Kepemimpinan Kolektif Kolegial: Sebuah Tinjauan Fungsional

Ketua Bawaslu Sultra Hamiruddin Udu
Hamiruddin Udu

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain, baik bawahan maupun kelompok untuk bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan. Dalam perkembangannya, dikenal sejumlah tipe kepemimpinan atau gaya kepemimpinan. Ada tipe kepemimpinan otoriter sebagaimana dicontohkan Adolf Hitler, ada tipe kepemimpinan demokratis sebagaimana dicontohkan Mahatma Gandhi, ada tipe kemimpinan kharismatik sebagaimana dicontohkan Nelson Mandela, ada tipe kepemimpinan paternalistik sebagaimana dicontohkan guru-guru di sekolah, ada tipe kepemimpinan militeristik sebagaimana dicontohkan Soeharto, ada tipe kepemimpinan Laissez-Faire dan ada tipe kepemimpinan situasional sebagaimana disampaikan Hersey dan Blanchard. Lalu tipe kepemimpinan seperti apa yang sesuai dengan kepemimpinan kolektif kolegial yang diterapkan pada lembaga seperti Bawaslu dan KPU, khususnya penyelenggara Pemilu di daerah? Penyelenggara Pemilu di daerah, disadari atau tidak seringkali terjadi disharmoni antara ketua dan anggota atau antara anggota dengan anggota.

Hal tersebut sebagaimana sering terdengar, walaupun kadang sayup-sayup informasinya di sejumlah Bawaslu provinsi dan KPU Provinsi dari 34 provinsi atau dari 514 Bawaslu kabupaten/kota dan KPU kabupaten/kota se-Indonesia. Ada sejumlah penyelenggara Pemilu di daerah diperiksa oleh DKPP karena persoalan disharmoni internal. Semua itu menunjukan bahwa adanya permasalahan soliditas yang mungkin salah satunya disebabkan oleh gaya kepemimpinan kolektif kolegial yang tidak tepat.

Pertanyaan yang muncul adalah apa itu kepemimpinan kolektif kolegial dan bagaimana mekanisme kerjanya? Sebelum menjawab apa itu kepemimpinan kolektif kolegial, terlebih dahulu dalam tulisan ini diuraikan pengertian kolektif kolegial.

Kolektif kolegial adalah suatu ikatan dan interaksi yang dilakukan secara bersamaan layaknya teman sejawat[1]. Dengan demikian, sistem kolektif kolegial adalah sistem dalam suatu organisasi dimana untuk mencapai suatu tujuan diperlukan adanya suatu koordinasi antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya. Berangkat dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan kolektif kolegial adalah istilah umum yang merujuk kepada sistem kepemimpinan yang melibatkan beberapa orang pimpinan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan dengan mekanisme tertentu, yang ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat atau pemungutan suara dengan mengedepankan semangat keberasamaan[2].

Masing-masing pimpinan itu memiliki hak suara yang sama dalam pengambilan keputusan dan/atau kebijakan dalam lembaga tersebut. Pengertian yang sama tertulis pada laman website http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-kolektif-dan-contohnya/yang menyatakan bahwa kepemimpinan kolektif kolegial adalah sistem kepemimpinan dimana pengambilan keputusannya dilakukan melalui musyawarah atau bersama-sama (kolektif). Kepemimpinan kolektif kolegial diikat oleh tujuan yang sama. Ikatan dan interaksi dalam kepemimpinan kolektif kolegial adalah ikatan untuk mewujudkan visi misi lembaga yang telah disepakati.

Selanjutnya, Syamsir Alam[3] menyatakan bahwa “kepempinan kolektif kolegial adalah sistem kepemimpinan pada suatu lembaga atau organisasi yang tidak tergantung hanya pada satu orang. Akan tetapi, semua pimpinan bertanggung jawab untuk memajukan dan mewujudkan visi misi lembaga atau organisasi”. Pernyataan Syamsir Alam ini berkesesuaian dengan pandangan Prabowo Subianto yang mengutip pernyataan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln mengenai kepemimpinan kolektif kolegial. Beliau menyatakan bahwa kepemimpinan kolektif kolegial adalah suatu konsep kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan nasional.

Presiden Abraham Lincoln setelah memenangi pemilihan presiden, Lincoln justru mengajak William H Seward, rival politiknya yang paling keras—yang sudah berhadapan dengannya selama bertahun-tahun—untuk bergabung sebagai secretary of state di dalam kabinet Lincoln dan memimpin Amerika Serikat. Sewaktu Lincoln bertanya kepada Seward apakah ia mau bergabung, Seward malah balik bertanya dengan kaget: ”Kenapa Anda memilih saya? Anda tahu saya tidak suka kepada Anda?” Dijawab oleh Lincoln: ”Memang saya tahu Anda tidak suka saya, dan benar saya juga tidak suka Anda. Akan tetapi, saya tahu Anda cinta Amerika Serikat. Kalau demikian, kenapa kita tidak bersama-sama bekerja untuk Amerika Serikat.”

Percakapan Lincoln dan Seward di atas terlihat bahwa dalam kepemimpinan kolektif kolegial sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat, bahkan terlihat ada sikap suka dan/atau tidak suka di antara pimpinan. Akan tetapi, berdasarkan percakapan tersebut terlihat pula bahwa tujuan atau cita-cita bersamalah yang semestinya menjadi fokus, yang mengikat semua pimpinan untuk bergerak bersama, menyatukan langkah dan semangat bersama. Visi misi lembagalah yang menjadi target yang ingin capai bersama oleh semua pimpinan, tak terkecuali apakah ia adalah ketua merangkap anggota atau hanya anggota merangkap koordinator divisi.

Tidak memperbesar perbedaan-perbedaan pendapat tentang sesuatu yang tidak berkaitan dengan pencapaian visi misi lembaga, semisal siapa saja koordinator divisi yang diundang dalam suatu kegiatan divisi, siapa saja narasumber yang diundang, dan/atau kapan suatu kegiatan divisi akan dilaksanakan. Karena siapa yang diundang dalam suatu kegiatan sesuai dengan kepentingan lembaga dan masalah apa yang akan dibahas dalam kegiatan telah selesai dibahas dalam ToR kegiatan yang disusun oleh pihak sekretariat yang telah dikonsultasikan dengan koordinator divisi yang membidanginya. Dari aspek fungsional, pentingnya pembagian divisi di penyelenggara Pemilu, bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan tugas-tugas lembaga yang terkait dengan divisi tertentu, dan supaya ada komisioner yang bertanggung jawab atas suatu tugas divisi, tidak saling lempar tanggung jawab. Untuk pertanggungjawabannya secara internal akan dilakukan oleh koordinator divisi kepada pleno pimpinan atas pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakannya. Tidak semua hal harus dibahas di pleno.

Apabila semua hal harus dibahas di rapat pleno terlebih dahulu maka pelaksanaan tugas divisi tidak akan efisien dan efektif. Dalam konteks itu, penunjukan divisi apa yang perlu diundang cukup diketahui oleh koordinator divisi. Apalagi jika untuk persoalan yang sama, seorang komisioner A tidak melakukan hal yang sama yang dituntutnya pada komisioner B, atau dan lain sebagainya. Persoalan yang patut diperdebatkan pada rapat pleno adalah misalnya berkait keputusan atau sikap lembaga dalam merespon dinamika sosial-politik yang belum jelas aturannya dalam UU, Perbawaslu atau PKPU.

Dalam kepemimpinan kolektif kolegial, pembagian divisi bertujuan untuk memudahkan pencapaian visi misi suatu lembaga/organisasi. Tugas-tugas lembaga didistribusi kepada divisi-divisi atau departemen-departemen yang dipimpin satu orang pimpinan sebagai koordinator divisi. Dalam pelaksanaan tugas masing-masing koordinator divisi harus saling mempercayai bahwa apa yang dilakukan tidak lain hanya untuk mewujudkan visi misi lembaga.

