Kasus Korupsi di Sulawesi Tenggara: Fenomena Vonis Bebas

1110
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Kolase Foto: Usman Rianse, Hado Hasina, Yusmin

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Perkara korupsi sudah masuk sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Namun dalam penangananya terkesan biasa saja karena para terdakwa korupsi justru tak dapat dibuktikan bersalah, terlihat dari rentetan vonis bebas yang terjadi.

Di Sulawesi Tenggara (Sultra), fenomena vonis bebas ini terjadi dalam kurun waktu 2021-2022 pada tiga kasus korupsi yang sebagian terdakwanya lolos dari jeratan hukum. Berikut ini, mereka yang divonis bebas setelah didakwa melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan data di Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Kasus Rumah Sakit Pendidikan UHO

Dalam kasus rumah sakit pendidikan Universitas Halu Oleo (UHO) terdapat tiga orang yang menjadi terdakwa yakni Edy Rachmad Widianto, Sawaluddin, dan Usman Rianse. Dari tiga orang ini hanya Usman Rianse yang mendapat vonis bebas.

Usman Rianse mendapat vonis bebas pada 4 Oktober 2021 di Pengadilan Negeri (PN) Kendari. Usman sebelumnya didakwa melakukan “tindak pidana korupsi secara bersama-sama” dalam proyek Pekerjaan Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan (Tahap I) UHO saat dirinya menjabat Rektor.

Dalam kasus itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arifin Diko mengajukan dakwaan bahwa Usman selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melakukan korupsi bersama-sama dengan Sawaluddin selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Belanja Modal/Belanja Sosial UHO Tahun Anggaran 2014 dan Edy Rachmad Widianto selaku Direktur Utama PT Jasa Bhakti Nusantara terkait proses pembayaran pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan nilai pekerjaan yang sebenarnya.

Usman didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yaitu Edy Rachmad Widianto yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebesar Rp14,7 miliar. Perhitungan kerugian ini berdasarkan laporan hasil audit dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sultra.

Meskipun bobot kemajuan pekerjaan proyek sampai dengan 31 Desember 2014 hanya mencapai 33,730 %, namun kenyataannya terhadap PT Jasa Bhakti Nusantara tidak dilakukan pemutusan kontrak, dan pembayaran yang dilakukan terhadap perusahaan dimaksud untuk Pekerjaan Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan (Tahap I) UHO sudah sebesar 100 %.

Sampai dengan 19 Februari 2015 pekerjaan Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan (Tahap I) UHO tidak selesai 100 % karena berdasarkan Laporan Realisasi Hasil pekerjaan PT Jasa Bhakti Nusantara sampai dengan 19 Februari 2015 bobot yang dicapai hanya sebesar 68,563 %.

Dalam persidangan, Usman Rianse menyatakan bahwa dirinya tidak pernah bertandatangan pada dokumen Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) 100 %. Dia menjelaskan dokumen BAPP yang diperlihatkan tertanggal 31 Desember 2014, sementara saat itu dirinya tidak masuk kantor karena ada acara di gedung pasca sarjana (Kampus Lama UHO).

Keterangan Usman tersebut menjadi salah satu poin pertimbangan hakim. Akhirnya pada 4 Oktober 2021, sidang putusan yang dipimpin Hakim Ketua I Nyoman Wiguna bersama hakim anggota Darwin Panjaitan dan Ewirta Lista Pertaviana menjatuhkan vonis bebas terhadap Usman Rianse. Putusan vonis tersebut diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) pada 15 Juni 2022.

Sebelumnya, pada vonis 25 November 2019 Edy Rachmad Widianto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama. Dia divonis pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp500 Juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Dia juga harus membayar uang pengganti sejumlah Rp14,7 miliar dikurangi dengan penyetoran uang pengganti sesuai bukti setor tanggal 31 Desember 2016 sejumlah Rp200 juta sehingga total uang pengganti yang akan dibayarkan sejumlah Rp14,57 miliar.

Kemudian, dalam vonis yang dibacakan pada 21 Januari 2020 Syawaluddin juga terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama. Dia divonis pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.

Kasus Korupsi pada Dinas Perhubungan Provinsi Sultra

Dalam kasus korupsi anggaran Dinas Perhubungan Provinsi Sultra terdapat dua orang terdakwa yakni Hado Hasina dan Laode Muhammad Nurrakhmad Arsyad. Dari dua orang ini, hanya Hado Hasina yang mendapat vonis bebas.

Hado Hasina mendapat vonis bebas pada 20 Desember 2021 di PN Kendari. Hado sebelumnya didakwa melakukan “tindak pidana korupsi secara bersama-sama” pada proyek Studi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas di Kabupaten Wakatobi, Penelitian Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Terminal di Waremesiu Kota Bau-Bau, Penelitian DPLH Terminal di Kabupaten Buton, Penelitian DPLH Terminal di Kabupaten Konawe Selatan dan Penelitian DPLH Terminal Kabupaten Buton Tengah pada Dinas Perhubungan Provinsi Sultra Tahun Anggaran 2017.

BACA JUGA :  Polres Konut Amankan 10 Pelaku Peredaran Narkotika

Hasil proyek tersebut berupa laporan (pendahuluan, antara, akhir) merupakan pekerjaan dari La Ode Muhamad Nurrakhmad Arsyad sendiri dan bukan hasil kerja dari ketua tim dan anggota tim peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UHO sebagaimana tercantum dalam Surat Perjanjian Kerja Sama Swakelola.

Hado Hasina selaku Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Sultra/Pengguna Anggaran menyetujui pencairan tahap I dan tahap 2 proyek. Akibatnya Hado didakwa melakukan perbuatan memperkaya orang lain yaitu Laode Muhammad Nurrakhmad Arsyad. Kerugian  keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp1,2 miliar sebagaimana hasil audit perhitungan BPKP.

Hado Hasina selaku Pengguna Anggaran dianggap melakukan proses pencairan tersebut yang seolah-olah benar dan tidak melakukan pengujian atas tagihan, tidak menguji kebenaran materil surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih serta tidak meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa.

Dalam putusannya, hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa laporan yang dibuat oleh La Ode Muhammad Nurrakhmad adalah permasalahan yang menyangkut aspek kewenangan monitoring dan pengawasan yang bukan menjadi tanggung jawab Hado Hasina tetapi merupakan tanggung jawab penuh LPPM UHO sebagai pelaksana swakelola.

Hakim juga menimbang bahwa pengajuan pembayaran telah memenuhi semua syarat yang ditetapkan setelah terlebih dahulu dilakukan verifikasi teknis oleh pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan verifikasi keuangan oleh bendahara serta laporan akhir telah direview oleh Ketua LPPM UHO sehingga tidak ada alasan bagi terdakwa selaku Pengguna Anggaran (PA) untuk tidak melakukan pembayaran.

Pada 20 Desember 2021, sidang putusan yang dipimpin Andi Eddy Viyata, sebagai Hakim Ketua Majelis bersama Hakim Anggota Arya Putra Negara Kutawaringin dan Darwin Panjaitan memutuskan bahwa Hado Hasina tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan membebaskan dari seluruh dakwaan penuntut umum.

Sementara, pada hari yang sama (20 Desember 2021) Laode Muhammad Nurrakhmad Arsyad divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.  Dia divonis penjara 1 tahun 5 bulan, membayar denda Rp100 juta, serta membayar uang pengganti sebesar Rp113,5 juta.

Vonis Bebas dalam Kasus Korupsi Persetujuan RKAB PT Toshida Indonesia

Sejumlah nama yang terlibat dalam kasus persetuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Toshida Indonesia ini adalah Yusmin, Andi Aziz, Buhardiman, Umar, dan Laode Sinarwan Oda. Dari lima nama tersebut yang sudah keluar putusan peradilannya adalah Yusmin, Buhardiman, dan Umar. Ketiganya divonis bebas pada 11 Februari 2022.

Yusmin dan Buhardiman didakwa dalam berkas perkara terpisah melakukan perbuatan “turut serta melakukan perbarengan tindak pidana korupsi”. Dalam berkas terpisah lainnya, Umar didakwa korupsi “sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan, melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum”.

Pada kasus tersebut, posisi Yusmin dalam jabatannya sebagai Kepala Bidang Mineral dan Batubara pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, Buhardiman selaku Plt. Kepala Dinas ESDM (periode persetujuan RKAB tahun 2019), dan Umar selaku General Manager PT Toshida Indonesia.

Selain soal penyelahgunaan kewenangan dalam persetujuan RKAB PT Toshida Indonesia, dalam kasus ini diungkap bahwa dalam setiap pengajuan permohonan persetujuan RKAB ada kebiasaan penerimaan uang sebesar Rp10 juta sampai dengan Rp25 juta dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP).

Dalam kasus ini, salah satu penyerahan uang yang terungkap adalah ketika Umar atas sepengetahuan dan persetujuan Laode Sinarwan Oda menemui Nining Rahmatia  di ruangan kerjanya pada Kantor ESDM Sultra untuk menyerahkan uang sebesar Rp60 juta dengan maksud agar permohonan persetujuan RKAB Tahun 2020 PT Toshida Indonesia disetujui. Kemudian uang sebesar Rp60 juta tersebut dibagikan kepada Yusmin sebesar Rp15 juta dan Buhardiman sebesar Rp10 juta serta selebihnya dibagikan kepada beberapa pihak terkait evaluasi RKAB Tahun 2020.

Namun, terkait maksud penyerahan uang ini dibantah oleh Umar di persindangan bahwa tidak ada pemberian uang sebesar Rp60 juta untuk Rapat Persetujuan RKAB tahun 2020 PT Toshida Indonesia. Begitu pula Yusmin dan Buhardiman membantah dakwaan terkait uang dari persetujuan RKAB tersebut.

Hakim juga mempertimbangkan terkait pernyataan bahwa  soal PT Toshida Indonesia yang tidak ataupun belum membayar kewajiban utang Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH) tidak dapat dijadikan sebagai alasan Dinas ESDM Provinsi Sultra menolak Persetujuan RKAB tahun 2020.

BACA JUGA :  Ini Penjelasan Polda Sultra Terkait Insiden Salah Tembak di Kendari

Dalam pembacaan putusan pada 11 Februari 2022, ketiga terdakwa divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Kendari. Meski berkas perkaranya terpisah tapi susunan Majelis Hakim yang mengadili sama yakni I Nyoman Wiguna sebagai Hakim Ketua, sementara Arya Putra Negara Kutawaringin, Wahyu Bintoro,  dan Darwin Panjaitan serta Ewirta Lista Pertaviana masing-masing sebagai Hakim Anggota.

Tindak Lanjut Vonis Bebas

Ketiga kasus tersebut, dari awal penyelidikan ditangani oleh kejaksaan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Kejaksaan Negeri Kendari dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Sultra) membentuk tim jaksa dalam penanganannya. Terhadap vonis bebas yang diputuskan hakim, jaksa melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sultra, Dody menjelaskan kasasi dilakukan karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap berkeyakinan yang kuat terhadap dakwaan dan surat tuntutan yang telah dibacakan dalam sidang tingkat pertama.

“Pembuktian itu yang JPU ajukan sebagai bahan memori kasasi terhadap terdakwa yang dinyatakan bebas tersebut,” ujar Dody melalui pesan WhatsApp, 27 September 2022.

Sementara terhadap 2 berkas perkara pengembangan masing-masing Laode Sinarwan Oda (LSO) dan Andi Aziz (AA) telah P-21 (hasil penyidikan lengkap) dan kebijakan pelimpahan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunggu hasil putusan kasasi berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi.

Soal pembuktian dalam persidangan, menurut dia, itu murni kewenangan majelis hakim yang jelas JPU berkeyakinan Judex Facti (hakim yang memeriksa) telah keliru menerapkan pertimbangan hukum dalam putusannya. Dody memastikan JPU sangat paham dengan dakwaan apalagi terkait kewenangan Pihak ESDM Provinsi Sultra.

“Semua tergambar dalam berkas perkara,” ujar Dody.

Sementara Humas PN Kendari, Frans WS Pangemanan menjelaskan dengan adanya vonis bebas maka perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak terbukti. Dari putusan bebas itu maka upaya hukum lanjutannya adalah kasasi yang diajukan jaksa.

“Nah putusan kasasi Usman Rianse itu sudah turun, kasasi ditolak. Nah berarti dia (MA) menguatkan putusan PN, sependapat dengan putusan Majelis Hakim di tingkat pertama,” ujar Frans di PN Kendari, 27 September 2022 lalu.

Dalam proses kasasi itu yang diserahkan ke MA adalah berkas perkara tapi tidak ada penambahan alat bukti. MA hanya memeriksa terkait apakah pengadilan sudah memeriksa sesuai dengan hukum atau tidak. Frans menyebut kebanyakan vonis bebas yang dijatuhkan oleh PN Kendari selalu dikuatkan oleh MA.

Mengapa Vonis Bebas?

Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK), Dr. Rifai menjelaskan di dalam penyelesaian perkara pidana ada beberapa putusan dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari putusan bebas, lepas, dan pemidanaan.

Dengan banyaknya vonis bebas berarti tidak cukupnya alat bukti yang minimum. Berbeda dengan putusan lepas yakni terbukti tapi bukan perkara tindak pidana. Dasar adanya putusan bebas dan lepas ini berkiblat pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 191 ayat dan ayat 2.

KUHP Pasal 191 ayat 1 berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Sementara KUHP Pasal 191 ayat 2 berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

“Kalau orang mengatakan bahwa dialah sebagai pelaku maka tetap kita mengacu pada asas presumption of innocence (praduga tak bersalah). Nanti hakim yang membuktikan dia bersalah atau tidak sesuai dengan pembuktian yang ada di peradilan, faktanya seperti apa, alat buktinya seperti apa. Terus berdasarkan itu, ada keyakinan hakim, apakah yakin dengan perbuatannya ataukah tidak,” ujar Rifai di Fakultas Hukum UMK, 13 Oktober 2022.

Rifai  menjelaskan dalam penyusunan dakwaan selalu berdasarkan alat-alat bukti, kesaksian, lokus dan tempus kejadian sebuah perbuatan pidana. Kalaupun ada tambahan bisa dari kesaksian ahli, ataukah dari sisi yang lainnya.

Terkait sejumlah vonis bebas di Sultra, Rifai tak ingin menyimpulkan di mana letak kekurangan dalam peradilannya. Namun kata dia, ada kemungkinan besar ada yang belum terlalu lengkap dari sisi pembuktian, dari sisi kesaksian, ataukah dari sisi keterangan saksi ahli. (*)


Reporter : Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini