OPINI – Gugatan pasangan calon Walikota Kendari Abdul Rasak-Haris Andi Surahman ke Mahkamah Konstitusi (MK) resmi ditolak. Rivalnya, pasangan Adriatma Dwi Putra-Sulkarnain tinggal menunggu penetapan sebagai pemenang. Pilkada Kota Kendari selesai. Pemilihan gubernur (pilgub) memasuki babak baru.
Seperti ulasan sebelumnya yang berjudul “Jalan Tol Buat Asrun”, Pilkada Kendari menjadi penentu bagi kekuatan Asrun, bakal kandidat gubernur yang meyakini PAN telah berada di tangannya. Kemenangan ADP-Sul adalah jalan tol baginya untuk memantapkan PAN berada di genggamannya sekaligus menarik simpul-simpul kekuatan partai lain.
Kemenangan ADP-Sul menjadikan pilgub yang cukup “adem ayem” dengan gerilya para bakal kandidatnya berkontraksi. PKS yang tidak punya jualan kader tentu kian mesra gandeng-gandengan dengan PAN.
Gerindra yang dipimpin Imran –besan Asrun– agak sulit ke lain hati. Asrun cukup kode mata anak lelakinya, Adriatma. Lalu Adriatma cukup berbisik mesra ke istrinya –putri Imran– untuk memasakkan makanan kegemaran sang ayah, lalu sedikit hentak-hentak kaki “manjah” membujuk, bakal membuat Imran sulit menolak. Cerita yang ini khayalan ya…dilarang baper…hehehehe. Tetapi sesungguhnya, Gerindra memang tidak punya kader yang layak jual.
PDIP harus menimbang-nimbang kekuatan Hugua. Perlu dicatat, pada Pilkada Wakatobi 2015, PDIP kalah. Hugua tidak mampu memaksimalkan kekuatannya sebagai bupati/mantan bupati untuk memenangkan jagoannya.
Ini adalah catatan penting. Itu baru sebatas mempengaruhi konstituen Wakatobi. Di pilgub, harus mempengaruhi pemilih hingga wilayah perbatasan Sulsel dan Sulteng. Dan perhelatan pilgub berlangsung dua atau tiga tahun setelah Hugua lengser dari kursi kekuasaan. Timbangan-timbangan itu akan membuat DPP PDIP di Jakarta sedikit “galau” jika memaksakan Hugua maju sebagai kandidat gebernur.
Asrun bersama PAN dan –anggaplah– PKS, sejauh ini menimbang-nimbang antara Hugua atau Laode Ida untuk dijadikan pasangan. Jika mendapatkan Hugua, koalisi PAN-PKS-Gerindra akan semakin gigantis dengan masuknya PDIP. Apalagi, PDIP adalah partai penguasa yang tentu saja memiliki akses pada sumber daya kekuasaan nasional.
Sedangkan jika ke Laode Ida, ada keuntungan basis kultural yang bisa dioptimalkan kendatipun tidak punya infrastruktur partai yang menyertainya. Tapi perlu pula dicatat bahwa basis kultural Laode Ida harus direview ulang mengingat kekalahannya pada Pilcaleg 2014 lalu oleh Tina Nur Alam.
Bagaimana poros lainnya? Rusda Mahmud-Sjafei Kahar. Akan utuhkah “koalisi” mereka hingga tiba masanya? Melihat begitu jor-jorannya tim Rusda-Sjafei menyebarkan materi sosialisasi ke masyarakat, pasangan ini sepertinya serius. Tetapi keduanya adalah kader yang “tanggung” di partainya masing-masing.
Rusda “hanyalah” Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Sultra, sedangkan Sjafei mantan Ketua Golkar Buton bertahun-tahun silam. Keduanya sedikit punya nilai plus, suksesor Rusda di Kolaka Utara adalah “anak asuhannya”. Sedangkan di Buton Selatan, putra Sjafei, Agus Feisal Hidayat, keluar sebagai pemenang pilkada.
Sebagai partai yang memiliki hubungan “darah” dengan Rusda, Demokrat sebenarnya kurang begitu antusias dengan paket Rusda-Sjafei. Ada catatannya, sebagai Bupati Kolaka Utara yang begitu kuat selama 2004-2014, Rusda hanya mengantar Demokrat meraih tiga kursi di Pemilu 2014.
Pada Pemilu 2009, di bawah kepemimpinan Rusda, PNBK mendudukkan 7 kadernya dari 25 anggota DPRD Kolaka Utara. Sangat dominan. Rusda menjadikan partainya sebagai “anomali” secara nasional. Salah satu dari sedikit kabupaten dimana PNBK meraih sukses besar kendatipun secara nasional harus tereliminir oleh parliamentary threshold.
Berikutnya, Sjafei memang punya modal dengan Buton Selatan. Tapi ingat, Buton Selatan hanya kepingan dari Buton ketika dia berkuasa atau ketika anaknya, Agus Feisal Hidayat, takluk secara mengejutkan dari politisi kontroversial Umar Samiun di Pilkada 2011.
Pada Pilkada 2017, Buton Selatan hanya punya 54.677 pemilih. Bandingkan dengan Buton Tengah yang sebanyak 77.079 pemilih atau Buton sebanyak 71.358 pemilih. Praktis dapat dikatakan, Sjafei kini hanya punya sepertiga terkecil dari Buton di masanya.
Di sisi lain, Demokrat juga memiliki masa suram yang melibatkan ketuanya secara langsung. Dalam dua kali pilkada (Konsel dan Kendari), Demokrat kalah. Di pilgub, Demokrat akan sangat-sangat berhati-hati menentukan langkah. Paket alternatif Ali Mazi-Endang yang beredar di media sosial dapat diterjemahkan sebagai bentuk kegamangan atas pasangan Rusda-Sjafei.
Golkar yang punya irisan dengan Sjafei, menjadi partai yang cukup bebas diperebutkan oleh siapa saja, setelah ketuanya, Ridwan Bae, hampir pasti tidak akan mencalonkan sebagai kandidat gubernur. Jauh hari, Rusda-Sjafei sudah menjalin komunikasi dengan partai yang memiliki 7 kursi di parlemen Sultra ini.
Memang, masih sulit untuk menaksir kemana Rusda-Sjafei bermuara. Bahwa Golkar-Demokrat adalah hitungan yang cukup realistis. Namun, bisa saja mereka berakhir tanpa partai pendukung. Ada pengaruh Nasdem (3 kursi), Hanura (3 kursi), dan PPP (2 kursi), serta PKB (1 kursi).
Lagipula masih terdapat figur lain yang masuk dalam radar pertimbangan. Lukman Abunawas yang punya modal jejaring keluarga di jazirah Konawe dan juga memiliki romantisme masa lalu dengan Golkar. Abdul Rahman Farisi, tokoh muda, yang bisa jadi kuda hitam merebut simpati partai. Pun masih ada Supomo, perwira tinggi TNI angkatan laut aktif yang sedikit lagi purnawirawan.
Masih agak sulit untuk memetakan bakal kandidat lainnya mengingat partai lain belum menghelat agenda formalnya seperti rakorwil yang digelar PKS, beberapa waktu lalu. Yang pasti, keputusan MK perihal sengketa Pilkada Kendari membuat pilgub berkontraksi. ***
Oleh : Andi Syarir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial