Ilustrasi
ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tahun 2017 menjadi begitu riuh dengan cerita persaingan para tokoh yang hendak berkompetisi dalam ajang paling akbar lima tahunan, Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara (Sultra) 2018.
Semisal pelayaran, sejumlah tokoh putra-putri dari Bumi Anoa itu adalah nahkoda yang menahkodai kapalnya masing-masing. Diantara mereka,
ada yang akhirnya tenggelam dihempas ombak dan ada pula yang tetap mengapung di permukaan, tegak dengan panji-panji partai pengusung.
Sejak awal Januari 2017, belasan figur yang mendeklarasikan diri maju baik hanya lewat baliho, pernyataan di media massa, sampai ada yang sudah membetuk sampul-sampul pemenangan akar rumput. Pada perjalananannya pun ada yang hanya sekedar wacana dan adapula yang sampai getol mendaftar ke partai-partai, sebagai bukti keseriusan.
Sederet nama yang pernah mendaftar di sejumlah partai sebagai calon gubernur adalah Rusda Mahmud, La Ode Ida, Lukman Abunawas, Ali Mazi, Hugua, Asrun, Ridwan Bae, Tina Nur Alam, Supomo, Abdul Rahman Farisi, La Ode Masihu Kamaluddin, dan LM. Rusman Emba.
Dari nama-nama itu, ada yang sudah lebih dulu membuat janji maju berpasangan, ialah Rusda Mahmud dan LM. Sjafei Kahar sejak tahun 2016 lalu. Selain itu, Ali Mazi dan Lukman Abunawas juga menyatakan diri bersatu pada pertengahan tahun ini, disusul bersandingnya Asrun dan Hugua.
Partai-partai yang dipersaingkan adalah yang memiliki kursi di DPRD Sultra. Dari total 45 kursi, pasangan kandidat harus mengumpulkan 9 kursi koalisi. Pembagiannya, PAN 9 kursi, Golkar 7, Demokrat 6, PDIP 5, PKS 5, Gerindra 4, Hanura 3, Nasdem 3, PPP 2, dan PKB 1 kursi.
Dari sekian partai itu, yang tidak membuka penjaringan pendaftaran hanya PAN, Golkar, dan PKB. Partai lainnya sampai membentuk panitia penjaringan dan menggelar pendaftaran di sekretariat masing-masing. Bahkan partai Demokrat sampai mengadakan pemaparan visi-misi di Baubau dan Kendari.
Maju, Bertahan, Mundur
Rentang waktu Agustus-Desember 2017, partai-partai mulai membuka arah dukungannya dengan mengeluarkan surat tugas lalu disusul tiket berupa SK rekomendasi. Nahkoda yang mendapatkan tiket tentulah tetap maju. Sementara calon tanpa tiket, ada yang tetap bertahan merawat harapan dan ada pula yang secara jantan menyatakan mundur.
Di rentang waktu itu pula, muncul Wa Ode Nurhayati (WON) yang menggandeng Andre Darmawan. Keduanya hendak maju lewat jalur perseorangan, bukan partai politik. Namun ketatnya persyaratan, pada tahap pengumpulan KTP dukungan tak mampu diatasi. Hingga akhirnya pada 28 November 2017 Won-Andre dinyatakan tak memenuhi syarat dukungan oleh KPU.
Figur yang pertama secara terang mundur adalah Ridwan Bae pada 23 September 2017 lalu. Meski sebetulnya dalam posisinya sebagai Ketua Golkar Sultra, ia bisa saja dimudahkan. Dengan koleksi 7 kursi Mantan Bupati Muna tak lagi tertarik bertarung setelah sebelumnya pernah merasakan kerasnya ombak Pilgub 2012.
Langkah yang diambil La Ode Ida, Tina Nur Alam, La Ode Masihu Kamaluddin, Abdul Rahman Farisi, dan LM. Rusman Emba. Figur-figur ini memasang mode bertahan di permukaan (meski sebenarnya mulai tenggelam), tak mau mundur meski jalan kian sempit. SK rekomendasi pun tak kunjung digenggam.
Satu alasan yang selalu digaungkan para pemain bertahan itu adalah “pantang mundur sebelum bertarung, belum ada penetapan calon dari KPU sehingga peluang masih tetap ada,”.
Prinsipnya seperti seorang pemuda yang mempertahankan cintanya “sebelum janur kuning melengkung, semua masih milik bersama”.
Alasan-alasan demikian retoris itu tak hanya menjaga harapan simpatisan, tapi juga jalan untuk memotivasi diri sendiri. Juga, jalan “stand by” bila terjadi sesuatu pada poros-poros yang sudah tegak di permukaan. Sebab, jalan pedang petarung sejatinya adalah ketidakmungkinan yang selalu dimugkinkan.
Satu langkah di depan pemain bertahan adalah pasangan Rusda Mahmud-Sjafei Kahar. Mantan Bupati Kolaka Utara dan Mantan Bupati Buton ini sempat mengantongi surat tugas dari parta Demokrat untuk mencari koalisi. Namun hingga surat tugas kadaluwarsa pada 30 November 2017, keduanya tak sanggup menggapai daratan.
