ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sosok wanita tangguh dan berani yang menjadi ciri khas pahlawan perempuan di Indonesia mungkin cocok disematkan pada Ose.
Edisi hari Kartini kali ini zonasultra akan menceritakan perjuangan Ose yang menjadi pedagang sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama anaknya.
Ose itulah nama dari pedagang sayur mayur yang bekerja mulai siang hingga malam hari. Usianya kisaran 70 tahun, bagi kita usia tersebut adalah usia dimana sebagian besar lansia menghabiskan waktu untuk beristirahat di rumah.
Namun persepsi itu tak sejalan dengan pemikiran wanita yang mempunyai 6 orang anak ini. Sebab, sudah lebih dari 50 tahun ia melakoni pekerjaannya dengan berdagang di dua pasar tradisional di Kendari yakni Pasar Korem dan Pasar Lawata.
Tim redaksi mencoba menemui Ose di lapak dagangannya, Jumat (20/4/2018) malam di Pasar Lawata. Dari kejauhan ia tak terlihat jelas sebagai pedagang sayur karena lokasi jualannya sangat gelap.
Mencoba menyapa, Ose pun membalas sapaan dengan senyuman kepada tim zonasultra. Waktu menunjukkan pukul 18.20 WITA ia terlihat sibuk mengatur jualannya seperti sayur kankung, bayam, sawi, kol, terong, tomat, bawang, cabai dan jenis sayuran lainnya. Dengan beralaskan karung dan sebuah lampu cas ia pun siap untuk berdagang.
Satu persatu pembeli pun datang menghampirinya, sebutan “Ina” menjadi panggilan khas yang membuka percakapan antara Ose dan pembeli. Ia terlihat semangat setiap melayani pembeli, sesekali ia memberikan pertanyaan kepada pembeli dan senyuman untuk sekedar mencairkan suasana.
Salah seorang pembeli Wati (29) warga Tobuha mengaku dirinya sering membeli sayur milik Ose. Menurutnya, wanita renta ini sangat baik dan ramah kepada pembeli sehingga ia senang ketimbang harus membeli ke pedagang lain yang ada di Pasar Lawata.
“Kalau saya harusnya dia istirahat dirumah, tapi kalau tidak ada juga yang carikan nafkah untuk makan mau diapa juga kasihan. Harusnya kalau anak-anaknya mengerti tidak dibiarkan ibunya,” jelas Wati.
Penuturan Ose, sudah banyak orang yang meminta dirinya untuk istirahat termasuk keluarga agar tidak lagi berdagang siang dan malam karena faktor usia. Tapi hal itu tidak ia hiraukan dan semakin semangat untuk berdagang.
“Saya masih kuat jalan, mataku masih terang. Kalau saya duduk duduk dirumah, sakit saya rasa lebih baik saya menjual,” tukasnya dengan nada semangat.
Sehari-hari ia keluar dari rumah sekitar pukul 10 pagi menuju Pasar Korem untuk mencari stok sayur yang akan dijual, kemudian pukul 12 siang ia mulai berdagang. Nanti selepas shalat magrib dirinya pun berpindah lokasi dagang di Pasar Lawata hingga pukul 10 malam, seperti itulah gambaran aktivitas sehari-hari Ose dalam mencari rezeki.
“Saya tidak sewa lapak karena mahal biayanya, jadi saya menjual keliling dan mencari tempat yang aman,” ungkap Ose.
Modal awal ia merintis usahanya ini merupakan tabungan miliknya sebelum sang suami meninggal dunia. Setiap hari modal yang ia habiskan sekitar Rp250 ribu hingga Rp300 ribu. Untung yang didapatkannya pun lumayan dan mencukupi.
Tips dalam berdagang, ia berusaha melebihkan jumlah dagangannya, misalnya besar kecilnya ikatan sayur, ia jauh berbeda dengan pedagang lain serta harga bisa ditawar. Pasalnya, ia menjual sesuai dengan hitungan berapa modal yang dia keluarkan.
Namun dalam urusan mencari rezeki, Ose sudah banyak menemui permasalahan mulai dari dagangan tidak laku terjual dan terpaksa harus dibagi ke tetangga ketimbang rusak, ia juga pernah dimaki dan diusir oleh petugas pasar Korem karena tidak membayar iuran.
“Kalau di Korem, saya pagi itu keliling saja di pasar nanti sudah siang jam 12 baru saya menjual. Pas saya ditagih saya bilang saya baru menjual siang masa kamu mau tagih saya dengan marah-marah, tapi akhirnya dia mengalah juga itu petugasnya karena saya marahi kembali,” jelas Ose sembari tertawa.
Kemudian kejadian lain saat berdagang di Pasar Lawata ia pernah diusir dan jualannya diangkut oleh Sat Pol PP, dengan terpaksa ia membiarkan perlakuan tersebut dan dirinya harus diamankan di Kantor Walikota.
Saat diamankan oleh Pampong Praja, Ose hanya meminta agar diberikan kebebasan untuk berdagang, pasalnya menjadi pedagang sayur merupakan usaha satu-satunya yang bisa dijalankannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Tapi itu semua telah dilewati Ose dengan semangat untuk terus berdagang, satu prinsip yang ia pegang teguh dalam hidupnya yakni selama ia masih kuat bekerja ia pun akan terus bekerja meski usianya sudah tak lagi muda.
Baginya, dengan berdagang juga dapat menghindarkan dirinya dari hal-hal negatif yang sebagian orang saat ini memilih untuk keliling meminta sumbangan ataupun meminta-minta di lampu merah dan pinggir jalan.
“Saya tidak ada niat mau seperti itu, saya berdagang saja biar laku berapa. Tapi Alhamdulilah kadang ada pembeliku yang kasih lebih uangnya untuk saya, ada juga biasa kasih saya beras, daripada saya minta-minta,” tukasnya.
Dari 6 orang anaknya, tiga orang sudah meninggal dunia dan sisanya perempuan Ati telah menikah dan tinggal di Luwuk, Sulawesi Tengah (Sulteng) bersama sang suami, kemudian laki laki dua orang yakni Gio yang juga telah menikah dan tinggal bersamanya di Mandonga, Lorong Pandawa bersebelah rumah dan anak bungsunya Boko merupakan teman hidupnya di rumah.
Sang bungsu sendiri tidak dapat melanjutkan kuliah dan hanya menamatkan diri di SMA Labibia beberapa tahun lalu karena tak ada biaya untuk lanjut sekolah dan saat ini ia juga belum memiliki pekerjaan.
Ia pun bersyukur kondisinya saat ini masih sehat dan tidak menderita penyakit yang serius, Ose mengaku hanya sering sakit kepala jika terlalu lelah bekerja. Untuk mengobatinya ia hanya perlu minum obat Antalgin.
Sayangnya tak banyak hal yang bisa diceritakan oleh Ose kepada zonasultra, mengingat usianya sudah lansia sehingga banyak masa mudanya yang ia sendiri sudah lupa. Ose hanya menuturkan ia buta huruf dan tidak tamat sekolah dasar.
“Saya buta huruf, tapi saya lancar bahasa Indonesia orang heran. Tapi saya pintar juga menghitung, kalau tidak sudah rugi saya menjual,” tuturnya. (A)