Kemana Perginya Beras Sultra?

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Petang tadi saya ke toko beras langgananku. Saya perlu sedikit mendeskripsikan sejauh mana hubungan emosional perlanggananku dengan pedagang beras itu.

Dia selalu merekomendasikan beras bermutu bagus dengan harga diskon. Senantiasa mendapatkan harga lebih murah antara 5 – 10 ribu dibanding pelanggannya yang lain. Saya membuktikan harga “miring” yang kuterima dengan membandingkannya pada toko lain.

Dia pedagang beras yang mengambil langsung berasnya dari penggilingan lokal yang ada di Sultra. Tokonya merupakan salah satu rantai toko beras terbesar di Kota Kendari. Sehingga, kendatipun toko ini “sampel” satu-satunya, tapi datanya cukup reliable untuk mewakili kondisi perdagangan beras di Kendari atau bahkan di Sultra (meskipun ini sedikit naif dari sudut pandang metode penelitian….hehehe)

Saya mempercayai pedagang ini. Dan saya adalah pelanggannya yang setia karena tidak pernah dikecewakan baik harga maupun mutu beras.

Bulan lalu, harga yang dikenakan untuk 50 kg adalah Rp 485 ribu. Di benakku –dengan sedikit mempertimbangkan isu kenaikan beras– paling banter bayarnya Rp 500 ribu per 50 kg (artinya, Rp 10 ribu per kg).

“Berapa lagi saya kasih kita bulan lalu, Pak?” tanyanya ketika saya mendekatinya.

“Kalau tidak salah Rp 485 ribu,” jawabku.

“Aduh, sekarang tidak bisaki saya kasih segitu, Pak. Naik sekali sekarang harga beras,” jawabnya.

“Jadi, berapa kita kasih saya?”

“Rp 520 ribu pi, Pak. Kalau saya kasihki harga segitu (harga bulan lalu) saya tidak dapatmi juga kasian.”

Saya menjawab, ya sudah kalau begitu. Mau diapa kalau memang sudah begitu harganya. Dia masih berusaha meyakinkan bahwa itu adalah harga terbaik yang diberikan padaku. Di toko lain, katanya, untuk kelas beras yang sama, pedagangnya membanderol harga Rp 540 ribu.

Dia bercerita bahwa kenaikan harga beras dipicu oleh masuknya pedagang asal Pulau Jawa menyerap beras Sultra.

“Mereka bawa kontainer langsung ke penggilingan, Pak. Mereka ambil dengan harga yang tinggi. Mau tak mau kita mengikut dengan mereka,” jelasnya.

Pihak penggilingan, katanya, senang sekali karena berasnya dijemput langsung ke penggilingan. Tidak perlu repot mengantar seperti pada pedagang lokal. Mereka juga sudah nyimpan uang duluan untuk “mengamankan” pesanannya.

Konon, menurut prediksinya bersama dengan para pelaku perdagangan beras lainnya, harga akan bisa tembus hingga Rp 600 ribu per 50 kg pada bulan Maret. Ini prediksi mereka yang sudah malang melintang di dunia perberasan.

Saya agak mempercayai prediksinya, yang walaupun saya sarjana pertanian, tapi tidak mencermati dinamika rantai pasok perberasan.

Dia juga tahu bahwa Bulog sudah (atau akan) melakukan operasi pasar untuk menstabilkan kembali harga beras.

Dari cerita di atas, ada dua pertanyaan yang bergelayut di benakku. Pertama, benarkah Pulau Jawa sekarang kekurangan stok beras? Kedua, jika Bulog sudah melakukan operasi pasar, sejauh mana efektifitasnya menahan lonjakan harga ini?

Jika melihat kampanye “panen setiap hari” yang digelorakan kementerian pertanian, mustahil Pulau Jawa –lumbung beras kita– kekurangan stok. Jadi, untuk apa para pedagang dari Jawa jauh-jauh datang ke Sultra?

Jika mau sedikit taktis, bolehlah untuk tidak terburu-buru melakukan impor agar ketahuan apa masalah sesungguhnya. Dengan sedikit menahan diri dengan mengulur kebijakan impor, dan memaksimalkan peran Bulog menstabilkan harga, akan ketahuan siapa yang sedang bermimpi. Maksudnya, mimpi bahwa kita sedang surplus atau mimpi bakal dapat fee berlipat.***

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhari Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini