ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tahun 2018 merupakan tahun kelam bagi para elit pemangku kekuasaan di Sulawesi Tenggara (Sultra). Operasi Tangkap Tangan (OTT) begitu ramai menjerat elit kakap sekelas wali kota/bupati maupun elit teri sekelas sekretaris dinas, kepala lurah, dan kepala desa.
Penangkapan 2018 dimulai dari aksi Tim Sapu Bersih Pemberantasan Pungutan Liar (Saber Pungli) Polda Sultra kepada Lurah Anduonohu inisial RU. Penangkapan dilakukan di ruang kerja lurah, pada 8 Februari 2018.
Barang bukti yang diamankan ketika itu adalah uang tunai sejumlah Rp2.850.000. Pungli itu diduga dilakukan dari biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Satu hari setelah OTT, sang lurah pun langsung ditahan di Rutan Polda Sultra.
Belum beralih bulan, rupanya atasan sang lurah, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra (ADP) menjadi incaran Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). ADP ditangkap bersama ayahnya, Asrun yang merupakan mantan Wali Kota Kendari dan sedang maju sebagai calon gubernur.
(Baca Juga : Pungli Pengurusan Sertifikat Tanah, Lurah Anduonohu Kena OTT)
Rangkaian OTT dilakukan 27-28 Februari di beberapa lokasi di Kendari. Selain ADP dan Asrun, KPK juga mengamankan mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD) Kota Kendari Fatmawati Faqih dan Direktur PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah.
PT SBN sering mendapat proyek dari Pemkot Kendari, bahkan sejak Asrun menjabat sebagai Wali Kota Kendari. Pada Januari 2018 PT SBN memenangkan lelang proyek jalan Bungkutoko – Kendari New Port dengan nilai proyek sebesar Rp60 miliar.
Sementara, Fatmawati meskipun sudah pensiun masih tetap menjadi orang kepercayaan di keluarga Asrun. Ia menjadi penghubung suap, sebab terindikasi sering merekomendasikan PT SBN mendapatkan hampir semua proyek dari Pemerintah Kota Kendari.
(Baca Juga : Dugaan Suap, KPK OTT Wali Kota Kendari dan Calon Gubernur Sultra)
Total uang yang disita KPK senilai Rp2,8 miliar yang disembunyikan di rumah teman dekat ADP. Uang tersebut diketahui untuk membiayai politik sang ayah. Pecahan uang Rp50 ribu rencananya akan dibagi-bagikan ke masyarakat.
Beberapa bulan kemudian, Tim Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra melakukan OTT dugaan suap terhadap Kepala Desa (Kades) Morikana, Kabupaten Buton Tengah (Buteng) bernama Latif Abadi.
OTT itu terjadi pada 3 Mei 2018 pukul 17.00 Wita di Kecamatan Mawasangka, Buteng. Polisi juga mengamankan seorang terduga pelaku suap atas nama Sarmin. Dari Sarmin ini polisi mengamankan barang bukti senilai Rp50 juta.
Dalam melakukan OTT, polisi mengandalkan informasi dari masyarakat bahwa Sarmin akan menyerahkan uang untuk mendapatkan proyek yang dijanjikan oleh kades. Saat penyerahan uang itulah dilakukan OTT.
Masih di bulan yang sama, KPK kembali unjuk gigi di Sultra dengan melakukan OTT terhadap Bupati Buton Selatan (Busel) Agus Feisal Hidayat pada 23 Mei 2018. KPK mengamankan uang Rp409 juta, meskipun bukan dari tangan Agus secara langsung.
(Baca Juga : OTT Bupati Busel, KPK Amankan Rp 400 Juta)
Dari Rp409 juta yang disita KPK, Rp200 juta berasal dari pengusaha Tony Kongres yang memberikan kepada Agus melalui perantara La Ode Yusrin, ajudan Agus. Uang itu untuk biaya konsultan politik yang menangani pemenangan ayah Agus, Sjafei Kahar yang maju sebagai calon wakil gubernur.
Seolah tak mau kalah dengan aksi KPK dan polisi, pada akhir 2018 ini kejaksaan juga melakukan OTT kepada Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Sultra Lasidalle pada 28 November 2018. Lasidalle ditangkap oleh Satuan Khusus Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Negeri (Kejari) Kendari sekitar Pukul 17.00 Wita di Hotel Kubra Kendari.
(Baca Juga : Kejati Sultra OTT Sekretaris Dikbud Sultra)
Dalam OTT itu, Kejari yang dibantu Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra mengamankan uang tunai senilai Rp425 juta. Jumlah itu, hanya 3 persen (Rp425 juta) dari dana alokasi khusus (DAK) SMK. Sebelumnya, Lasidalle diduga sudah menerima setoran sebesar 7 persen.
Total DAK untuk 47 SMK itu adalah Rp80 miliar. Jumlah masing-masing SMK bervariasi diangka puluhan juta. Meski sekolah-sekolah itu menyetor, namun yang jadi tersangka dan ditahan hanya Lasidalle karena kategorinya tindak pidana korupsi pemerasan atas jabatannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DAK SMK.
Dari lima kasus tersebut terlihat perbedaan yang paling jauh antara lembaga penegak hukum KPK dibanding tangkapan yang dilakukan oleh polisi dan jaksa. KPK cenderung menyasar menu kelas kakap (dua kepala daerah).
Pasang Kuda-Kuda
Dari sekian OTT itu, satu-satunya yang benar-benar memasang kuda-kuda agar tak terkena OTT adalah Adriatma Dwi Putra, yang lebih terkenal dengan sebutan ADP. Langkah antisipasi sederhana telah disiapkannya usai pelantikan dengan membuat aturan penggunaan loker untuk penyimpanan barang bagi tamu yang akan bertemu di ruang kerjanya.
Aturan itu diterapkan sejak akhir Oktober 2018. Ada dua loker penyimpanan barang yang ditempatkan di depan ruang kerjanya. Ini dilakukan untuk menghindari adanya musibah di kemudian hari.
Kebijakan melarang semua tamu membawa tas ke ruang kerjanya, adalah upaya untuk mencegah penyuapan yang berujung OTT oleh KPK. Menurut ADP, peristiwa OTT terhadap beberapa pejabat yang terjadi beberapa waktu terakhir karena orang yang menyuap membawa uang dalam tas ke ruang kerja pejabat tersebut.
“Yang ingin bertamu mohon jangan tersinggung. Titip tasnya, simpan dompetnya, kalau perlu simpan dengan handphonenya juga di loker itu, dan silakan ambil kuncinya baru masuk ke ruangan saya. Saya tidak ingin diantara kita tergoda ataupun ada yang melakukan pungutan liar kemudian duitnya dibawa ke saya. Saya tidak ingin hal itu terjadi di lingkup Pemerintah Kota Kendari,” kata ADP saat ditemui usai memimpin apel kesadaran nasional di halaman Kantor Wali Kota Kendari, Selasa (17/10/2017).
Ketika itu, ADP menyatakan adanya kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang diungkap oleh KPK menjadi perhatian serius bagi pegawai lingkup Pemkot Kendari agar semua saling menjaga. Kekhawatiran ADP itu terbukti, tepat 140 hari usai dilantik KPK melakukan OTT.
Melawan Sangkaan
Bila ADP dan ayahnya telah divonis dan menjalani hukuman di Lapas Kelas II A Kendari, maka yang lainnya sedang melakukan perlawanan dari sangkaan penegak hukum. Agus Feisal Hidayat sedang menjalani persidangan sedangkan Kepala Desa Morikana mendapat vonis bebas.
Dalam persidangan Agus, dari uang Rp409 juta yang diamankan KPK ternyata hanya Rp200 juta (dari pengusaha Tony Kongres) yang jadi pertentangan antara uang suap atau bukan. Sisanya yang Rp200 juta lebih merupakan gaji dan uang perjalanan Agus sebagai kepala daerah yang selama berbulan-bulan tidak diambil ke bendahara daerah, lalu diambil sekaligus.
Dari sangkaan jaksa KPK, uang Rp200 juta dari Tony itu merupakan uang suap. Begitu pula Tony sendiri dalam persidangan mengakui bahwa uang itu merupakan fee proyek pembangunan di Buton Selatan untuk diserahkan ke Agus.
Di lain pihak, Agus membantah adanya fee proyek. Ia mengaku menelpon Tony dalam rangka meminjam uang untuk kebutuhan lembaga survei karena ayah Agus yakni Sjafei Kahar maju sebagai calon wakil gubernur pada 2018 ini. Begitu uang sudah siap, Agus lalu menyuruh ajudannya La Ode Yusrin mengambil uang pinjaman senilai Rp200 juta kepada Tony.
Sementara, Kepala Desa Morikana divonis bebas dalam perkara dugaan suap proyek irigasi persawahan senilai Rp50 juta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kendari, pada 29 November 2018 lalu.
Dalam kasus itu, jaksa tidak mampu membuktikan dakwaannya, sebab uang sebesar Rp50 juta dari Sarmin yang diamankan dalam OTT Polda Sultra pada 3 Mei 2018 lalu bukanlah untuk suap tapi untuk kepentingan usaha Latif Abadi yaitu cetak batako, paving block, dan ternak sapi.
Namun sang kepala desa belumlah sepenuhnya dapat bernapas lega sebab jaksa sedang proses melakukan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Masih terbuka peluang untuk keputusan hukum selanjutnya.
Berbagai kasus OTT yang telah terjadi selama 2018 itu mengajarkan bahwa betapa penting menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, asas di mana seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Jadi mereka yang di-OTT tidak serta merta salah, masih ada kemungkinan tak bersalah seperti yang terjadi pada Kepala Desa Morikana, mungkin juga pada Agus Feisal nantinya.
Begitu pula, tangkap tangan, maknanya tidak lagi sebatas tangkap disaat uang lagi di tangan, namun di kejauhan sekalipun apabila uang suap itu masih dalam penguasaan penerima suap tetap dapat dikatakan “tertangkap tangan”. Sebab uang saat ini banyak jalannya, bisa lewat rekening, bisa lewat teman, bisa lewat anak buah. (a)