Berita mengenai kekerasan seksual seolah tiada pernah habis. Pelakunya pun tak sedikit berasal dari orang terdekat korban. Mulai dari paman, kakek, kakak bahkan bapak yang tega menggagahi putrinya sendiri.
Sebagaimana pihak kepolisian menangkap seorang pria, Enting (50), warga Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) karena mencabuli anak kandungnya, RH yang masih di bawah umur, Selasa (26/2/2019) (Kompas.com, 26/02/2019).
Selain itu, jajaran Polres Tenggamus meringkus tiga terduga pelaku incest atau hubungan sedarah di wilayah Pekon Pangungrejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Lampung. AKP Edi menjelaskan para terduga pelaku diringkus di kediaman mereka di Pekon Panggung Rejo. Mereka yang ditangkap adalah ayah kandung korban berinisial M (45) serta kakak berinisial SA (24) dan adik berinisial YF (15). Korban sendiri merupakan perempuan berinisial AG (18) (Detik.com, 23/02/2019).
Tak jauh berbeda, jaksa menuntut Yusuf (62) selama 20 tahun penjara karena melanggar UU Perlindungan Anak. Yusuf dinilai terbukti memperkosa cucu sendiri. Kakek bejat yang bekerja sebagai tukang ojek ini didakwa telah melakukan perbuatan pencabulan serta persetubuhan terhadap korban yang notabene adalah cucunya sendiri pada Oktober 2018 (Detik.com, 15/02/2019).
Hal serupa pun dilakukan oleh Suparman (48) yang sehari-harinya berprofesi sebagai sopir di salah satu perusahaan swasta mengakui telah mencabuli keponakannya sendiri. Tidak hanya sekali tapi sejak 2016 hingga 2019. Lebih miris lagi setelah diketahui ternyata sang keponakan masih di bawah umur (Detik.com, 27/02/2019).
Masih banyak kasus lain yang tak jauh berbeda dengan hal di atas. Belum lagi yang tak dilaporkan ke pihak kepolisian dengan berbagai alasan, diantaranya adanya ketakutan ketika hendak melaporkan, rasa malu karena merupakan aib dan masih banyak lagi tentunya. Hal itu, tentu sangat mengkhawatirkan bagi sebagian besar orang tua, terutama yang memiliki anak perempuan.
Karena menurut Direktur rehabilitasi Sosial Anak Kemeterian Sosial, Nahar, mengatakan bahwa kasus kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap anak sebanyak 1.956 kasus yang ditangani selama 2016 dan meningkat menjadi 2.117 kasus selama 2017 (Antaranews.com, 09/01/2018). Bisa terbayang sudah, apakah tahun 2018 dan 2019 kekerasan tersebut menurun?
Padahal, semestinya keluarga dapat menjadi pelindung, namun tak sedikit diantara mereka yang tega melakukan kekerasan. Lebih miris lagi kekerasan seksual yang makin brutal tak sedikit menelan korban jiwa. Jika sudah seperti itu, di manakah anak-anak perempuan mengharap perlindungan? Karena keluarga merupakan lingkungan terdekat di mana mereka saling berbagi suka dan duka.
Menilik Persoalan Kekerasan Seksual
Masalah kekerasan seksual di negeri ini semakin memprihatinkan. Bagaimana tidak semakin tahun jumahnya meningkat. Sebagaimana data Komnas Perempuan menyebut jumlah kekerasa seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah kekerasan naik dratis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus (Tempo.co, 06/12/2018).
Lebih menggenaskan lagi ternyata ranah pribadi paling banyak mengalami kekerasan seksual. Seperti diungkap oleh Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny mengatakan bahwa dari 31 persen itu, kasus paling tinggi adalah kasus perkosaan inses. Dari kekerasan seksual inses, paling banyak pelakunya adalah ayah kandung dan ayah tiri. Sementara, perkosaan yang dilakukan kakak kandung sebesar 58 kasus (Idntimes.com, 06/08/2018).
Disamping itu, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan bentuk kekerasan tertinggi dalam hubungan pacaran adalah kekerasan seksual. Pun menurut catatan Komnas Perempuan, dari 2.073 kasus kekerasan yang dilaporkan ke institusi pemerintah sepanjang tahun 2018, sebanyak 1.750 kasus adalah kekerasan dalam pacaran (Lampost.co, 07/03/2019).
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan seksual diantarnaya, pertama, media, baik online maupun offline yang tak sedikit menggumbar aurat bahkan mempertontonkan adegan-adegan yang sifatnya privat. Hal tersebut tentu saja sangat memiliki dampak negatif mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Karena tak sedikit mereka yang melakukan kekerasan seksual tidak jarang menyaksikan tayanagan-tayangan yang dapat membangkitkan birahi.
Kedua, sanksi. Minimnya sanksi yang memberikan efek jera sangat berpengaruh pula. Sebab, jika hukuman yang ringan membuat para pelaku dengan mudahnya akan melakukan kejahatan tersebut. karena melihat hal itu, maka para calon pelaku yang baru tidak segan bertindak hal yang serupa.
Ketiga, pakaian yang terbuka/tidak sopan. Tak bisa dipungkiri pula bahwasanya pakaian minim dapat memicu para pelaku melakukan kekerasan seksual. Karena hal itu dapat memberikan ruang dan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindak bejatnya. Apalagi sebelumnya pelaku tak jarang menyaksikan tayangan-tayangan porno ataupun meminum minuman keras.
Begitu pula, menurut penelitian ada beberapa yang dapat menjadi pemicu pelaku pelecehan seksual, yaitu: Pertama, faktor psikologis, seperti memiliki riwayat pelecehan seksual yang dialami sendiri atau pernah menyaksikan sebuah tindakan pelecehan seksual secara langsung. Kedua, faktor hubungan personal, misalnya kurangnya iman dan takwa yang mengakibatkan seseorang tidak takut dengan adanya dosa. Ketiga, faktor lingkungan dan sosial, seperti lingkungan dan pergaulan yang tidak baik dan menoleransi tindakan pelecehan (Cnnindonesia.com, 22/01/2018).
Problem solving
Dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual tentu sangat perlu melibatkan komponen-koponen terkait dengan tujuan dapat meminimalisir kejahatan tersebut, bahkan membabat habis hingga ke akarnya. Pertama, adanya ketakwaan individu yang mana hal itu bisa diperoleh melalui pendidkan yang didapat baik melalui lembaga formal seperti sekolah ataupun non formal seperti lingkungan keluarga.
Kedua, kontrol masyarakat, diantaranya adanya budaya amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Karena manusia memiliki potensi berbuat buruk, maka dari itu penting adanya kebiasaan saling menasehati dalam kebenaran dan mencegah dari perilaku yang menyimpang dari norma agama.
Ketiga, peran negara dalam hal ini seperti memblokir tayangan atau situs yang jauh dari nilai pendidikan ataupun yang dapat memicu rangsangan seksual. Ditambah pula adanya sanksi tegas yang dapat menimbulkan efek jera. Sehingga dapat meminimalisir ataupun memberangus calon pelaku kejahatan.
Dengan demikian, sulit memberantas kekerasan seksual, jika masih banyak celah yang mampu mengantarkan seseorang ke arah tersebut. Olehnya itu, perlu adanya sinergi antara individu, masyarakat dan negara untuk membabat tuntas kejahatan tersebut. Lebih dari itu, yakni dengan mencampakkan sistem sekuler yang telah mengakar di tengah masyarakat dan menggantikannya dengan aturan yang bersumber dari Allah swt. Semata. Wallahu ’alam bi ash-shawab.
Oleh : Fitri Suryani, S. Pd
Penulis adalah Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe