ZONASULTRA.ID – Masalah ekonomi karena lemahnya pengelolaan keuangan menjadi hal krusial bagi masyarakat nelayan yang mayoritas Suku Bajo di Pulau Saponda, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Situasi makin rentan terjadi mana kala terjadi cuaca buruk atau kondisi yang membuat mereka terpaksa berhenti melaut.
Namun di balik itu mereka memiliki etos kerja yang tinggi, bahkan suami istri saling bekerja sama untuk mendapatkan pemasukan bagi keluarga. Ini terlihat dari beberapa keluarga Bajo di Pulau Saponda, salah satunya tercermin dalam keluarga Suharmin.
Seperti pada Sabtu 4 Maret 2021 dini hari sekira pukul 01.00 tiba-tiba angin bertambah kencang diikuti hujan lebat, ombak meninggi, suara gelegar petir menggema. Kombinasinya seolah menyelimuti Pulau Saponda, salah satu pulau yang hanya seluas 7 hektare di wilayah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Karena kondisi itu, Suharmin langsung terbangun padahal belum sampai sejam tertidur. Ia lalu meraih mantel hujan dan senter, memakainya dengan tergesa dan langsung menuju belakang rumah di mana perahu ketintingnya berlabuh. Ia langsung menimba air yang masuk dalam perahu fibernya itu.
Rumahnya adalah perpaduan yang di depannya beton sedangkan di bagian belakang berbentuk panggung dari kayu. Tiang rumah bagian belakang itu tepat berada di bibir pantai berpasir. Angin kencang yang meningkatkan intensitas gelombang ombak sangat terasa di rumah itu.
Di belakang rumahnya itulah perahunya selalu tertambat. Dalam kondisi cuaca buruk, nelayan seperti Suharmin harus menjaga perahu sebagai antisipasi mesin terendam air laut. Mesin yang terpasang permanen di bodi membuatnya tak mudah dibongkar-pasang begitu saja.
Malam hingga subuh itu, pria paruh baya berusia 43 tahun itu terus terjaga sambil berulang kali ke belakang rumah memastikan perahunya aman. Nantilah pagi harinya ketika cuara agak membaik, barulah ia tidur meski hanya sekitar tiga jam saja.
Dari pagi hingga menjelang siang, cuaca yang tak kunjung cerah membuatnya tak pergi melaut. Dia di rumah saja merampungkan jaring cumi yang sudah beberapa pekan disambungnya. Padahal, bila pergi melaut maka potensi pendapatannya di hari itu bisa Rp300 ribu sampai Rp500 ribu.
Sehari-hari, Suharmin memang fokus melaut untuk menghidupi keluarganya termasuk kemenakan sang istri yang tinggal di rumahnya. Total ada 10 orang dalam rumah itu yakni Suharmin, istri, dan dua anak mereka, ditambah enam orang kemenakan. Belum lagi, dia juga membiayai anak tertuanya yang merupakan mahasiswi semester akhir di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
Kondisi itu membuat Suharmin benar-benar menghabiskan kesehariannya hanya untuk bekerja. Kecuali hari Jumat, ini adalah hari libur para nelayan Pulau Saponda. Pada hari yang sakral ini selain beristirahat dan membersihkan kapal dari lumut, mereka berbondong-bondong ke masjid beribadah Jumat.
Selain hari Jumat, setiap pagi sekira pukul 07.00 Suharmin keluar melaut dengan menggunakan perahu ketinting. Alat pancing gurita dan ikan turut menyertainya, termasuk satu unit kompresor sebagai alat bantu menyelam.
Kompresor itu untuk membantunya bernafas saat menyelam di dalam air. Dengan menyelam, ia bisa menombak gurita dan sotong serta mengambil kerang dan teripang. Dia enggan memikirkan dampak buruk dari penggunaan kompresor itu, yang jelas sangat berguna bagi dirinya.
Modal yang harus dikeluarkannya sekali melaut dapat dihitung berdasarkan apa yang dibawanya. Rokok sebungkus (Rp25 ribu), sebotol minuman kopi (Rp5 ribu), minuman manis rasa jeruk (Rp5 ribu), sebungkus nasi kuning (Rp10 ribu), 5 liter bensin (Rp75 ribu) untuk mesin ketinting dan kompresor. Totalnya Rp120 ribu.
Ia biasanya akan kembali ke rumah pada sore hari, tapi bila ikan sedang rakus-rakusnya menyambar pancingan maka ia bertahan di lautan hingga malam. Pilihan lainnya, ia pulang pada siang hari lalu kembali lagi melaut dari sore hingga malam.
“Pernah selama tiga bulan saat makan ikan di rumpon (tempat berkumpul ikan yang sengaja dibuat orang) saya selalu pergi sore pulang pagi,” ujar Suharmin sembari menjahit jaring cumi-cumi di ruang belakang rumahnya.
Setiap kali pulang melaut, ikan dan gurita hasil tangkapannya langsung diserahkan ke sang istri, Darma. Kemudian sang anak mengantarnya ke pengepul di pulau itu. Pada hari itu juga langsung dibayar dan uang itu dipegang sang istri selaku pengatur keuangan rumah tangga.
Pendapatan yang dapat diraihnya, apalagi saat ini bulan Maret terbilang tinggi. Pada bulan ini sedang musim gurita yang harganya berkisar di Rp15 ribu sampai Rp50 ribu per kilogram (kg) sesuai ukuran berat gurita. Semakin berat maka semakin bagus harganya, beda dengan ikan yang bukan hanya tergantung berat tapi juga jenisnya.
Dalam sekali melaut, ia bisa mendapatkan 5 sampai 10 kg gurita, belum lagi bila ada hasil dari memancing ikan. Dapat ditaksir pendapatannya dalam sekali melaut adalah Rp200 ribu sampai Rp500 ribu. Jika sedang beruntung, tentu dengan kondisi cuaca yang mendukung, ia bisa mengantongi Rp1 juta dalam sekali melaut.
Pernah juga ia mendapat hasil hingga Rp10 juta hanya dalam waktu dua pekan. Namun kadang ia merugi karena hasil tangkapannya sangat sedikit, yang lakunya hanya Rp50 ribu padahal sudah seharian di laut.
Kondisi tak ada pendapatan adalah ketika ia tak pergi melaut bila pagi hari mulai hujan atau cuaca buruk. Apalagi terjadi anomali cuaca seperti yang terjadi pada Februari dan awal Maret 2023 ini, di mana ia perkirakan akan bagus tapi tiba-tiba hujan lebat dan angin kencang yang memicu gelombang tinggi.
Akibat cuaca yang tak menentu, ia pernah 7 hari berturut-turut tak melaut. Kondisi-kondisi ini membuatnya harus memakai uang simpanan sang istri yang tersisa untuk segala kebutuhan sehari-hari.
Sang istri, Darma (40) mengakui kondisi cuaca menjadi penghalang satu-satunya bagi suaminya untuk melaut. Dengan jumlah dalam rumah yang mencapai 10 orang, membuat pendapatan yang ada hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Darma sendiri tak tinggal diam di rumah tetapi juga turut membantu dengan berjualan jajanan di depan rumahnya. Jajanan yang dijual di kiosnya biasanya es putar, mi instan siram dan pada kesempatan lain ia memilih menjual siomai dari ikan tangkapan sang suami. Keuntungan bersih Rp50 ribu per hari bisa didapatnya.
Bila merinci pengeluaran keluarga ini dalam satu hari, bisa dimulai dari kebutuhan beras 6 liter (Rp66 ribu), kopi susu saset 10 bungkus (Rp15 ribu), 2 bungkus rokok (Rp50 ribu), dan 5 liter bensin (Rp75 ribu). Bila ditambah dengan kebutuhan lainnya seperti air galon, gas, sembako, dan jajan anak-anak maka pengeluaran mereka per hari berkisar di angka Rp250 ribu hingga Rp300 ribu.
Total jumlah itu hampir setara dengan pendapatan mereka per hari. Makanya ketika hasil tangkapan kurang daripada modal atau tak melaut berhari-hari menyebabkan ekonomi keluarga ini defisit. Darma tak memungkiri hal ini.
Ketika pendapatan keluarga ini terganggu maka sebagai istri, Darma mensiasatinya dengan berhemat. Bila sudah tak ada uang sama sekali untuk membeli beras, Darma mengutang di kios yang akan dibayar ketika sang suami mendapatkan hasil dari melaut.
“Kalau lagi susah rezeki biasa saya bilang ‘eh janganme ko merokok, ini anak-anak mau belanja apa’, makanya ta dua hari dia (suami) tidak merokok. Susah mencari kalau keras ombak dengan hujannyami itu, anginnyami. Kalau sudah begitu kadang sampai 7 hari dia tidak keluar, jadi apa kita mau makan ini,” tutur Darma.
Karena kondisi ekonomi yang seperti itu, makanya dulu ia melarang putrinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Darma khawatir tak sanggup membayar sewa kos dan SPP serta kebutuhan kuliah. Apalagi, ada beberapa anak di pulau itu yang sudah ditanggung oleh orang tuanya tapi pada akhirnya tak menyelesaikan kuliah.
Karena dukungan sang ayah maka anak pertama mereka itu dapat berkuliah hingga kini sudah memasuki semester akhir. Untuk menanggulangi biaya kuliah, suami istri ini selalu menyisipkan pendapatan mereka khusus untuk sang anak.
Namun kadang, Darma agak kewalahan dalam mengatur keuangan sebab tempatnya menyimpan uang hanya di dompet. Sebagaimana warga Pulau Saponda lainnya, mereka tidak mengandalkan bank atau lembaga keuangan lainnya karena harus berurusan jauh ke Kota Kendari.
Dengan hanya menaruhnya di dompet, Darma sulit memisahkan porsi masing-masing kebutuhan prioritas dan tidak. Jadinya, simpanan yang ada akan selalu terganggu, yang ujung-ujungnya berdampak pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan pembayaran kuliah sang anak.
Terkait kemenakan yang jadi tanggungan mereka, pasangan suami istri ini mengaku memang sudah seperti itu kebiasaan Suku Bajo. Mereka tidak bisa meninggalkan anak dari pihak keluarga yang ayah/ibunya meninggal atau sudah tidak ditanggung orang tuanya.
Pasangan ini memang asli Suku Bajo, Darma merupakan Bajo dari Saponda sedangkan Suharmin Bajo dari Sulawesi Tengah. Mereka tercatat sebagai Warga Desa Saponda Darat, salah satu dari dua desa di pulau itu.
Ekonomi Rentan
Tak seperti Suharmin yang masih punya pendapatan dari aktivitas melaut, sudah tiga bulan belakangan ini Habrin tak bisa lagi melaut. Bersama sang istri yang sama-sama Bajo, pria berusia 46 tahun ini juga tinggal di Pulau Saponda, Desa Saponda Laut.
Habrin awalnya hanya menderita diabetes, tetapi dirinya masih tetap bisa pergi melaut. Namun hasil diagnosis dokter rumah sakit di Kota Kendari, sakit Habrin bertambah yakni sakit paru-paru dan jantung yang membuatnya tak bisa melaut sama sekali.
Dulunya, Habrin sangat rajin melaut, bisa dua hingga tiga kali turun melaut dalam satu hari dan hanya libur pada hari Jumat. Perahu ketinting, kompresor, peralatan hingga pendapatannya kurang lebih sama dengan Suharmin, yang mana kalau sedang beruntung pendapatan juga bisa mencapai Rp1 juta per hari.
Namun, Habrin mengakui keluarga Bajo seperti mereka tak bisa mengelola keuangan dengan baik. Meskipun penghasilan tinggi dalam satu hari maka akan habis hari itu juga, persoalan hari esok adalah masalah lain.
“Penyakitnya kita orang Bajo sudah itume. Itu rahasia dalam rumah tangga tapi memang faktanya begitu. Inimi yang selalu saya sarankan sama kamorang (keluarganya) kalau ada rezeki sedikit coba-coba itu mata dikasi ‘buta’ sebelah, jangan dikasi melihat semua apa-apa yang bisa dibeli,” tutur Habrin di kediamannya, 1 Maret 2023.
Karena tak bisa mengatur uang dengan benar, maka efeknya sangat dirasakan Habrin saat ini mana kala tak lagi mempunyai sumber pendapatan. Padahal, kata dia, seandainya dulu ada uang yang disisipkan (ketika usia muda dan anak masih kecil) untuk investasi maka pastilah akan sangat membantu dalam kondisi seperti saat ini.
Sang istri, Nurming juga sangat terpengaruh dalam pekerjaannya sehari-hari karena biasanya ikan tangkapan sang suami diolahnya menjadi ikan asin untuk dijual. Kadang juga bila ada modal, ia membeli ikan segar lalu membuatnya jadi ikan asin.
Namun selama suaminya sakit, modalnya telah habis untuk biaya berobat. Meski ada asuransi jaminan kesehatan dari pemerintah, tapi tetap saja untuk berobat ke luar pulau butuh biaya perjalanan dan lain sebagainya.
Kondisi ini membuat sang istri Nurming (41) benar-benar terpukul dan sehari-hari hanya melakukan pekerjaan rumah tangga di dapur. Belum lagi ada kebutuhan anaknya yang masih sekolah kelas 2 Madrasah Aliyah dan satu lagi yang sedang kuliah membutuhkan biaya.
“Biasa kalau itu anak-anak minta dikirimkan uang untuk biaya komite, SPP, belanjanya, kadang saya ndak rasa itu air mataku (keluar),” ujar Nurming menerawang.
Mereka saat ini terbantu dengan pemberian dari anak pertamanya (sudah berkeluarga) yang melaut dengan menggunakan perahu ketinting milik Habrin. Selain itu, lingkungan yang memiliki budaya berbagi turut membuat mereka bisa bertahan, misal ada pemberian hasil melaut dari tetangga atau dari keluarga mereka.
Pendidikan Belum Prioritas
Pola pikir masyarakat Pulau Saponda belumlah mengutamakan aspek pendidikan sebagai hal yang utama tapi hanya sebagai sampingan. Mereka mengutamakan pergi melaut untuk mendapatkan uang, yang tentu hasilnya membantu penghidupan keluarga.
Oleh karena itu, Kepala SMP Satu Atap 2 Soropia, Suaib Doe (56) mengatakan pihaknya selalu berusaha melakukan pendekatan agar para siswa bisa menyelesaikan pendidikannya. Pihak sekolah juga tidak terlalu berkeras pada siswa seperti sekolah pada umumnya.
“Orang tua juga tidak peduli karena kalau anaknya sudah bisa pergi melaut maka lebih baik mencari uang. Alat ukurnya itu, kalau siswa baru di kelas VII banyak itu sekitar 40, tapi saat kelas VIII dan kelas IX mulai terus berkurang karena usianya mulai dewasa sudah bisa pergi cari uang,” ujar Suaib di ruang kerjanya, 6 Maret 2023.
Jumlah siswa yang putus sekolah saat SMP dapat dilihat melalui jumlah siswa yang saat ini duduk di kelas IX yakni 27 orang, padahal dulu ketika di kelas VII jumlahnya sekitar 40 orang. Suaib mencermati yang banyak berhenti sekolah adalah siswa laki-laki karena sudah bisa melaut.
Sementara jumlah siswi yang berhenti sekolah tergolong hanya beberapa, biasanya karena alasan pernikahan dini. Para siswi ini berhenti saat duduk di bangku kelas VIII dan IX. Khusus yang menikah saat kelas IX, pihak sekolah mengupayakan agar bisa lanjut sampai menerima ijazah.
Kompleks gedung SMP itu bersatu dengan SD yang dikelilingi oleh pagar yang sama. Sementara sekolah jenjang SMA sederajat tidak ada di pulau ini, sehingga bagi mereka yang hendak lanjut pendidikan harus keluar pulau.
Akses SMA yang jauh juga ini membebani para orang tua untuk pembiayaan sehingga lebih mendukung anaknya pergi melaut untuk mendapatkan uang. Namun kata Suaib, terdapat sejumlah anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA, bila dipersentasekan sekitar 80 persen.
Mereka yang lanjut ke SMA biasanya lanjut ke Kelurahan Toronipa, tepat di daratan utama, yang masih wilayah Soropia. Masyarakat pulau Saponda banyak memiliki keluarga di Toronipa sehingga bisa dimintai tolong untuk tempat tinggal.
Suaib mengungkapkan sudah banyak alumni yang ke jenjang sarjana dan ada juga yang menjadi polisi dan tentara, bahkan ada satu orang yang menjadi dokter. Oleh karena itu, Suaib menganggap secara kecerdasan anak-anak dari pulau Saponda sebenarnya dapat bersaing, hanya perlu dorongan saja untuk menyadarkan pentingnya pendidikan kepada orang tua dan anaknya.
Terkait tingkat pendidikan warga Saponda, Kepala Desa Saponda Darat Baharuddin mengatakan memang di pulau itu banyak yang tamatan SD, mereka adalah warga yang berusia 40 sampai 50 ke atas. Sementara usia 30-an banyak tamatan SMP dan SMA, sedangkan usia 30-an ke bawah mulai banyak yang melanjutkan pendidikan sarjana.
“Usia 40 tahun ke atas itu dulu mereka tidak lanjut sekolah karena keadaan ekonomi. Kedua, karena belum terpanggil ke situ. Kalau sekarang anak-anak sudah bersemangat, termasuk orang tuanya mendukung anaknya. Di tahun 2019, 2020, sampai 2023 banyakmi anak-anak yang lanjut pendidikan,” ujar Baharuddin di kediamannya, 4 Maret 2023.
Masalah Kesehatan yang Muncul
Kondisi lingkungan dan kebiasaan tak sehat masyarakat Pulau Saponda menimbulkan berbagai dampak penyakit. Hal ini diungkapkan oleh Syamsul, perawat dari Dinas Kesehatan Konawe yang bertugas di Pos Pelayanan Desa (Polindes) Saponda Darat dan Polindes Saponda Laut.
Pria yang sudah bertugas 6 tahun di pulau itu, mengungkapkan penyakit yang banyak diderita masyarakat adalah hipertensi, kolesterol tinggi, dan hiperglikemia atau gula darah tinggi. Jumlah tertinggi adalah hipertensi yakni mencapai 40 persen pada mereka yang berusia 50 tahun ke atas.
Hipertensi juga selalu disertai dengan kolesterol tinggi. Syamsul menyebut hanya 5 persen hipertensi yang tak disertai kolesterol tinggi. Untuk penyakit kolesterol tinggi ini terdapat pada 30 persen warga yang berusia 30 tahun ke atas.
Sementara hiperglikemia terdapat pada 2 persen warga yang berusia 45 tahun ke atas. Kadar gula darah yang tinggi inilah yang diduga turut jadi pemicu diabetes (selain faktor genetik). Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, terdapat 6 warga yang meninggal karena sakit diabetes.
Syamsul mengamati masalah kesehatan itu muncul karena gaya hidup, mulai dari asupan makanan yang kurang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Masyarakat lebih banyak mengkonsumsi ikan dari yang mentah, matang, kering, hingga yang sudah diasinkan.
Mereka juga suka minuman manis, seperti teh dan kopi dengan campuran gula berlebih, bahkan nelayan setempat rata-rata mengkonsumsi minuman manis ini lebih dari tiga gelas per hari. Ini diduga akibat sumber air di pulau itu yang payau sehingga mereka cenderung suka minuman manis.
Penyakit lain adalah cacingan yang paling sering diderita anak-anak usia 1-17 tahun, bahkan yang mengalaminya hampir 80 persen. Syamsul mencermati penyebabnya adalah tidak menjaga kebersihan. Misalnya setelah main pasir tidak cuci tangan langsung makan.
“Kadang mereka tidur-tiduran di pasir, sementara ini pasir kayaknya banyak cacing parasitnya. Saya selama tugas dari rumah sakit sampai puskesmas, baru di sini saya dapat anak-anak cacingan sampai keluar dari hidung dan mulut,” ujar Syamsul.
Kendati begitu, cacingan itu tidak sampai menyebabkan sakit parah dan sudah jadi hal biasa. Bila sudah sakit sampai memuntahkan cacing, barulah anak-anak itu datang ke Polindes. Syamsul akan selalu memberikan obat cacing yang hasilnya selalu efektif.
Selain itu, Syamsul menyebut banyak korban yang bagian tubuhnya terluka akibat terkena ledakan bom ikan. Selama 6 tahun bertugas, ia menemukan 10 orang terluka akibat bom, yang 2 di antaranya sampai mengalami putus tangan.
“Kalau putus jari-jari itu ada beberapa orang. Ini biasanya terjadi saat perakitan bom, saat diikat-ikat bahannya tiba-tiba meledak,” ungkap Syamsul.
Masalah lain adalah penyakit dekompresi atau kram akibat menyelam di laut terlalu dalam. Kram ini karena nitrogen atau gas lain membentuk gelembung yang menyumbat pembuluh darah akibat dari perubahan tekanan air yang terlalu cepat. Penderita penyakit ini di Pulau Saponda mirip struk berupa kelumpuhan setengah badan.
Jumlah kram ini menurut Samsul sangat tinggi, bahkan hampir setiap bulan ada nelayan yang terkena. Misalnya pada akhir Februari 2023 ada satu orang nelayan yang kram, lalu pada awal Maret ini satu lagi yang terkena kram.
“Nelayan yang terkena pada akhir Februari itu yang parah, dia sampai dibawa ke Rumah Sakit di Kendari. Kalau yang awal Maret ini tidak dibawa ke rumah sakit, hanya dirawat di sini secara tradisional,” ujar Syamsul.
Tingkat keparahan mereka yang terkena kram bervariasi mulai dari yang sembuh total, lumpuh setengah badan, hingga ada yang meninggal dunia. Dalam kurun waktu 6 tahun, Syamsul menemukan ada dua orang nelayan Saponda yang meninggal karena kram.
Para nelayan terkena kram ketika menyelam di kedalaman 30 meter yang suhunya dingin. Mereka terkena kram biasanya karena keasyikan menyelam hingga berkali-kali, meskipun lelah masih saja memaksa diri karena melihat hasil masih banyak.
Terkait tingkat kematian ibu melahirkan dan bayi serta masalah gizi anak, Syamsul hanya menemukan kasus kematian bayi baru lahir yakni satu kasus pada tahun 2022 lalu. Ia menduga karena ibunya yang masih berusia di bawah umur, sekitar 15 tahun.
“Itu saja. Kalau yang lain-lain tidak ada. Rata-rata juga kalau orang melahirkan dia menyeberang,” ujar Syamsul.
Kepala Desa Saponda Darat, Baharuddin mengungkapkan kematian bayi itu yang banyak terjadi di bawah tahun 2010 karena belum ada pelayanan kesehatan Polindes. Masalah itu teratasi setelah ada Polindes dan pihak Puskesmas setiap Jumat turun ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Sebanyak 7 orang kader Posyandu juga sudah diangkat dari warga setempat. Kader-kader inilah yang siaga menangani ibu hamil dan bayinya. Hal ini menurut dia efektif bagi ibu hamil mengontrol kesehatannya, begitu pula bagi bayi.
Pola Bertahan Hidup
Bila harga ikan sedang mahal bertepatan dengan hasil tangkapan nelayan meningkat maka Pulau Saponda jadi “kampung dolar” di mana penghasilan masyarakatnya melimpah. Namun hal ini tidak dibarengi dengan pengelolaan keuangan untuk jangka panjang.
Kepala Desa Saponda Laut, Taris mengatakan ketika musim gurita atau ikan-ikan tertentu, seorang nelayan bisa berpenghasilan Rp10 juta per pekan. Namun, mayoritas orientasi masyarakat setempat adalah yang penting bisa makan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
“Kan di sini ada musim-musimnya, kalau lagi kena di sini kaya kampung dolar, beli ini beli itu. Eh begitu tiba susah, jual kembali. Belum ada pikiran bagaimana kalau tiba-tiba sakit atau bagaimana untuk biaya pendidikan anak nantinya,” ujar Taris di kediamannya, 4 Maret 2023.
Namun begitu, menurut dia jiwa sosial masyarakat setempat sangat tinggi. Kalau ada yang sakit apalagi tidak mampu maka warga secara gotong-royong membantu, ada pula yang patungan untuk biaya pengobatan dan ada yang pinjamkan perahunya.
Solidaritas lain terlihat apabila ada nelayan yang mengalami kecelakaan laut, misalnya yang rusak mesin di tengah laut atau yang perahunya terbalik akibat tersapu ombak. Seluruh nelayan di pulau itu langsung menghentikan pekerjaannya dan secara beramai-ramai mencari korban.
Warga juga tidak sungkan-sungkan untuk berbagi makanan baik ke sesama mereka maupun terhadap orang asing yang datang ke pulau itu. Kebiasaan ini membuat warga di pulau ini tak kesulitan kalau hanya persoalan makanan.
Dalam menghadapi cuaca keras pada musim angin barat di bulan Juni, Juli, dan Agustus masyarakat sudah sejak dulu membangun kebiasaan dengan menyimpan bahan makanan kering mulai dari ikan, singkong, dan sagu. Pada bulan-bulan itu jadi begitu krusial karena ombak tinggi dan kencangnya angin membuat banyak nelayan tak melaut.
Dengan kebersamaan dan adanya cadangan makanan kering itu sepanjang tahun masyarakat bisa terjamin kelangsungan hidupnya. Sehingga kata Taris, yang masih perlu dibangun adalah kesadaran masyarakat terhadap lingkungan serta pentingnya pendidikan dan pengelolaan keuangan.
Tetap dalam Garis Kemiskinan
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), UHO, Prof. La Ode Muhammad Aslan menjelaskan pola hidup masyarakat Bajo di mana-mana hampir sama yakni konsumtif atau boros. Pemikiran mereka sangat sederhana, sesederhana tingkat sekolahnya.
“Manfaatnya sekolah itu bukan menghabis-habiskan uang tapi bagian dari investasi masa depan. Kekalahan orang Bajo di situ, sekolah tidak dianggap penting, padahal ilmu itu penting,” ujar Aslan yang pernah meneliti pola hidup suku Bajo di Desa Bungin Permai, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan.
Di tengah perkembangan teknologi masa kini, Aslan menyebut pola hidup masyarakat Bajo tetap tak berubah, malah makin bertambah boros. Dalam penelitiannya, Aslan menemukan hal-hal fantastis yang tidak masuk akal.
Misalnya seorang anak belanja jajan dalam sebulan menghabiskan uang Rp10 juta, yang berarti dalam satu hari menghabiskan uang Rp300 ribu. Ini belum termasuk pengeluaran saudara-saudaranya, ibunya, dan ayahnya.
