KPUD Sultra nampaknya masih begitu terlihat kaku dalam memaknai putusan pengadilan sebagai suatu ketetapan hukum yang wajib dipatuhi, terlebih latah dalam menjalankan administrasi pemerintahan. Hal ini terlihat dari polemik pembatalan keputusan SK Pemberhentian Tetap Komisioner KPU Konawe Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari. KPUD Sultra, melalui Ketua KPUD Sultra Hidayatullah dalam wawancara pers masih bergeming bahwa SK yang dikeluarkan untuk memberhentikan masih sah, sebab itu dilahirkan melalui putusan DKPP No. 305/DKPP PKE.III/2014 tanggal 9 Desember 2014. Dan untuk mencabutnya, meski dilakukan melalui pembatalan Putusan DKPP pula. Padahal notabene SK tersebut telah dibatalkan melalui putusan MA (Mahkamah Agung) yang incracht.
Dalam rentetan peristiwanya, permasalahan ini diawali oleh SK Pemberhentian yang dikeluarkan oleh KPUD Sultra yang memberhentikan Komisioner KPUD Kabupaten Konawe Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari. SK tersebut dikeluarkan oleh KPUD Sulltra berdasarkan putusan DKPP No. 305/DKPP PKE.III/2014 tanggal 9 Desember 2014. Sebagaimana SK tersebut dirasa merugikan, maka Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari mengajukan gugatan. Dan hasilnya, bahwa KPUD Sultra diwajibkan oleh MA mencabut keputusan pemberhentian Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari. Turut mengembalikan pula kondisinya dalam keadaan semula. Namun sampai detik ini, KPUD Sultra tidak mematuhi putusan MA tersebut.
Rentetan Data dan Fakta
Sebagai perlanjutan atas Putusan DKPP No. 305/DKPP PKE.III/2014 tanggal 9 Desember 2014, Keputusan KPUD Sultra sebagaimana sebuah keputusan TUN yang berdasar apa yang dijelaskan oleh pasal 87 pada Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), digugat oleh Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari. Sesuai dengan mekanismenya dalam Pasal 53 ayat (1) UU 5/1986 mereka mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan TUN yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Kemudian, sebagaimana termaktub dalam Pasal 97 ayat (7) UU 5/1986, dari gugatan tersebut Pengadilan TUN memberikan putusan gugatan dikabulkan. Wah-nya, sejak di Pengadilan Tingkat Pertama hingga Mahkamah Agung, gugatan mereka dikabulkan. Begitu terang benderang pembatalan SK itu. Jelas. Berulang kali sejak Pengadilan TUN Tingkat Pertama hingga Kasasi di MA.
Lanjut atas itu, masih di Pasal yang sama dalam ayat 8 dan 9, dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN. Dari mekanisme ini, hal yang sudah terjadi adalah Putusan MA telah menjelaskan secara eksplisit bahwa KPUD Sultra diwajibkan mencabut keputusan pemberhentian Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari. Turut mengembalikan pula kondisinya dalam keadaan semula. Putusan ini bersifat konstitutif yaitu bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru dan juga bersifat condemnatoir yaitu berisi penghukuman atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah. Dari kedua sifatnya, dapat dikenakan upaya paksa.
Dari putusan MA tersebut maka terhapuslah kekuatan hukum dari SK Pemberhentian Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari, yang dikeluarkan oleh KPUD Sultra. Sejalan dengan apa yang diatur oleh UUAP dalam Pasal 71 ayat 3, yakni keputusan pembatalan dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan/atau pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan keputusan baru dan/atau tindakan pejabat pemerintahan dan/atau berdasarkan perintah pengadilan. Konsekuensi atas ini pun terpaparkan jelas di ayat 4, yakni kewajiban atas keputusan baru dibebankan pada pejabat pemerintahan. Dan di ayat 5, dijelaskan bahwa kerugian yang timbul atas itu menjadi tanggungjawab badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Jadi apa yang digemingkan oleh Ketua KPUD Sultra Hidayatullah, bahwa SK yang dikeluarkan untuk memberhentikan masih sah, sebab itu dilahirkan melalui putusan DKPP No. 305/DKPP PKE.III/2014 tanggal 9 Desember 2014, itu adalah kegagapan. Suatu hal yang tidak berdasar. Notabene, dalam pemeriksaan di pengadilan, segala keputusan dari KPUD Sultra pun Putusan DKPP No. 305/DKPP PKE.III/2014 tanggal 9 Desember 2014 itu sudah diperiksa. Jadi Bantahan Ketua KPUD Sultra itu terbantahkan secara formil pun materil. Seharusnya KPUD Sultra patuh berdasarkan konsekuensi di Pasal 71 ayat 4 dan ayat 5. Bukan ogah-ogahan dengan hujan apologi seperti ini.
Harapan Kedepannya
Penulis menilai, buntut dari ketidakpatuhan hukum ini akan berbahaya. Mekanismenya terlihat dalam UU No. 9/2004 tentang Perubahan UU No. 5/1986, di Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan sanksi bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Yang selanjutnya dilakukan perubahan kedua dengan UU Nomor 51 Tahun 2009, dimana di dalam Pasal 116 ayat (6) diatur pula mengenai pelaporan ketidaktaatan pejabat TUN untuk melaksanakan putusan PTUN tersebut kepada Presiden serta kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Dan konsekuensi logis dari itu semua adalah dapat menjorok-menjalar ke ranah sanksi administratif yang tersedia dalam UUAP, terlebih konsekuensi lanjutnya ke ranah pidana dan perdata, sekaligus berpretensi terhadap keabsahan penyelenggaraan Pemilu kedepan di Sultra. Semoga saja tidak.
Paling tidak kemungkinan besar yang terjadi hari ini, KPUD Sultra hanya menjalankan putusan DKPP- yang notabene lembaga etik dan menafsirkan segala aturan teknis pemilu dari sudut pandangnya. Kita tida bisa menampik, dalam realita yang sering terjadi, pejabat TUN yang punya kesadaran dan inisiatif mulai jarang. Sebab seringnya keputusan TUN yang mereka keluarkan didasarkan oleh conflict of interesting dalam kelembagaan. Bisa dikatakan sebagai kesewenangan yang menindas – abuse of power. Padahal seseorang Pejabat yang sedang menjalankan tugasnya maka ia adalah sedang melaksanakan peran Negara.
Menjadi berbeda dengan ketika tidak mematuhi putusan hakim-dapat disamakan dengan tidak mematuhi hukum, maka pada saat itu justru itu tidak sedang menjalankan peran Negara. Karena secara ideal, menjalankan peran Negara itu adalah melaksanakan ketentuan hukum. Dalam Teori Kesalahan, resiko dari ketidakpatuhan terhadap hukum tadi tidak dapat dibebankan kepada keuangan Negara tetapi harus ditanggung secara pribadi dari orang yang sedang menjabat, karena hal tersebut adalah kesalahan pribadi (FautePersonalle), bukan kesalahan dinas (Faute de Serve).
Paling tidak penulis berharap, atas semua ini dan yang kedepannya, melahirkan suatu langkah yang berhikmah. Untuk preseden yang baik bagi KPUD Sultra, kepatuhan kita terhadap hukum, terlebih penegakan hukum dan keadilan. Semoga. Fiat Justitia Pereat Mundus!.
Oleh : La Ode Muhram Naadu
Penulis adalah Pemerhati Hukum