OPINI : Akhirnya kita sampai di bagian ketiga. Kabar baiknya, ini sudah bagian terakhir. Tamat. Ternyata banyak cerita tentang debat publik ini. Jenuh juga sih hingga sampai di bagian tiga. Untung, sesekali kita bercerita tentang Widya. Barangkali dia sudah balik ke Jakarta dan kembali menyiarkan sajian-sajian olahraga.
Baca Juga : Ketika Kandidat Walikota Mengejar Durasi (Bagian 2)
Yah, selamat jalan ya Wid, kapan-kapan ke Kendari lagi. Bawa oleh-oleh kain tenunan kan? Keren lho kalo kamu pake. Kamu suka warna apa? Merah? Guwe sih suka yang biru. Hoooiii…bangun…bangun…masih magrib sudah mimpi.
Yah sudah, kita kembali Widya…eh…ke pertanyaan pasangan Zayat-Suri ke Rasak-Haris. Ini adalah bagian terakhir dari sesi tanya jawab pertama. Zayat mengemukakan soal pajak bumi dan bangunan. Katanya setiap tahun susut dua persen. Sebagai Ketua DPRD Kendari, Rasak ikut bertanggungjawab atas kenaikan PBB yang sangat tinggi. Bapak harus selaskan dan pertanggungjawabkan, pinta Zayat.
Rasak menanggapinya dengan mengatakan bahwa pada tahun 2009 persoalan pajak itu diserahkan ke daerah. Di DPRD dibuat perda sebagai payung hukumnya, sedangkan di eksekutif dibuat perwali yang menetapkan NJOP hingga naik 300 persen. Dan penurunan NJOP akan menjadi bagian dari program 100 hari pasangan Rasak-Haris setelkah terpilih untuk dirasionalisasi.
Zayat masih menekan. Rendahnya realisasi pembayaran pajak yang tidak sampai 50 persen menunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Harusnya, kata Zayat, sebagai Ketua DPRD, Rasak harus tegas ke pemerintah untuk tidak menaikkan NJOP. “Saya minta maaf, saya tidak akan kasih naik,” kata Zayat mendikte Rasak untuk berkata seperti itu ke walikota.
Rasak membalas bahwa antara pemerintah dan legislatif perlu ada saling menghargai dan menghormati. Terkait dengan PBB, Rasak menegaskan, dirinya tidak akan menurunkan tapi akan melakukan rasionalisasi. Begitu dilantik, maka rasionalisasi PBB akan segera dilakukan sebagai bagian program 100 hari.
Setelah jedah, dilanjutkan dengan Tanya jawab sesi kedua. Diawali dengan pertanyaan pasangan Rasak-Haris ke Zayat-Suri. Razak membalas Derik dengan menyebutnya sebagai orang yang lama berkecimpung di pemerintahan, bagaimana konsep aglomerasi penataan wilayah? Bagaimana penerapan konsep ini?
Zayat tidak menyinggung soal makna aglomerasi. Dia mengawali pejelasannya bahwa dalam pembangunan suatu wilayah harus diperhatikan tata ruang. Jangan membangun kalau itu hutan. Tata ruang jangan dirusakkan oleh bangunan. Ketika hujan, langsung terjadi genangan yang lama baru surut. Dalam membangun harus memperhatikan dampaknya. Persoalan banjir tidak tepat penanganannya. Walikota harus ada di tempat.
Rasak menanggapi jawaban Zayat dengan sedikit memberikan penjelasan mengenai konsep aglomerasi bahwa pada dasarnya tata ruang pembangunan daerah itu harus terintegrasi. Perpaduan dalam satu wilayah diintegrasikan dalam RPJMD.
Zayat menanggapi pernyataan Rasak dengan mencontohkan tahura (taman hutan raya), dimana sebagian kawasannya merupakan wilayah adminsitratif Kendari. Itu harus diperhatikan. Kata Zayat, Kendari itu seperti belanga. Perencanaan kota harus 100 tahun ke depan. Jangan hanya 50 tahun. Jangan membangun dengan tidak konsisten. “Ada yang maju rukonya, ada yang mundur rukonya,” katanya.
Selanjutnya, pasangan Zayat-Suri bertanya ke pasangan ADP-Sul. Suri mewakili. Dia menyoroti air bersih. Hanya mengalir seklai smeinggu, baud an kuning. Menurut Anda, apa kendala pemerintahan saat ini dalam mewujudkan air bersih yang murah dan berkualitas?
ADP menjawabnya. Masalah air bersih disebabkan kurangnya sumber mata air. Jika terpilih, dia akan membangun intake baru di Kecamatan Puuwatu. Untuk persolan kualitas dan pendistribusiannya, akan disediakan fasilitas pengolahan dan peremajaan sistem perpipaan. Instalasinya gratis. Tarif akan dinormalkan, karena hutang Rp 63 miliar sudah diputihkan.
Zayat menanggapi. Menurutnya, pelanggan sebanyak 19.132 sebagian memilih membuat sumur bor daripada berlangganan PDAM. Dia juga menyoroti tarifnya yang mahal. ADP balik menanggapi bahwa perlu ada fasilitas air bersih non PDAM, yakni dengan instalasi sumur-sumur bor di berbagai wilayah. Aturan sumur bor itu harus diatur oleh pihak legislatif.
Pertanyaan terakhir diajukan oleh ADP-Sul ke Rasak-Haris. Sebelum bertanya, ADP menyinggung perihal program 100 hari Rasak-Haris tentang PBB. Bagaimana cara menentukan NJOP berdasarkan SK walikota?
Rasak menjawab, melihat harga setempat di wilayah tanah tersebut. Tanahnya kelas satu, tapi pemiliknya tukang ojek. Menurut Rasak itu harus dibijaki. Itu utama yang disampaikan Rasak tapi kehabisan waktu.
Sedangkan ADP menanggapi bahwa kebijakan seperti itu semacam tindakan tax avoidance atau penghindaran pajak yang berkonsekuensi pidana. Menurut ADP, penentuan NJOP harus sesuai dengan harga pasar. Lokasi tanahnya kelas satu, ya pajaknya juga kelas satu.
Menurut Rasak, jangan pakai kacamata kuda saat menerapkan kebijakan. Pemerintah hadir justru untuk memberikan solusi yang meringnakan. Menurutnya, tidak bisa dipaksakan seorang yang berprofesi tukang ojek untuk membayar pajak tanah kelas satu. Menurutnya, dia punya cara yang jitu tanpa menabrak aturan. Caranya? Pilih Rasak jadi walikota, katanya.
Debat Rasak-ADP ini menarik. Menurut saya, merupakan sesi debat paling menarik dari sekian isu yang dilontarkan. Ini persoalan cara pandang di antara dua kandidat. Ini diskusi yang menarik. Tiga saja materi debat yang seperti ini, Widya bisa dilupakan…ups…
Sesi terakhir. Closing statement. Masing-masing diberi satu menit. Rasak mengulang visi misinya. Begitu usai, tiba-tiba terjadi keributan. Widya keteteran menenangkan penonton. Dia tampak berkoordinasi lewat earphone.
“Dimulai saja. Tenang. Waktu terbatas. Dimulai saja,” suara Widya sedikit meninggi. Jernih. Rasanya, pengen membantu dia menenangkan penonton. Tapi apa daya, saya hanya menonton dari balik layar TV.
ADP lalu berbicara tentang pemimpin yang harus jujur dan bersih dari kasus korupsi. Ditimpali Sulkarnain yang berpantun, “jika cinta ingin bertahta, pastikan hati dimohon doa. Jika kita ingin sejahtera, pastikan hati di nomor dua.” Tempik sorak. Ribut lagi beberapa saat.
Lalu, Suri maju. Dengan mantap. Suara lantang meyakinkan. Yang memahami perempuan adalah perempuan, katanya. Dia meminta KPU dan panwas mengawal pilkada dengan jujur dan berintegritas. ASN jangan diintimidasi, biarkan mereka memilih dengan bebas. Bersorak sorailah orang-orang. Debat selesai. Sampai jumpa di TPS. Semoga Pilkada Kota Kendari lancar, aman, dan kita warganya tetap tentram.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial