ZONSULTRA.COM, RUMBIA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai melirik potensi produksi pabrik pengolahan rumput laut yang terletak di Desa Laea, Kecamatan Poleang Selatan, Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal ini diketahui setelah KKP bersama tiga anggota DPD RI dan satu anggota DPR RI mengunjungi pabrik tersebut, Kamis (5/3/2020). Mereka adalah Amirul Tamim, Andi Nirwana Tafdil, dan Wa Ode Rabiah Al Adawiah selaku anggota DPD RI serta anggota DPR RI Tina Nur Alam.
Direktur Pengolahan dan Bina Mutu KKP, Trisna Ningsih mengatakan Bombana memiliki potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa. Salah satunya pada sektor budidaya rumput laut yang tentunya bakal menopang tingkat produksi pabrik yang dibangun sejak 2016 silam.
Baca Juga : Awal Maret, KKP Bakal Tinjau Pabrik Rumput Laut di Bombana
Kata dia, salah satu maksud kunjungan di daerah itu adalah melihat sejauh mana perkembangan pabrik rumput laut tersebut. Mulai dari sektor produksi, kemampuan bahan baku, dampak dari aktivitas hingga pemasaran.
“Dalam rangka menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Peta Panduan Pengembangan Industri Pabrik Rumput Laut untuk tahun 2018 hingga tahun 2021, Bombana menjadi salah satu target dan bahkan bakal menjadi pilot project dari enam pabrik rumput laut yang kami targetkan di Indonesia,” ungkap Trisna Ningsih usai meninjau pabrik tersebut.
Trisna Ningsih menyebutkan dari 9 pabrik rumput yang tersebar di seluruh nusantara, Bombana menjadi satu-satunya yang aktif dari tiga pabrik di Sultra, sedangkan pabrik rumput laut di Kabupaten Buton dan Buton Tengah masih tergolong mangkrak. Selain itu, tiga pabrik lainnya yang berada di Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Bone Sulawesi Selatan serta Luwuk Timur pun masih perlu dikembangkan.
“Bombana ini sangat potensial untuk menjadi percontohan bagi daerah lain. Sebab, ada kemauan dari pihak pengelola maupun pemerintah kabupaten untuk mengembangkannya,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei, lanjut Ningsih, pabrik rumput laut di Bombana masih memerlukan upaya penambahan bahan baku. Pabrik yang semestinya memproduksi 10 ton per hari itu hanya bisa menyerap dua sampai tiga ton per hari. Minimnya bahan baku itu tentunya bersumber dari kurangnya koordinasi pengelola maupun pemerintah daerah terhadap kalangan pembudidaya.
Saat menggelar tatap muka bersama kalangan petani rumput laut, pihak kementerian menyerap keluhan sejumlah petani, di antaranya ialah kurangnya fasilitas pembudidaya dalam usaha peningkatan hasil.
“Kita sudah saksikan bersama, keluhan-keluhan mereka (petani rumput laut). Jadi, kami pun siap memberikan bantuan. Dasar kami memberi bantuan adalah melihat latar belakang kegiatan, lalu diidentifikasi kesiapannya. Ketika potensi wilayah siap, tenaga kerja sudah diserap dengan baik, pasar dan teknologi maka semua akan lebih mudah. Bukan hanya di Bombana, tapi di daerah lain juga harus seperti itu,” terangnya.
Dikatakan Ningsih, ada dana yang disiapkan KKP untuk usaha mikro kecil senilai Rp3 triliun. Tinggal bagaimana daerah serta pengelola pabrik dan pembudidaya bisa bersinergi menjalin kemitraan yang baik, secara otomatis KKP akan memberikan bantuan.
Bupati Bombana Tafdil berkomitmen bakal menggenjot kinerja instansi terkait di sektor penguatan sinergitas untuk ribuan petani rumput laut di Bombana. Kata dia, potensi rumput laut di daerah yang ia pimpin dua periode ini mencapai 3.700 hektar yang tersebar di 17 wilayah pesisir.
Tafdil mengungkapkan dari jumlah itu, ada 2.500 hektar yang mulai digarap dan 1.000 hektar sisanya menjadi penopang produksi pabrik di Laea.
“Ini menjadi tugas penting bagi kami di daerah. Intinya, kami akan terus bekerja keras mendorong sektor budidaya rumput laut hingga benar-benar maksimal agar pabrik ini tidak kesulitan dalam menyerap bahan baku,” tandas Tafdil.
Pengelola pabrik pengolahan rumput laut Bombana, Guntur mengaku cukup kesulitan mendapat bahan baku. Sehingga, pihaknya mencari alternatif untuk menyerap hasil rumput laut dari beberapa daerah, salah satunya adalah hasil budidaya rumput laut dari daerah Muna.
Baca Juga : Produksi Melimpah, Marobo Jadi Pilot Project Pengembangan Rumput Laut di Muna
“Selama ini kan kami menyerap serta memproduksi dua jenis bahan baku yakni Cottoni chips dan Spinosum. Tapi, kualitasnya juga masih ada yang kurang bagus, makanya daerah Maginti dan sekitanya di Muna menjadi target kami juga. Minimnya bahan baku ini pun mempengaruhi produksi kami yang hanya bisa mencapai 2,4 sampai maksimun 4,8 ton per hari,” kata Guntur.
“Kami biasa mencapai 100 ton per bulan tapi karena kualitas yang tidak mumpuni, otomatis kami hanya bisa memproduksi di bawah 10 ton per hari. Kami pun menyerap bahan baku Cottoni dengan harga Rp16.000 per kilogram dan Spinosum dengan harga Rp9.000 per kilogram karena kualitas juga berbeda,” tambahnya. (b)
Kontributor: Muhammad Jamil
Editor: Jumriati