Di samping itu, antara komisioner atau pimpinan harus saling membantu, saling memback up satu sama lain, saling memahami, saling menguatkan dan tidak sebaliknya. Penting pula ada saling mempercayai satu sama lain. Beri kepercayaan kepada koordinator divisi untuk melaksanakan tugas-tugas didivisinya sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam peraturan teknis, baik Perbawaslu dan/atau PKPU. Apabila tidak begitu maka secara fungsional pembagian divisi tidak memiliki utilitas. Artinya, kepemimpinan kolektif kolegial tidak memberi nilai yang signifikan untuk meningkatkan kinerja lembaga. Kenapa harus beri kepercayaan penuh kepada koordinator divisi? Karena koordinator divisi telah memahami dengan baik tugas lembaga dibawa kendali divisinya sebagaimana digariskan oleh Perbawaslu dan/atau PKPU sebagai peraturan teknis yang jadi pedoman pelaksanaan tugas divisi (lihat pasal 190-206 Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2019 dan pasal 60 Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2015). Koordinator divisi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas-tugasnya di pleno pimpinan.

Sehingga kalau ada hal yang ingin diperjelas pimpinan atau koordinator divisi lain terkait pelaksanaan tugas-tugas divisi A yang dilakukan oleh koordinator divisi A maka salah satu pimpinan atau koordinator divisi lainnya dapat meminta kepada ketua untuk diadakan rapat pleno meminta penjelasan dan/atau untuk memberi masukan (lihat pasal 66 Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2015, pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 2017). Pemberian kepercayaan kepada koordinator divisi tidak berarti bahwa ada ego sektoral divisi tapi semata-mata bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanan tugas penyelenggaran Pemilu sebagaimana amanah UU.

Sebaliknya, ketidakpercayaan koordinator divisi A kepada koordinator divisi B atau sebaliknya akan menghambat lajunya kinerja lembaga, menghambat efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas lembaga. Dengan begitu, pimpinan lain tidak etis meminta pertanggung jawaban koordinator divisi di tempat lain diluar pleno apalagi ditanyakan pada tempat yang semestinya bukan untuk menjadi tempat meminta penjelasan. Apabila diperdebatkan bukan di rapat pleno maka meminjam istilah Mohammad Afifudin, anggota Bawaslu RI pada saat membawakan sambutan di acara penutupan rakernis evaluasi penanganan pelanggaran gelombang ke-III di Kota Batam pada tanggal 19 September 2019, beliau menyatakan bahwa “Bawaslu di semua tingkatan harus menjaga soliditas. Hangusnya masakan di dapur, asinnya masakan di dapur tidak perlu diketahui oleh orang di luar dapur. Orang  di luar dapur tidak perlu tahu adanya masakan yang hangus atau adanya masakan yang banyak garamnya”. Begitu beliau memberi pengarahan dalam menjaga soliditas dalam berlembaga di Bawaslu.

Tugas penyelenggara Pemilu ini sudah cukup berat, sehingga membutuhkan tim yang kuat, solid, dan saling memback-up, tidak saling melemahkan. Banyak dinamika sosial-politik di luar lembaga yang perlu direspon cepat (quick responded). Ada banyak dinamika sosial-politik di luar lembaga yang perlu direspon cepat untuk melakukan tindakan pencegahan terjadinya pelanggaran (UU Nomor 7 Tahun 2017). Apabila hal tersebut dikaitkan dengan tipe-tipe kepemimpinan, maka terlihat bahwa tipe kepemimpinan demoktratis (democratic leadership) kadang-kadang tidak tepat untuk diterapkan di lembaga penyelenggara Pemilu. Kenapa dikatakan demikian? Karena salah satu kelemahan dari tipe kepemimpinan demokratis adalah lambat dalam proses pengambilan keputusan. Apalagi dalam penyelenggara Pemilu terdapat banyak kepala sehingga sangat berpotensi terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan.

Untuk itu, mungkin tipe kepemimpinan yang dibutuhkan dalam kondisi tertentu adalah tipe kepemimpinan yang memungkinkan digambilnya keputusan cepat di atas perbedaan pendapat para ketua/anggota penyelenggara Pemilu tersebut, walaupun tidak selamanya harus tipe kepemimpinan itu yang diterapkan. Secara fungsional, apabila perdebatan dalam rapat pleno ketua/anggota tidak berujung, disisi lain tahapan berjalan terus, atau suatu kasus sudah butuh respon cepat maka tidak ada lagi gunanya keputusan atas hal tersebut diambil karena tahapannya telah lewat atau kasusnya telah kadaluarsa.

Perbedaan pendapat itu sangat potensial ada pada saat menyikapi suatu kasus disebabkan karena beragamnya latar belakang pimpinan, baik karena perbedaan pemahaman maupun karena beragamnya latar belakang keilmuan. Untuk itu, guna menghindari adanya perdebatan yang tak berakhir, yang berujung pada permasalahan soliditas di internal lembaga, dan/atau dilakukannya perdebatan di ruang-ruang selain ruang rapat pleno maka penting ada pengaturan yang tegas apakah pengaturan melalui Perbawaslu atau PKPU. Dengan demikian, hangusnya masakan atau asinnya masakan di dapur tidak akan diketahui oleh orang-orang di luar ruangan dapur. Kepemimpinan kolektif kolegial benar-benar memiliki nilai utilitas.

Di samping itu, untuk mendorong pelaksanaan tugas-tugas lembaga yang terback-up maksimal oleh staf sekretariat yang juga beragam pemahaman dan latar belakang keilmuannya, maka kepemimpinan kolektif kolegial di lembaga penyelenggara Pemilu perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi tipe kepemimpinan situasional (situational leadership). Kenapa menggunakan tipe kepemimpinan situasional? Karena diantara pegawai yang ada, terdapat pegawai yang telah memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan padanya sehingga pada pegawai seperti ini tidak dibutuhkan lagi kontrol yang ketat terhadap pelaksanaan tugas-tugasnya karena ia akan mampu melaksanakan tugas yang dibebankan padanya.

Akan tetapi, pada sejumlah staf lainnya yang belum memiliki kompetensi dibutuhkan kontrol dan/atau pengarahan yang ketat dalam menjalankan tugas yang diberikan. Apabila tidak dilakukan kontrol dan/atau pengarahan dengan baik, maka dikuatirkan apa yang dikerjakannya tidak selesai tepat waktu atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan lembaga.

Dalam kepemimpinan kolektif kolegial seperti di Bawaslu daerah dan KPU daerah, semua pimpinan perlu diberi ruang yang sama, diberi kepercayaan yang sama untuk mewujudkan visi misi lembaga yang telah ditetapkan. Setiap koordinator divisi perlu diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas-tugas divisi dibawa kendalinya. Apalagi di dalam Perbawaslu dan PKPU telah jelas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing divisi dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan visi misi lembaga. Dan terhadap tugas atau hal yang belum jelas diatur dan digariskan dalam Perbawaslu atau PKPU maka forum rapat pleno adalah menjadi tempat yang paling tepat untuk mendiskusikan dan membahas langkah/kebijakan apa yang harus diambil dan diputuskan oleh lembaga.

Dalam konteks ini, pengambilan kebijakan dan keputusan melalui rapat pleno menjadi sebuah keniscayaan. Dengan demikian, dari aspek fungsional pelaksanaan tugas-tugas lembaga diharapkan lebih maksimal, lebih efektif, lebih efisien, dan dengan memahami tugas masing-masing divisi maka perdebatan-perdebatan yang tidak substantif dapat dihindarkan. Tidak  perlu ada prasangka di antara pimpinan lembaga karena pada dasarnya semua koordinator divisi bertujuan sama, yakni mewujudkan visi misi lembaga, dan pada akhirnya semua pimpinan lembaga akan lebih solid. Kinerja lembaga akan semakin maksimal.

  • http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-kolektif-dan-contohnya/
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kolektif_kolegial
  • http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/11/kepemimpinan-di-muhammadiyah-tidak-tergantung-tokoh-tapi-kolektif-kolegial/

 

Oleh Hamiruddin Udu
Penulis Merupakan Ketua Bawaslu Sultra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini