Kartini – Kini

Toto Heryanto
Toto Heryanto

Peran wanita dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan bukanlah hal sepele. Wanita Indonesia, sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan bahwa mereka tidak diam, tidak berpangku tangan sambil menunggu buah kemerdekaan itu, maka disanjunglah mereka dengan nama “Kartini” sebagai bukti bahwa mereka ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Nama ‘Kartini’ bukanlah hanya sekedar nama per-seorang-an saja, bukan sekedar nama pahlawan yang telah gugur saja. Tetapi melainkan sebuah nama yang menjadi simbolik, sebuah nama yang tercatat dalam sejarah untuk menyampaikan kepada dunia, kepada seluruh generasi bahwa kaum Wanita Indonesia ikut merasakan perihnya perjuangan untuk merebut kemerdekaan.

Toto Heryanto
Toto Heryanto

Tahun 1915 – 1928 Merupakan puncak perjuangan ‘kartini-kartini’ bangsa ini. Kelaparan, luka, duka, dan panasnya api peperangan juga ikut mereka rasakan sebagai bentuk penolakan atas kekejaman rezim imperialis. Kesewenang-wenangan rezim yang dicatat dalam sejarah telah menjajah bangsa ini selama 3 setengah abad lamanya, akhirnya jatuh melalui perjuangan yang tak kenal kata lelah apalagi menyerah.

71 tahun sudah kita merasakan manisnya buah kemerdekaan itu, 71 tahun sudah kita di-nina-bobo-kan oleh indahnya ‘cerita’ perjuangan para pahlawan (termasuk para kartini) yang dicatat dalam sejarah bangsa ini laksana sebuah ‘novel’ karangan yang ‘happy ending’. Kita tanpa menyerapi betul-betul apa yang harus kita ambil, apa yang bisa kita jadikan konklusi dalam kehidupan sekarang ini dari proses perjuangan itu.

Entah anugerah yang kita rasakan ini, ataukah sebuah ‘dosa’ lantaran sikap kita yang laksana hanya
sebagai penikmat saja. Menjadi penikmat dari pahitnya proses perjuangan itu. Disemarang ada ‘TuguMuda’ yang merupakan monument untuk memperingati pertempuran 5hari disemarang (15 – 19 Oktober 1945). Kini, kaum muda entah siapa-pun itu termasuk para ‘Kartini’ kita yang suci, hanya menjadikan monument itu sebagai background dari foto selfie yang diunggah diberbagai sosial media.
Entah mungkin mereka acuh-tak acuh, pura-pura tak tau, atau bahkan sama sekali tidak tau arti dari monument itu, mungkin mereka lupa makna sejarah yang terkubur dibalik monument itu. Atau mungkin mereka tau, tapi tak perduli sama sekali dengan banyaknya darah yang tertumpah sebelum monument itu dibangun. Dan saya yakin bukan hanya Semarang, masih banyak monument lainnya diIndonesia yang merasakan perihnya perilaku kaum-muda ini.

Oohh kartini, kini kau sudah kehilangan jiwa membaramu. Sejarah yang menceritakan jiwa pemberanimu kini seperti hanyalah sebuah karangan belaka. Kau sudah di-buta-kan oleh teknologi yang tak kenal kompromi, teknologi yang tak kenal si Kaya ataupun si Miskin apabila dia hadir semua akan ditariknya. Dan apa yang kau lakukan kartini? Kau yang seharusnya memperingatkan untuk tetap teguh didalam jiwa yang terbakar oleh persatuan itu, malah kau lah kartini yang menjadi paling tergila-gila oleh kecanggihannya teknologi itu.

Ilustrasi kartini dulu dan sekarang
Ilustrasi

 

Oohh kartini, kini kau sudah tersesat didalam gelapnya dunia ‘modernisme’ yang taka da ujungnya.
Dimanakah jiwa pembangkangmu dulu? Dimanakah jiwa yang mati-matian menolak penjajahan itu?
Bukankan bila kita telah dibutakan oleh zaman, merupakan suatu bentuk penjajahan jua? Bukankah bila kita selalu mengikuti kemauannya Korea sebagai produsen Samsung merupakan sebuah penjajahan jua? Tak hanya itu, kelakuanmu tak berhenti disitu. Wahai ‘modernisme’ jangan kau butakan para ‘kartini’ kami. Kau sajikan ‘dunia malam’ untuk kami dengan dalih-dalih sebagai pelepas penat, sebagai penghibur lara. Lambat laun kau berubah menjadi se-ekor serigala yang akan melahap habis semua ‘kartini’ kami. Kau hadir menjadikan semakin buta-nya ‘Kartini – Kini’. Kau hancurkan ideologi, kukuhnya tembok nasionalisme hancur lebur dihadapanmu. Tak hanya itu saja, moral yang menjadi satusatunya senjata yang dimiliki oleh kartini kami kau sikat juga, kau lahap juga sampai tak adalagi yang tersisa.

Kiniku mengutukmu wahai ‘modernisme’, kiniku ingin melindasmu wahai perputaran zaman. Tapi aku
mulai berpikir, pantaskah aku menjadi lawanmu? pantaskah aku melindasmu? Atau lebih tepatnya, sudah benarkah aku menyalahkanmu? Malam yang panjang menghantarkan lamunanku. Kini jawabannya sudah terang, jawabannya sudah nampak dipermukaan, tapi jawaban itu malah membuatku semakin sedih tak terkira.

Ya… kau tak salah wahai zaman, kau tak pantas dimaki wahai zaman. Bukan kaulah yang salah, tetapi
memang sejak awal ‘Kartini’ kami telah buta, kartini kami sudah berubah. ‘Kartini – Kini’ sudah tak
seperti ‘Kartini – Dulu’.

Wahai kartini, insyaf-lah jangan kau termakan oleh hasratmu sendiri. Jangan kau menjadi buta sambil
berjalan diatas roda kehidupan ini. Kembalilah menjadi seorang yang tak mau berpangku tangan.
Kembalilah menjadi seorang pejuang intelegtuil. Disitulah harkatmu terangkat, diatas sebuah buku dan pena-lah martabatmu dipuja. Bukan diatas sebuah panggung diskotik yang hanya akan menjadikanmu santapan dari para serigala lapar, bukan pula diatas kecanggihan teknologi yang menjadikan diri-mu bernilai.

Insyaf-lah wahai Kartini Bangsa-ku

 

Oleh: Toto Heryanto
Mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Ketua Umum Lembaga “Ipma Sultra-Semarang”
Kabid Ptkp Di “Hmi Kom.Teknologi Industri” Unissula
Pengurus “Forum Perantara – Jawa Tengah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini