Kesulitan Nelayan, Rusaknya Ekosistem Laut dan Maraknya Penggunaan Bahan Peledak

Kesulitan Nelayan, Rusaknya Ekosistem Laut dan Maraknya Penggunaan Bahan Peledak
Salah seorang nelayan yang sedang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap sederhana.

ZONASULTRA.ID, LANGARA – Beberapa tahun belakangan ini, nelayan di Wawonii Barat, Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra) mengeluhkan kurangnya jumlah hasil tangkapan mereka. Populasi ikan yang hidup di area tangkap para nelayan kini menjadi sangat berkurang sehingga turut mempengaruhi daya tangkap mereka.

Situasi yang dialami sekarang sangat berbeda dirasakan jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, di mana jumlah populasi ikan masih melimpah yang membuat kapasitas hasil tangkap para nelayan terbilang banyak. Hasil tangkap yang diperoleh bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tetapi juga bisa diperjual belikan dan menjadi sumber pendapatan bagi nelayan.

Turunnya jumlah populasi ikan disebabkan beberapa faktor, di antaranya praktek penggunaan bahan peledak atau bom ikan yang masih lestari dan marak dilakukan oleh sebagian nelayan sekitar. Bahkan berdasarkan penuturan para nelayan menyebut cara penangkapan ikan yang dapat merusak kelestarian ekosistem laut itu dilakukan secara terbuka.

Seorang nelayan bernama Rustam mengungkapkan, dirinya pernah menyaksikan langsung tingkah laku buruk dari pelaku pemboman. Kala itu dia bersama anaknya tengah memasang alat tangkap jenis bubu. Tiba-tiba dia mendengar bunyi ledakan yang berjarak hanya sekitar beberapa meter dari tempatnya berada. Akibatnya, Rustam gagal mendapatkan ikan target tangkapan.

Kesulitan Nelayan, Rusaknya Ekosistem Laut dan Maraknya Penggunaan Bahan Peledak
Area laut yang mulai ditinggalkan para nelayan lantaran populasi ikan di tempat ini sudah berkurang, sehingga dianggap tidak lagi strategis bagi nelayan.

Bahkan parahnya kata dia, ada pula sebagian pelaku yang melakukan pemboman di sekitar pemukiman warga. Mereka seperti tidak peduli dengan dampak dari bom yang diledakkan. Padahal tindakan itu sangat berbahaya bagi warga sekitar.

Area laut yang menjadi lokasi pemboman biasanya berada di perairan dangkal. Lokasi seperti ini justru dianggap sangat strategis bagi nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap sederhana. Dengan begitu, praktek pemboman ini bukan hanya berakibat pada kerusakan biota laut, melainkan juga merampas hak nelayan skala kecil untuk mendapatkan hasil sumber daya laut.

Kurangnya populasi ikan membuat para nelayan harus berpindah lebih jauh dari lokasi yang biasa menjadi daerah tangkapan utama. Hal itu kemudian menambah beban biaya yang harus dikeluarkan para nelayan untuk memenuhi kebutuhan melaut. Misalnya saja kebutuhan pemakaian bahan bakar minyak (BBM). Para nelayan harus merogoh kocek lebih besar agar kebutuhan bahan bakar dapat terpenuhi.

Keadaan ini semakin pelik dirasakan setelah adanya kebijakan terbaru pemerintah pusat yang menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga bahan bakar bersubsidi mulai berlaku pada Sabtu 3 September 2022. Mereka pun seolah dipaksa mencari alternatif lain guna mentaktisi masalah yang begitu kompleks.

Kesulitan Nelayan, Rusaknya Ekosistem Laut dan Maraknya Penggunaan Bahan Peledak
Nelayan bernama Udin memperlihatkan ikan hasil tangkapannya. Ikan tersebut merupakan ikan jenis kerapu yang biasa hidup di perairan dangkal.

Kurangnya populasi ikan juga ikut dirasakan seorang pengumpul bernama Abang. Katanya, dulu dia mampu menjual ikan yang didapatkan dari hasil tangkap nelayan berkisar kurang lebih 3 gabus per harinya. Bahkan saking banyaknya para nelayan yang menjual, abang melayani penjualan sampai malam hari.

Dulu menjadi pengumpul merupakan usaha utama dari abang disamping mengelola bengkel lasnya. Namun saat ini produktivitas usaha tersebut bertukar. Abang menjadikan kegiatan melas menjadi usaha pokoknya, sementara usaha pengumpul ikan berubah menjadi kegiatan sampingan.

Sudah tiga tahun terakhir, jumlah ikan hasil tangkapan nelayan dinilai sudah berkurang. Abang tidak dapat lagi menjual per harinya seperti dulu. Maraknya penggunaan bahan peledak sangat mempengaruhi menurunnya populasi ikan.

Menurut Udin, salah seorang nelayan yang bermukim di Wawonii Barat menyampaikan kalau pelaku pemakaian bahan peledak masih banyak ditemukan. Jumlahnya malah semakin bertambah karena adanya regenerasi dari ayah turun ke anak. Dia mencatat ada sekitar hampir dua puluh orang pelaku pemboman yang tinggal di sekitar tempatnya.

“Itu baru di Wawonii Barat. Belum lagi para pelaku yang ada di kecamatan sebelah,”ucapnya.

Masih maraknya penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan dilatari sejumlah hal seperti, adanya motivasi ingin mendapatkan hasil tangkap yang lebih besar dengan cara yang instan, mudahnya akses mendapatkan bahan pembuatan bom ikan, serta kurang ketatnya pengawasan dari pihak berwajib. Alasan tersebutlah yang mendukung praktek penggunaan bahan peledak masih terus dilakukan dan telah menjadi tabiat buruk.

Kesulitan Nelayan, Rusaknya Ekosistem Laut dan Maraknya Penggunaan Bahan Peledak

Namun kata Udin, ada pula alasan lain yang cukup aneh yakni beberapa pelaku menjadikan aktivitas pemboman sebagai hobi. Seperti ada rasa senang ketika mereka mendengar bunyi dentuman dari bom ikan yang diledakkan. Kebiasaan membom tidak berorientasi untuk memperoleh hasil tangkap dalam jumlah banyak, tetapi hanya cukup bisa mendapat kesenangan saja.

Penggunaan bom di Wawonii Barat berlangsung secara turun temurun. Keterampilan merakit bom didapatkan para pelaku yang tergolong baru dari orang terdekatnya, misalnya sang ayah. Bahan yang digunakan untuk membuat bom juga begitu mudah didapatkan. Bahan peledak yang digunakan pada umumnya memakai pupuk amoniak atau urea. Biasanya para pelaku mendapatkan bahan baku dengan membelinya ke toko tani.

Cara merakitnya pupuk urea dicampur dengan bahan peledak, solar, dan black powder kemudian dikeringkan. Setelah itu bahan yang sudah dikeringkan tadi dimasukkan ke dalam botol lalu ditambahkan detonator sebagai sumbu yang dibakar.

Daya ledak yang ditimbulkan bom ikan dapat membuat ribuan benih ikan mati, jutaan telur ikan juga hancur akibat getaran yang ditimbulkan walau hanya sekali lempar. Kerusakan terjadi pada radius 5 sampai 50 meter dari titik pengeboman. Selain itu daya ledak bom bisa merusak habitat terumbu karang yang ada di sekitar lokasi pemboman.

Penangkapan ikan dengan bom dapat berimbas pada kematian ikan berbagai jenis dan ukuran. Para pelaku biasanya melakukan pemboman saat ikan sedang bergerombol. Usai bom dilemparkan dan meledak, ikan mengalami kematian dalam jumlah banyak yang terdiri dari beragam ukuran. Ikan yang seharusnya masih dalam proses pertumbuhan pun mati terkena daya ledak bom.

Efek lain dari penggunaan bahan peledak adalah terjadi kerusakan pada terumbu karang sehingga berakibat terganggunya keseimbangan ekologi karena terputusnya rantai makanan di laut. Hasil penelitian bank dunia menunjukan penggunaan bom seberat 250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 m2. Adapun terumbu karang yang rusak dapat pulih kembali dalam rentan waktu 1 sampai 5 tahun.

Rusaknya terumbu karang mengakibatkan ketersediaan makanan ikan berkurang yang membuat ikan-ikan bermigrasi ke tempat lain untuk mencari makan. Wilayah yang menjadi tempat berkembangbiak akhirnya ditinggalkan karena terumbu karang tidak lagi menyediakan sumber makanan.

Udin menuturkan, dulunya ada satu musim yang dikenal dengan musim ikan ekor kuning. Jenis ikan ini hidup dan berkembangbiak di perairan dangkal di kedalaman kurang lebih sekitar 50 meteran. Pada masa ini para nelayan berbondong-bondong untuk melakukan penangkapan.

Namun sudah beberapa tahun musim ikan ekor kuning tidak lagi ada. Jumlah populasinya menjadi berkurang. Penyebabnya karena rusaknya terumbu karang dan tidak adanya ikan yang merupakan makanan utamanya.

Tentu kerusakan lingkungan sampai menyebabkan hilangnya musim ekor kuning itu ditengarai akibat maraknya aktivitas pemboman.

Mengatasi masalah demikian dibutuhkan program pengelolaan perikanan dengan memperhatikan keberlanjutan ekosistem laut. Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah menjaga keseimbangan dari seluruh aspek utama perikanan meliputi aspek biologi, aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Dari aspek biologi yakni bagaimana menjaga sumber daya ikan agar berlanjut produktivitasnya.

Saat ini Pemerintah Daerah (Pemda) Sultra melalui Dinas Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan organisasi Rare Indonesia tengah mengembangkan sebuah program yang disebut PAAP atau Pengelolaan Akses Area Perikanan.

PAAP merupakan salah satu program pengelolaan perikanan yang dilakukan secara kolaboratif dengan menegakkan prinsip kelestarian dan keadilan. Masyarakat diberi akses dan tanggung jawab penuh dalam pengelolaan PAAP.

Pulau Wawonii sendiri memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai daerah yang lolos menerima program PAAP, mengingat adanya ketergantungan masyarakat terhadap pesisir. Secara geografis wilayah Konkep hampir setengahnya merupakan lautan.

Sementara Rare Indonesia sebelum menetapkan program PAAP dalam suatu daerah, terlebih dulu memperhatikan topografi daerah tersebut. PAAP lebih cocok diterapkan di daerah yang topografinya teluk maupun kepulauan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Kawasan Konservasi di Perairan Pulau Wawonii menetapkan Pulau Wawonii sebagai kawasan konservasi dan dikelola menjadi taman di perairan Pulau Wawonii.

Taman perairan ini memiliki luas keseluruhan 27.044,99 hektare yang terbagi atas zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona rehabilitasi, zona bangunan dan instalasi laut.

Dalam program PAAP membatasi wilayah pengelolaan perikanan sepanjang 0 sampai 2 mil dari tubir laut. Ketentuan ini disebutkan dalam peraturan gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Akses Area Perikanan.

Isi beleid itu menegaskan bahwa area pengelolaan perikanan hanya diperuntukkan bagi nelayan skala kecil setempat. Nelayan yang berasal dari luar tidak diperbolehkan menangkap ikan di area tersebut.

Pada radius 0 sampai 2 mil dalam program PAAP ditetapkan satu kawasan larang ambil (KLA) atau zona recovery. KLA ini dijadikan sebagai tempat perkembangbiakan ikan yang dijaga langsung nelayan kecil dan masyarakat setempat.

Kawasan larang ambil merupakan area tertentu yang meniadakan aktivitas penangkapan. Kawasan ini diperuntukkan bagi ikan ikan untuk bertelur, berkembangbiak, dan membesar. Ikan ikan tersebut diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang.

Tujuannya agar ikan yang hidup di kawasan larang ambil populasinya bisa melimpah, sehingga nantinya menyebabkan ikan ikan terdesak untuk berpindah dan keluar menyebar sampai ke zona layak tangkap. Ketika ikan sudah memasuki zona layak tangkap maka nelayan boleh melakukan penangkapan.

Di Wawonii telah mulai melaksanakan program PAAP guna memperbaiki tata kelola kawasan laut agar tetap memperhatikan keberlanjutan sumber daya laut. Program PAAP di Wawonii sudah berjalan kurang lebih selama tiga tahun.

Proses pengelolaannya dilakukan melalui kolaborasi antara berbagai pihak meliputi masyarakat nelayan, pemerintah setempat, termasuk pihak keamanan. Masyarakat nelayan sebagai pihak yang diberi tanggung jawab penuh membentuk suatu kelompok yang diberi nama PAAP Sumber Laut Mandiri Wawoni

Kelompok PAAP ini diketuai Muhammad Fahry dibantu seorang pendamping masyarakat dari Dinas Perikanan (DKP) Konkep, Aris Laria. Kini kelompok tersebut sudah beranggotakan sebanyak 30 orang yang merupakan gabungan antara nelayan dan masyarakat.

Muhammad Fahry mengatakan, selama tiga tahun masa pelaksanaan program PAAP, dia bersama anggota lainnya fokus melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum terkait pentingnya mengelola area perikanan dengan cara yang ramah lingkungan.

Proses sosialisasi sebagai ajang kampanye ini dilakukan di antaranya melalui kegiatan perlombaan. Terakhir pada Agustus lalu kelompok PAAP bersama DKP Konkep menggelar lomba selfi dan fotografi bertema PAAP dan Konservasi Perairan Pulau Wawonii.

Pelaksanaan kegiatan ini merupakan bentuk pendekatan kepada masyarakat untuk mengenalkan program PAAP. Kegiatan yang berlangsung kurang lebih sepuluh hari tersebut pun mendapat apresiasi dari masyarakat.

Selain itu, ada pula upaya dalam memperluas wilayah penerapan program PAAP. Upaya tersebut dilakukan dengan menggandeng berbagai pihak yang mempunyai kepentingan. Beberapa pertemuan pernah dilakukan membahas keberlanjutan pelaksanaan program PAAP.

Terbaru pertemuan itu melibatkan tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wawonii Barat, Kecamatan Wawonii Utara, dan Kecamatan Wawonii Timur Laut yang membahas mengenai rancangan peraturan bersama kepala desa.

Materi pokok dari rancangan peraturan yang digagas berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ikan di area PAAP. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan itu adalah para kepala desa, ketua Badan Pembangunan Desa (BPD), sekretaris desa, dan juga camat.

Salah satu isi peraturan yang tengah dibahas ini menegaskan bahwa area pemanfaatan sumber daya ikan di area PAAP diprioritaskan bagi nelayan kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat sekitar. Para nelayan yang berasal dari luar 3 kecamatan tadi boleh melakukan penangkapan namun terlebih dulu mengkonfirmasi ke pemerintah desa atau kelurahan yang menjadi lokasi penangkapan.

Kategori nelayan luar merupakan nelayan asal luar 3 kecamatan tetapi masih masuk wilayah Konkep. Rekomendasi bisa diberikan oleh pemerintah desa atau kelurahan setempat dengan catatan harus menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Sebelumnya pernah juga dilakukan pertemuan lintas pemangku kepentingan untuk perikanan berkelanjutan. Dalam pertemuan itu ditekankan agar para pihak pemangku kepentingan mengoptimalkan peran masing-masing.

Terkait pengelolan perikanan berkelanjutan, pihak keamanan diharapkan bisa melakukan pengawasan lebih ketat lagi dan tegas dalam menindak para pelaku pemboman yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap ekosistem laut.

Sebab kata Aris, salah satu langkah memberantas maraknya penggunaan bahan peledak adalah harus ada efek jera yang diberikan pada para pelaku. Program pemberian bantuan yang disalurkan kepada pelaku dengan harapan agar mereka berhenti untuk membom, justru tidak menjadi jaminan para pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

“Beberapa pelaku pernah diberi bantuan berupa kapal dan alat tangkap jaring. Sebelum penyerahan bantuan, para pelaku diminta untuk membuat surat pernyataan tidak melakukan lagi pemboman,” ungkapnya.

Namun upaya itu dianggap gagal karena para pelaku yang telah diberi bantuan, hingga kini masih menangkap ikan dengan cara membom. Bahkan kebiasaan penggunaan bahan peledak ini diturunkan kepada generasi baru yakni anak-anaknya.

“Tidak ada lagi alasan kalau mereka tidak mendapat perhatian dari pemerintah, Kita sudah bantu, tapi mereka masih terus mengulang,” katanya.

Memang terdapat pelaku yang berhenti melakukan pemboman disebabkan orang itu mengalami kecelakaan. Tangannya terpotong diamputasi setelah bom meledak sebelum dilemparkan. Bom tersebut pun meledak ditangannya.

Di samping itu, berhubungan dengan program PAAP, Aris mengakui ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaannya. Katanya, kampanye pengenalan harus lebih rutin dilakukan agar pengetahuan masyarakat terkait PAAP lebih memadai.

“Dalam kurun waktu 3 tahun pelaksanaannya, kita harus akui bahwa masih banyak masyarakat yang belum paham. Olehnya itu langkah pendekatan harus lebih sering dilakukan,” sarannya.

Aris menyebut salah satu hal yang belum diketahui masyarakat terutama para nelayan adalah batas-batas wilayah yang boleh dan tidak untuk melakukan penangkapan. Dia menyarankan agar ada pembuatan tapal batas yang diberi tanda berupa bangunan khusus.

Dia bilang kalau program PAAP bisa dipahami mayoritas masyarakat terkait pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem laut, maka tidak menutup kemungkinan kondisi perairan di Wawonii bisa membaik sehingga populasi ikan menjadi kembali melimpah.

Sementara itu, Udin mengatakan, manfaat yang sudah dirasakan dengan adanya program PAAP yakni tidak lagi ditemukan nelayan luar yang menangkap ikan di wilayah yang diperuntukkan bagi nelayan setempat.

Dengan begitu, kemungkinan para nelayan kecil setempat untuk berkompetisi dengan nelayan luar menjadi tertutup.

Menurutnya, bila program PAAP diterapkan dengan baik dan masyarakat serta nelayan dapat memahami adanya dampak positif terhadap penerapannya, maka kondisi perairan akan terjaga dan bakal mengembalikan kejayaan laut sekitar.

Udin pun berharap agar kampanye mengenai program PAAP bisa lebih ditingkatkan sehingga wawasan para nelayan terkait pentingnya menjaga ekosistem laut bisa bertambah. (*)

 


Kontributor: Yudin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini