ZONASULTRA.COM,TIRAWUTA– Sikap kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi diperlihatkan oleh Jumail, yang sehari-harinya adalah kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara (Sultra). Ia dengan rela mengantar jemput siswanya yang menderita tuna daksa (cacat tubuh).
yang menampung sejumlah anak kurang normal (cacat), seharusnya diperhatikan oleh pemerintah, ini malah justru terkesan lepas tangan. Betapa tidak, sekolah ini tadinya masih tanggung jawab pemerintah daerah Koltim, setelah peralihan wewenang ke Provinsi, sekolah ini tidak lagi diperhatikan pemerintah daerah.
Layaknya tukang ojek, Jumail dengan ikhlas melakukan antar jemput salah seorang siswanya bernama Aldi (24) dari rumah orang tuanya hingga ke sekolah. Meski harus mengendong Aldi menaiki motornya, ia tetap bersmangat melakukan pekerjaan itu.
Aldi (24) adalah salah satu siswa SLB Koltim, yang mengalami tuna daksa atau cacat tubuh. Murid tersebut tinggal di desa Simbalai, kecamatan Loea. Setiap kali Aldi pulang selalu diantar Kepala sekolahnya hingga tiba di rumah. Bahkan bukan hanya Aldi saja, tapi semua siswa yang bersekolah di SLB itu seringkali diantar pulang.
Jumail yang kini berusia 40 tahun mengatakan, dirinya adalah kepala sekolah pertama sejak sekolah tersebut didirikan di Desa Woiha, Kecamatan Tirawuta, pada tahun 2013 lalu. Dirinya mengakui jika dia sering mengantar pulang siswanya memakai kendaraan pribadinya hingga saat ini.
“Apa boleh buat kita harus antar pulang, karena siswa SLB itu tidak sama dengan siswa pada umumnya di sekolah lain. Kalau di SLB kapan pun siswanya minta pulang kita harus antar,” ujar Jumail saat ditemui oleh awak media zonasultra.id, Rabu (1/6/2016) lalu.
Kata dia, setiap guru yang mengabdikan dirinya di sekolah tersebut harus memiliki jiwa sabar. Sebab, setiap anak yang diajar berbeda-beda karakternya. Ada murid yang tidak mau dikerasi, ada pula murid nanti dikerasi baru mau mendengar.
“Di sekolah ini banyak karakter anak-anak yang berbeda. Dan banyak juga penderita yang juga berbeda-beda seperti tuna runggu, tuna wicara, tuna daksa dan tuna grahita,” katanya.
Setiap siswa lanjutnya, dibimbing dengan cara tersendiri. Sehingga semua harus sabar menghadapi siswa yang tidak normal, karena sangat jauh berbeda dengan siswa seperti sekolah yang lainya.
“Saya sudah tiga tahun di sekolah ini. Berbicara mengenai bosan atau tidak, semua orang pasti bosan, apalagi menghadapi siswa seperti ini, tetapi saya justru berbangga bisa mendidik anak menjadi lebih baik, dan itu adalah pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya,” ucapnya.
Menyebut nama Aldi, Kepsek yang satu ini hanya bisa senyum. Menurutnya Aldi adalah salah satu siswa yang terampil melukis dan juga membaca. Namun, Aldi menderita tuna daksa. Jika setiap proses belajar mengajar Aldi meminta buang air kecil (pipis), ia terpaksa harus menggendongnya ke kamar kecil.
“Banyak pengalaman yang saya dapatkan di sekolah ini, berbagai bentuk karakter siswa yang dibentuk di sekolah ini, mereka yang tadianya tidak bisa membaca jadi bisa. Mereka yang tadinya tidak bisa terampil jadi bisa,” katanya.
Dirinya sangat berharap pihak pemerintah daerah bisa memperhatikan sekolah tersebut, meskipun saat ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
Asni (26), guru bahasa Indonesia di SLB tersebut menceritakan acap kali mendapatkan semburan kata-kata tidak menyenangkan dari siswanya. Namun hal itu tak dihiraukannya.
“Ibu guru kecil matanya, itu yang mereka juluki pada saya. Kalau lagi mengajar, tiba-tiba salah satu dari mereka ada yang ingin ngompol tidak cepat ditangani, biasanya teriak-teriak marah,” ujar Asni.
Parahnya lagi, siswa tuna wicara harus dibimbing dengan gerakan mulut dan tangan. (B)
Penulis : Jaspin
Editor : Jumriati