Gerakan cukup aman namun rentan ditunjukkan oleh pasangan Ali Mazi-Lukman Abunawas. Usai mendapatkan SK rekomendasi Nasdem, Mantan Gubernur dan mantan Bupati Konawe itu berhasil mendapatkan dukungan Golkar.
Titik rentan Ali Mazi-Lukman ada pada dukungan Golkar yang mendapat penolakan dari para ketuanya di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, terjadi juga gejolak tingkat pusat yang mengakibatkan lengsernya Ketua Umum Setya Novanto (karena jadi tersangka KPK) dan digantikan Airlangga Hartarto.
Belum lagi soal adanya usulan 17 DPD Golkar kabupaten/kota untuk menyandingkan Ali Mazi dengan salah satu dari tiga kader Golkar (Muhammad Basri, Dewiyanti Tamburaka, Imam Alghozaly). Bukan tak mungkin paket ini “dipaksa kawin”, mengingat Nasdem sangat tergantung dengan koalisi Golkar.
Opsi lainnya, pencabutan dukungan Golkar bisa saja terjadi mengingat Ali Mazi dan Lukman, bahwa mereka bukan lagi kader Golkar. Namun hingga pencabutan dukungan partai berlambang pohon beringin ini di Pilgub Jawa Barat dari Ridwan Kamil (non kader) ke Dedi Mulyadi, dukungan Golkar untuk Ali Mazi di Sultra masih aman-aman saja.
Satu-satunya pasangan nahkoda yang tampak kokoh di permukaan adalah Asrun-Hugua. Dengan dukungan PAN, PDIP, PKS, PPP, dan Hanura, mantan Walikota Kendari dan Mantan Bupati Wakatobi bukan hanya sekedar berada di permukaan, tapi sudah di atas angin.
Dua partai yang turut diklaim Asrun-Hugua adalah, PKB dan Gerindra. Meskipun mereka belum menerima SK. Saking yakinnya mendapatkan dua partai ini, logo PKB dan Gerindra pun sudah dimasukan dalam alat peraga sosialisasi. Bahkan di tingkat provinsi, pemimpin tujuh pimpinan partai itu sudah menandatangani pakta integritas dukungan penuh dengan embel-embel sanksi pemecatan bagi kader yang mbalelo.
Kunci Pertarungan
Bila Golkar mencabut dukungan dari Ali Mazi dan Lukman Abunawas, maka salah satu kemungkinannya, Asrun-Hugua hanya melawan kotak kosong. Namun, hal itu masih membutuhkan dukungan Golkar dan Demokrat, kekuatan yang dapat menegakkan poros baru.
Demokrat yang memilki 6 kursi masih bimbang menentukan dukungan usai kadaluwarsanya surat tugas di tangan Rusda Mahmud-Sjafei Kahar. Keputusan akhir partai berlambang bintang mercy itu kini di tangan ketua umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pilihan bagi SBY ada dua, menguatkan pasangan Ali Mazi-Lukman atau bisa saja menggunakan metode bongkar pasang dengan menyandingkan Ali Mazi dengan kader Demokrat Rusda Mahmud atau Ketua Demokrat Sultra Muhammad Endang.
Posisi demoktra di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra juga sangat perhitungkan, karena memiliki 6 kursi. Sementara jika berhasil disandngkan Nasdem yang memiliki 3 kursi, maka kedua partai ini sudah bisa berdiri untuk mengusung salah satu bakal calon. Atau bisa juga, Demokrat membentuk satu poros baru dengan Gerindra yang memiliki 4 kursi.
Hingga akhir Desember 2017 ini, belum ada tanda-tanda kontraksi politik dari Golkar, Demokrat, dan Gerindra. Arah tiga partai besar tanah air itu akan benar-benar terang awal tahun 2018 tanggal 8-10 Januari, yang mana kandidat akan mendaftar di KPU dengan bermodal tiket dukungan masing-masing partai.
Pilgub Tiga Babak
Pertarungan di gelanggang Pilgub pasca kepemimpinan Nur Alam-Saleh Lasata ini sesungguhnya ada tiga babak. Babak pertama adalah perebutan dukungan partai untuk mendapatkan tingkat pencalonan. Babak yang terjadi sepanjang tahun 2017 ini sangat krusial karena bila tak lolos, diartikan gugur sebelum bertarung.
Babak kedua adalah perebutan hati rakyat, saat KPU telah menetapkan pasangan calon gubernur. Seperti cerita dalam novel-novel, klimaks dari sebuah pertarungan terjadi di babak ini. Semua kepentingan dan elit politik bermain habis-habisan dan memuncak pada 27 Juni 2018, hari pemungutan suara.
Babak akhir adalah gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Agar tak terlalu direpotkan dengan gugatan di MK, maka kandidat harus berusaha menang besar dengan selisih keunggulan 2 persen lebih. Sebab, bila gugatan MK dikabulkan, maka pertarungan bisa berlangsing sampai ke babak empat, pemungutan suara ulang.
Sebagaimana rangkaian kata yang selalu digaungkan para pelayar ulung, “Pelaut tangguh tidak terbentuk dari ombak laut yang tenang”. Begitu pula perjalanan untuk menjadi orang nomor satu dari sekitar 2,8 juta orang di Sulawesi Tenggara, tak semudah berlayar di Teluk Kendari. (A)
Penulis : Muhamad Taslim Dalma
Editor : Abdul Saban