ZONASULTRA.COM, RUMBIA – Tidaklah lengkap rasanya bercerita sejarah Kabaena tanpa melibatkan kampong Tirongkotu’a. Sebuah desa yang berjarak tujuh kilometer dari ibukota Kecamatan Kabaena, atau sekitar 13 kilometer dari Pelabuhan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana.
Desa dengan tagline “Kampung Berirama” itu menyimpan ratusan bukti dan jejak sejarah peradaban Kerajaan Kotu’a di masa lampau yang tidak pernah diungkap. Padahal, bukti-bukti tersebut masih berdiri kokoh seolah ingin berkata ‘masih ada aku disini untuk dipahami’.
Menyingkap dan memahami itu, dimulailah tulisan ini tentang sebuah desa yang jumlah penduduknya berkisar 591 jiwa atau sebanyak 180 kepala keluarga. Desa itu diberi tagline ‘Kampung Berirama” sebab letaknya yang berada di lembah Gunung Batu Sangia dan di bawah kaki gunung Gunung Sangiwa Wita (Sampampolulu).
Meskipun letaknya di lembah, tetapi penduduknya sangat ramah dan berjiwa seni dan masih menjunjung tinggi budaya warisan leluhur yang tercermin dalam perilaku dan pergaulan sosialnya.
Menurut Kepala Desa Tirongkotu’a, Abdul Majid, jiwa seni yang terpatri kepada warganya telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. “Karena jiwa seni warga itulah, sehingga tata krama, budi pekerti dan sifat kegotong-royongan sebagai warisan budaya leluhur masih dapat dipertahankan dan dilestarikan,” urainya.
Kreatifitas seni yang lahir dari kampung tersebut lanjut Abdul Majid, diantaranya adalah tarian lulo alu, seni musik tradisional ore-ore, musik bambu yang kini telah menjadi aset budaya masyarakat Kabaena.
“Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bila Desa Tirongkotu’a itu kami tetapkan sebagai sebuah tempat pemukiman yang disebut ‘Kampung Berirama”, kata mantan Kepala Tata Usaha Kantor Departemen Agama Kabupaten Bombana ini.
Selain menghasilkan seni musik dan tari-tarian tradisional lanjut Abdul Majid, Tirongkotua juga merupakan desa potensial di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan.
“Kampung ini di masa lampau memiliki sejumlah hewan ternak seperi kuda, kerbau, dan kambing yang jumlahnya tidak terbilang,” ungkapnya.
Kotu’a atau Kabaena atau disebut juga Wita Nkarambau, karena pada masa lampau hingga tahun 1980-an lanjut Majid, penduduknya masih beternak kerbau. “Makanya, dalam sistem adat perkawinan, disebutkan bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi keluarga laki-laki untuk mempersunting istri minimal harus mengadakan sebanyak 8 ekor kerbau,” sambungnya.
Begitu pula pada sektor pertanian, karena mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani ladang sehingga saat ini warga Tirongkotu’a telah menikmati produksi cengkeh, jambu mete, merica, vanili, dan beberapa jenis tanaman produktif lainnya.
Karena kesibukan sebagai petani itulah sehingga sejumlah cagar budaya di wilayah Desa Tirongkotua yang membentang dari selatan berbatasan Desa Pongkalaero pada bagian barat berbatasan dengan Desa Rahadopi, di utara berbatasan dengan Desa E’emokolo dan Timur berbatasan dengan Desa Tangkeno, terabaikan.
Lurah Teomokole Kecamatan Kabaena, Ilfan Nurdin menyayangkan atas terabaikannya sejumlah situs sejarah dan budaya yang terdapat wilayah Tirongkotu’a itu. “Padahal pengungkapan sejarah kerajaan Kabaena tidak lepas dari sejumlah situs yang ada,” kata dia.
Mengungkap sejarah Kerajaan Kabaena lanjut Ilfan, tentu harus dimulai dari sejumlah harta peninggalan leluhur seperti benda pusaka, namun yang jauh lebih penting adalah adanya bukti-bukti sejarah lain seperti benteng dan kuburan.
Di Desa Tirongkotu’a lanjut Ilfan, beberapa bukti sejarah itu ada yang nampak mulai dari Benteng Mata Ewolangka, Benteng Lomiu Ano E’e, Benteng Olo Nkontara, Benteng Matarapa dan Benteng Olo E’e serta sejumlah nama kawasan pemukiman di masa lampau. (A) (Bersambung)
Penulis : Jumrad Raunde
Editor : Jumriati