Kesbangpol: Politik Identitas di Sultra Mendarah Daging

243
Kepala Bidang (Kabid) Politik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sultra, David Sidupa
David Sidupa

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Sadar atau tidak, politik identitas di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) sebenarnya telah terbangun sejak dulu.

Alat politik ini memiliki dampak positif bagi persatuan dan kesatuan masyarakat di Sultra, namun akan bernilai negatif jika di salah gunakan ataupun disalah artikan.

Pada 2024 merupakan tahun krusial dalam perjalanan politik di Indonesia, tak terkecuali daerah Sultra. Seperti diketahui bersama, Pemilu 2024 akan dilangsungkan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD dan Presiden, pada 14 Februari 2024.

Pemilu serentak 2024 ini, diyakini lebih menghemat anggaran dibandingkan pemilu yang terpisah antara legislatif dan presiden.

Setelah itu, baru dilanjutkan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Gubernur, Bupati dan Walikota pada 27 November 2024.

Pada perjalanannya, selain saling adu program antar pasangan yang ikut berkompetisi dalam pilkada, isu-isu yang berbau SARA juga digunakan untuk beradu sehingga menghidupkan stigma politik identitas yang kita ketahui bersama merupakan embrio lahirnya praktik “negative campaign”.

Praktik politik identitas yang ada di Sultra, secara umum dapat dikategorikan sebagai politik ke-Etnis-an. Hal ini dapat dibuktikan dengan stigma politik identitas yang populer dengan istilah “Daratan-Kepulauan”.

Praktik itu sudah mulai terlihat sejak masa pemerintahan La Ode Kaimuddin (alm) sebagai Gubernur Sultra ke-VII, ia sebagai masyarakat kepulauan (Muna) mencari kolega politik melewati pertimbangan kualitas dan kapasitas individu yang memiliki status sebagai masyarakat daratan (Kota Kendari).

BACA JUGA :  Kerja Sama dengan Bawaslu Kendari, The Haluoleo Institute Siap Kawal Pemilu 2024

Praktik politik identitas “Daratan-Kepulauan” juga terlihat di Sultra pada perhelatan Pemilu 2018-2019. Saat itu, calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra melakukan perkawinan silang antara daratan dan kepulauan.

Paslon Ali Mazi (kepulauan) dan Lukman Abunawas (daratan), Paslon Asrun (daratan) dan Hugua (kepulauan), serta Paslon Rusda Mahmud (daratan) dan Syafei Kahar (Kepulauan).

Jika melihat terjemahan politik secara umum, politik identitas tidak seharusnya diterapkan dalam kehidupan politik yang demokratis. Hal ini dikarenakan politik identitas memiliki potensi sebagai pemicu konflik sosial jika tidak diartikulasikan dengan baik.

Kepala Bidang (Kabid) Politik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sultra, David Sidupa mengatakan, bahwa di tahun politik ini perbedaan pendapat dan pilihan serta suasana yang memanas adalah suatu kewajaran.

Ia mengharapkan hal tersebut tidak menjadi pemecah belah kerukunan suku, agama, ras dan budaya di Sultra.

“Perpecahan ini bisa dihindari apabila semua masyarakat dapat bersatu membangun bangsa,” ucapnya di Kendari pada Jumat (3/3/2023).

Ia mengatakan, bahwa politik identitas yang berdampak negatif diakibatkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi.

Untuk itu, di tahun politik ini pihaknya gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat agar mereka memahami kedua hal tersebut.

David menyebut, tidak selamanya politik identitas itu bersifat negatif. Pasalnya, kondisi tersebut memberikan dampak positif bagi perjalan politik di Sultra.

Praktik politik yang mengawin-silangkan antara tokoh daratan dan kepulauan menjadi pencegah masalah agar konflik sosial yang dikhawatirkan tidak terjadi.

BACA JUGA :  Hasil Hitung Cepat: Tina Nur Alam dan Ridwan Bae Kembali Melenggang ke Senayan

Jika tidak demikian, maka konflik sosial akan memiliki presentasi yang semakin tinggi untuk dapat terjadi.

Jika tidak dikawin-silangkan (daratan-kepulauan) konflik akan subur di wilayah Sultra apabila pasangan yang didukungnya tidak berhasil memperoleh kekuasaan. Kritik, konflik, bahkan kericuhan akan mewarnai periode pemerintahan yang memperoleh dukungan dari suatu kelompok saja.

Kendati demikian, proses mengawin-silangkan bukanlah satu-satunya cara untuk menjalankan roda pemerintahan yang aman.

Kebijakan-kebijakan politik, komposisi birokrasi yang duduk di pemerintahan, maupun konsentrasi pembangunan infrastruktur tiap daerah, haruslah dibagi secara merata agar stigma rasial dapat tersingkirkan seluruhnya.

Dengan menerapkan hal-hal tersebut, maka masyarakat tidak memiliki celah lagi untuk mengatakan bahwa ‘pemerintah hanya pro terhadap kelompok ini, atau kelompok itu’.

David menuturkan, hingga saat ini Kesbangpol Sultra belum melihat adanya gerakan-gerakan terkait alat politik tersebut yang dapat memicu perpecahan. Pemprov Sultra pun telah melakukan upaya pencegahan dan penanganan konflik bila hal tersebut terdeteksi.

” Kalaupun ada, itu terjadi mungkin sifatnya senyap karena adanya ikatan emosional. Harapan kami, masyarakat sudah memahami arti demokrasi yang sebenarnya. Semoga tidak terjadi perpecahan di Sultra pada Pemilu 2024, mari kita saling menjaga satu sama lain dan sukseskan Pemilu 2024,” ucapnya. (A)

 


Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Ilham Surahmin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini