Ilustrasi
ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin gencar melancarkan aksi memberantas kasus-kasus korupsi di Tanah Air. Bahkan wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) yang kaya akan tambang pun tak luput dari perhatian KPK.
Beberapa orang hebat di Sultra satu per satu menjadi pasien KPK dan kini tengah menghadapi proses hukumnya. Gubernur Sultra Nur Alam menjadi pasien KPK pada Agustus 2016, dengan dijadikan tersangka penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SK Persetujuan Percadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) tahun 2008-2014.
Nur Alam sempat melakukan perlawanan untuk lepas dari jeratan KPK dengan mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Ia bahkan menggandeng pengacara kondang Maqdir Ismail untuk menangani kasusnya. Namun majelis hakim menolak gugatan praperadilan Gubernur Sultra dua periode ini dan mempersilakan KPK melanjutkan penyidikan perkara korupsi tambang tersebut.
Pada Oktober 2016, Nur Alam memenuhi panggilan KPK untuk melakukan pemeriksaan sebagai tersangka di Jakarta. Pemeriksaan yang berlangsung sekitar 8 jam dihadiri sejumlah loyalis yang terdiri dari keluarga dan beberapa pejabat daerah, khususnya dari fraksi PAN. Mereka bernapas lega ketika Nur Alam keluar gedung KPK tanpa menggunakan rompi orange.
Bulan yang sama, masyarakat Sultra, khususnya masyarakat Buton digemparkan dengan berita penetapan tersangka Samsu Umar Abdul Samiun. Umar yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Buton menjadi tersangka dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Buton tahun 2011 di Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus ini merupakan sisa-sisa dari Akil Mochtar. Akil terbukti menerima uang sebesar Rp1 miliar dari Umar Samiun yang diduga untuk pengurusan sengketa di MK.
Sama dengan Nur Alam, Umar Samiun juga mengajukan praperadilan di PN Jaksel dengan menggandeng pengacara Yusril Ihza Mahendra. Hasilnya, hakim PN Jaksel pun menolak gugatan tersebut. Selanjutnya, KPK intens melakukan pemeriksaan kasus pengurusan Pilkada Buton itu seiring dengan tahapan Pilkada Buton 2017.
Beberapa kali KPK memanggil Umar Samiun untuk diperiksa, namun dia tidak memenuhi panggilan lembaga anti rasuah itu. Hingga pada Rabu malam, 25 Januari 2017 Umar Samiun diciduk di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) Cengkareng usai turun dari pesawat dan langsung dibawa menuju gedung KPK.
Politisi PAN ini lantas ditahan di Rutan KPK Cabang Pomda Jaya Guntur usai diperiksa secara intensif keesokan harinya. Pilkada Kabupaten Buton pun menjadi kehilangan gairah, namun pasangan Umar Samiun – La Bakry ini tetap menang melawan kotak kosong dan terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Buton periode 2017-2022.
Sementara KPK masih terus melakukan pemeriksaan saksi-saksi kasus Nur Alam, perkara Umar Samiun telah rampung dan siap disidangkan di Pengadilan Tipikor. Di tengah-tengah persidangan, Umar Samiun diberi sedikit kebahagian dengan diizinkan melaksanakan pelantikan Bupati Buton terpilih oleh Plt Gubernur Saleh Lasata dengan difasilitasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Pelantikan Umar-Bakry di Gedung Sasana Bakti Praja Kemendagri berlangsung khidmat dan mengharukan. Sejumlah pejabat seperti Amirul Tamim, Waode Hamsinah Bolu, Kery Syaiful Konggoasa dan para pejabat lainnya turut menghadiri pelantikan tersebut.
Kebahagiaan tak berlangsung lama, Umar Samiun kembali dijemput KPK untuk menjalani proses hukumnya hingga hakim pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis pidana penjara selama 3 tahun 9 bulan dan pidana denda sebesar Rp150 juta rupiah subsider kurungan 3 bulan.
Sebelum jatuh vonis Umar Samiun, ia bertemu Nur Alam di dalam Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur. Ya, Nur Alam resmi ditahan usai menjalani pemeriksaan kedua kalinya di Gedung KPK pada Rabu malam, 5 Juli 2017.
Tentu saja penahanan orang nomor 1 di Sultra itu menjadi luka tersendiri bagi masyarakat Sultra, atau kebahagian bagi sebagian lainnya. Proses hukum berlanjut, kasus Nur Alam telah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung Nur Alam memakai 24 pengacara dari empat kantor kuasa hukum ternama di Jakarta.
Belum selesai perkara Nur Alam, KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara (Konut), Sultra, Aswad Sulaiman sebagai tersangka korupsi dalam izin pertambangan. Azwad diduga menyalahgunakan wewenang selama dia menjabat sebagai Bupati Konut periode 2007-2009 dan 2011-2016.
“Menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka korupsi dalam pemberian ijin pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin pertambangan operasi produksi di kabupaten Konut pada 2007-2014,” kata komisioner KPK, Saut Situmorang di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa sore (3/10/2017).
Dugaan korupsi yang dilakukan Aswad terbilang cukup besar dan sebanding dengan kasus lain yang ditangani oleh KPK. “Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,7 triliun,” tambah Saut pada waktu ini.
Sampai detik ini KPK masih melakukan penyidikan terhadap kasus tambang ini. Aswad sendiri telah diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK, Selasa, 17 October 2017 menyusul dengan penggeledahan KPK di rumah pribadi beserta kantornya. Pemeriksaan tersebut guna mendalami informasi awal terkait dengan jabatan dan kewenangannya saat menjabat sebagai Bupati Konut.
Tidak ada yang tahu apakah Sultra sudah bebas dari koruptor atau masih ada pasien yang akan masuk ke KPK. Pasalnya beberapa tim KPK sempat turun langsung ke Kota Kendari untuk melakukan penyelidikan.
KPK mendatangi sejumlah instansi pemerintahan di Kota Kendari antara lain Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Kendari, dan Perusahaan Daerah air Minum (PDAM) beberapa waktu yang lalu. Kedatangan lembaga anti rasuah itu disinyalir untuk mengetahui informasi beberapa proyek di ibu kota Provinsi Sultra.
Masyarakat tinggal menanti dan melihat siapa yang benar-benar bersih dan siapa penjahat berdasi yang biasa disebut koruptor itu. (A*)
Penulis: Rizki Arifiani
Editor: Jumriati