“Ini mungkin tidak seekstrem yang lain tapi minimal menggambarkan borosnya anak-anak Bajo. Mungkin anaknya ini boros begitu karena melihat bapaknya dan mamanya. Orang Bajo itukan kalau ada yang dilihat beli, walaupun sebenarnya tidak butuh,” ujar Aslan di ruang kuliah FPIK Kampus UHO, 14 Maret 2023.
Pola hidup yang boros itu jadi penyebab mayoritas Bajo tetap hidup dalam garis kemiskinan. Padahal, lanjut Aslan, secara penghasilan sangat luar biasa, bukan saja dari menangkap ikan tapi ada juga yang buka kios hingga menyewakan perahu ketintingnya.
Aslan menyebut masyarakat Bajo memang tahu dagang tapi tidak tahu menyimpan uang. Realitasnya banyak masyarakat Bajo tidak menghargai bank sehingga tidak ada yang menyimpan uangnya di bank. Ini akan menjadi masalah ketika hendak meminjam uang di bank karena tidak memiliki rekening di bank itu.
Pola hidup Bajo ini membuat mereka sangat sedikit yang dapat meraih kemapanan finansial atau kaya. Memang sudah ada yang merubah pola hidupnya sehingga bisa lebih baik tapi jumlahnya di bawah 20 persen atau tak dapat mewakili populasi.
Untuk penanganan masalah pada masyarakat Bajo, Aslan mengatakan yang perlu adalah penanganan kemiskinan secara berkelanjutan meski butuh waktu lama. Program pemerintah yang biasanya hanya menurunkan bantuan langsung tunai tidak bisa menjadi solusi. Ini hanya meredam sementara masalah masyarakat sehingga tidak ada perubahan.
Berbicara solusi ini, Aslan juga menyoroti soal banyaknya penelitian disertasi tentang Bajo tapi tidak memberi implikasi pada peningkatan kesejahteraan orang Bajo. Kata dia, banyak doktor lulusan UHO yang meneliti tentang Bajo tetapi hanya mengambil data dan tidak punya arti apa-apa.
Antropolog UHO, Danial juga berpandangan bahwa sebagian masyarakat Bajo memang konsumtif, khususnya anak-anak muda. Namun soal konsumtif ini adalah hal yang tak bisa dilarang secara institusi ataupun imbauan.
Masalah konsumtif ini jadi masalah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan hanya Bajo. Negara Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta lebih menjadi pasar bagi negara-negara lain. Keadaan ini menjadi gambaran bahwa tidak terlalu ada perbedaan antara Bajo dan masyarakat perkotaan.
Mengenai kesadaran menabung, lanjut dia, memang agak sulit karena masyarakat Bajo umumnya berada dalam situasi ketergantungan. Ketergantungan ini dalam hal mengambil panjar di pengepul ikan, tak melaut karena cuaca ekstrem, hingga soal para orang tua yang tak bisa membatasi anaknya jajan di warung.
“Begitu ada hasil tangkapan mulailah dia bayar semua. Akhirnya hasil tangkap itu habis juga dalam sehari,” ujar Danial yang pernah dua kali terlibat dalam riset tentang sosial ekonomi masyarakat pesisir, yang salah satu lokasi penelitiannya di Pulau Saponda.
Terlepas dari berbagai masalah yang ada, Danial kagum dengan tipikal masyarakat Bajo yang punya kemauan kuat untuk bekerja dan menghasilkan uang. Mereka tidak berpangku tangan berharap uluran tangan dari orang lain.
“Yang saya salut, suami dengan istri itu bekerja sama-sama, dan saling menutupi. Memang filosofi hidupnya seperti itu, coba amati ketika suami pergi melaut maka begitu air surut si istri itu pergi cari kerang atau mereka kerja bikin ikan kering,” ujar Danial. (***)