Ketika Pramoedya Ananta Toer dianugerahi Ramon Magsaysay Award tahun 1995, dunia sastra –sekaligus perpolitikan– gempar. Setidaknya terdapat 26 tokoh sastra Indonesia melayangkan petisi protes ke Yayasan Ramon Magsaysay.
Dia dicap sebagai tokoh Lekra (salah satu sayap organisasi PKI) yang paling getol mengganyang sastrawan yang tak sehaluan dengannya. Para penandatangan petisi merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965, dimana Pram menjalankan banyak peran “tidak terpuji” pada “masa paling gelap bagi kreatifitas” di zaman Demokrasi Terpimpin.
Polemik ini melebar kemana-mana, menyentuh relung-relung medan kekuasaan. Pram sendiri mengaku tidak bersalah. Yang bersalah, kata dia, adalah mereka yang menghinakannya dan membuangnya selama bertahun-tahun.
Statusnya sebagai tahanan politik yang berpindah-pindah selama 14 tahun (Oktober 1965-Desember 1979), lalu kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, adalah “bayaran” yang harus ditangguhnya. Bahkan hingga tahun 1999, Pram masih menjalani status dari tahahan rumah, kota, hingga negara, serta wajib lapor sekali seminggu ke markas tentara untuk dua tahun berikutnya.
Apa yang tampak jelas dari perdebatan ini, kata Mochtar Pabottingi dalam Daniel Dhakidae (2015) bahwa, baik yang memaafkan maupun yang menggugat Pram sama-sama mengklaim sedang menegakkan hak asasi.
Namun jejak sejarah menunjukkan, serangan-serangan Pram terhadap para seniman lain telah menyulitkan kehidupan mereka. Kemudian tatkala roda sejarah menggelinding, perlakuan rezim Orde Baru terhadap Pram juga adalah sebuah penindasan hak asasi.
Akan tetapi, seluruh karya Pram, yang menjadi dasar dari Yayasan Ramon Magsaysay untuk memberikan penghargaan, sama sekali “not political in any narrow sense”, bukanlah politik dalam arti sempit. Melainkan “it dwells on themes of humanity and social justice”, berdiam pada tema kemanusiaan dan keadilan sosial.
Dengan demikian, gugatan agar penghargaan Ramon Magsaysay untuk Pram dicabut dengan alasan peran “tidak terpuji”-nya di masa lalu merupakan hal yang tidak relevan. Penghargaan Ramon Magsaysay dapat ditafsir sebagai penghormatan atas karya-karya Pram –yang diterjemahkan pada lebih dari dua puluh bahasa– bukan pada sikap dan kehidupan pribadi Pram.
Tafsiran ini menganut pandangan bahwa karya-karya seseorang bukanlah pencerminan atau penjelmaan dari diri seorang penulis. Kata Daniel Dhakidae, seorang penulis dapat saja meletakkan persepsi dan cita-cita yang tercermin dalam tulisan-tulisannya di bawah telapak kakinya sendiri.
Meskipun tafsiran ini, tambah Dhakidae, juga punya perlawanan yang sama besarnya, bahwa tulisan-tulisan seseorang bisa jadi sebuah “conditio sine qua non” (setiap akibat dapat ditentukan sebab-sebabnya dan masing-masing sebab memiliki pengaruh terhadap terjadinya suatu akibat) dari lika-liku kehidupan pribadinya. Warna tulisan seseorang dipengaruhi oleh sebab-sebab yang melatarbelakanginya..
Apa yang bisa ditarik dari pergulatan pemikiran di atas? Kita perlu menyerap pesan moral yang disampaikan Arief Budiman, kakak kandung aktifis Soe Hok Gie, yang melibatkan diri dalam polemik itu, yang dalam satu kalimatnya menyatakan, “…kalau pada suatu kali saya berkuasa, saya tidak akan menindas kebebasan orang lain.” Kata orang Kendari: ingat itu!
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial