Kartini dan Emansipasi

Hasni Tagili, M. Pd. Praktisi Pendidikan Konawe - Opini
Hasni Tagili

Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.Nama Kartini sendiri, oleh kaum feminis, sering dicatut sebagai pejuang emansipasi perempuan.Namun, benarkah demikian?

Kegelisahan hati R.A Kartini tertuangdalam buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Armijn Pane menerjemahkannya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’). Ia prihatin menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung kebebasannya untuk menuntut ilmu. Kartini menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki. Tidak lebih.

 

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (surat Kartini kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 oktober 1902).

Menurut Kartini, ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas. Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.

Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa.Namun, setelah sedikit mengenal Islam.Pemikiran Kartini pun berubah, yakni ingin menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya.

Di tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya.Ia mencoba mendalami ajaran Islam. Pada saat Kartini mengkaji isi Al Quran melalui terjemahan Bahasa Jawa, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah: 257, “Allah Pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.Dan orang-orang kafir pemimpin-pemimpin mereka ialah Thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.  Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”.

Makna ayat tersebut adalah Allah lah yang telah membimbing orang-orang yang beriman dari kegelapan kepada cahaya (Min adz-Dzulumati ila an-Nur). Kartini sangat terkesan dengan ayat ini. Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini mengulang kata-kata “Dari Gelap Kepada Cahaya”, yang olehnya ditulis dalam Bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht. Makna ini kemudian bergeser tatkala diterjemahkan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Sayangnya, refleksi perjuangan Kartini saat ini banyak disalahartikan oleh wanita Indonesia.Mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, bahkan sampai di luar batas kodratnya sebagai perempuan.Padahal, dalam beberapa suratnya, Kartini menunjukkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dalam pendidikan dan pengajaran.Bukan berjuang menuntut kesetaraan kedudukan secara keseluruhan (emansipasi) antara perempuan dan laki-laki, seperti yang didengung-dengungkan oleh kaum feminis.

Juliet Mitcher, dalam bukunya Women’s Estate (1971), mengatakan bahwa menjadi Ibu Rumah Tangga itu sama dengan menjadi budak.Tampak gerakan feminis kala itu berkembang menjadi wadah perjuangan untuk membebaskan wanita dari rumah tangga dan membenci laki-laki.Laki-laki dipandang sebagai figur penindas dan takut disaingi wanita.Gerakan kaum feminis yang mengecilkan arti keluarga relatif berhasil mengubah persepsi terhadap keluarga konvensional pada sebagian besar masyarakat AS.

Perjuangan kaum feminis inilah yang kemudian berusaha ‘disamakan’ dengan perjuangan Kartini.Sejarah perjuangan Kartini telah didistorsi sesuai dengan kepentingan kaum feminis.Mereka mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya.Jelas, Muslimah telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan, dan kesetaraan gender.

Terjadinya distorsi ini disebabkan tiga hal.Pertama, kuatnya pengaruh budaya materialisme yang mengukur segala keberhasilan dalam bentuk materi.Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga, jika tidak menghasilkan materi (uang).Kedua, individualisme yang tumbuh subur di masyarakat. Ketiga, teori neoclassical economics yang tidak memasukkan pekerjaan domestik wanita (Ibu Rumah Tangga) dalam perhitungan GNP (Gross National Product).Dengan demikian wanita dengan tugas reproduktif dan domestiknya seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-apa dalam pembangunan. Miris!

Sementara, dalam pandangan Islam, kedudukan pria dan wanita sesungguhnya tidak ada perbedaan secara subtansial.Perbedaan di antara keduanya hanya seputar aspek lahiriah, peran serta fungsinya saja. Karena pada hakikatnya, makna kata ‘manusia’ dalam Alquran tidak terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu, namun ia mencakup seluruh jenis manusia, baik pria maupun wanita, semuanya sama. Sehingga, kekhawatiran Kartini terkait hak pendidikan perempuan tidak perlu terjadi ketika syariat diterapkan.Sebab, dalam Islam tidak ada emansipasi.Kedudukan perempuan dan lelaki sudah setara.Yang membedakan di antara keduanya hanyalah ketakwaannya saja.

 

Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
Penulis Merupakan Dosen dan Penulis Buku

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini