka perspektif ini keliru duabelas.

Jadi, berhentilah mengatakan “bantuan pemerintah”. Tidak ada yang dibantu di sini. Tidak ada yang memiliki kekayaan negara. Pemerintah hanya ditugaskan mengelolanya dengan berbagai rambu yang mengaturnya.

Kalau tetap bersikeras menggunakan istilah ini, maka ketika “bantuan pemerintah” itu tidak diberikan atau bahkan dinikmati oleh pemerintah sendiri, kita tidak dapat menyebutnya sebagai korupsi. Namanya bantuan, suka-suka gue dong.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini