Karakter bangsa Indonesia yang harus dijaga hingga saat ini adalah semangat gotong royong. Semangat tersebut yang menghantarkan Indonesia sampai kedepan pintu kemerdekaan, bahkan dalam menentukan dasar-dasar negara pun tak luput dari gotong royong pemikiran berbagai komunitas.
Apalagi di era demokrasi saat ini, kita telah sampai pada masa dimana masyarakat dan sipil sudah mendapat ruang untuk berkolaborasi dalam membangun daerah bukan lagi sebagai objek pembangunan. Secara sadar masyarakat itu bergerak melakukan perubahan, dengan sedirinya membentuk kelompok dengan orang-orang yang memiliki tujuan dan minat yang sama, sehingga terbentuk sebuah komunitas yang peduli dengan permasalahan masyarakat.
Komunitas yang Kreatif
Banyak inovasi-inovasi yang dilakukan oleh masing-masing komunitas, sehingga memunculkan pengertian yang berbeda antara komunitas dan komunitas kreatif. Perbedaannya, komunitas adalah perkumpulan yang aktifitasnya hanya menggeluti disiplin komunitas dan hanya membahas internal komunitas saja. Sedangkan komunitas kreatif adalah selain berkomunitas, juga membangun konektivitas ke seluruh stakeholders, berjejaring, bersinergi, dan berkolaborasi. Setiap kegiatan yang dilakukan komunitas kreatif biasanya akan meninggalkan jejak fisik, jejak sosial, dan jejak ekonomi. Namun persamaannya adalah sama-sama memiliki karya, karena bukan komunitas jika tidak ada karya.
Komunitas berisikan anak muda ataupun orang tua yang memiliki kainginan untuk selalu belajar dan update dengan informasi dan teknologi. Antar anggota komunitas memiliki koneksi yang baik didalam maupun diluar kelompoknya. Setiap komunitas memiliki modal sosial yaitu mengikat antar sesama anggota kelompok, menghubungkan antara kelompok yang berbeda dan memiliki suatu ikatan antara kelompok yang lemah/tidak berdaya dengan kelompok yang kuat/berdaya. Anggota komunitas ini memiliki jiwa gotong royong yang kuat dalam membantu satu sama lain.
Sulawesi Tenggara saat ini, memiliki banyak komunitas kreatif yang muncul dalam menjawab permasalahan daerah. Seperti Gerakan Kendari Mengajar (GKM) yang bergerak pada bidang Pendidikan untuk anak-anak pinggiran kota. Mereka semua bukan berasal dari disiplin ilmu Pendidikan, tetapi berbagai macam disiplin ilmu yang bergerak karena rasa kepedulian terhadap pendidikan di sekitar lingkungannya. Setiap daerah memiliki para pemuda yang peduli terhadap masa depan lingkungan sekelilingnya. Daerah konawe sendiri ada beberapa komunitas, salah satunya yang sudah muncul adalah komunitas Jendela Anak Konawe (JEJAK) yang bergerak di bidang pendidikan kreatif yaitu belajar sambil bermain bersama anak-anak disaat car free day Konawe. Masih banyak lagi komunitas kreatif yang ada di Sulawesi tenggara yang berkeinginan menjalin kolaborasi.
Kolaborasi
Kolaborasi adalah bentuk lain dari gotong royong. Saat ini ruang untuk gotong royong telah terbuka, semestinya pemerintah dapat memanfaatkannya dengan berkolaborasi bersama komunitas. Hal tersebut akan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan daerah.
Pemerintah mungkin dapat memulainya dengan cara yang sederhana yaitu membuka ruang diskusi atau pertemuan secara rutin dengan berbagai komunitas. Melalui aktivitas ini, pemerintah membuka diri dengan sangat demokratis dimana komunitas dan masyarakat dapat menyampaikan kritik dan ide membangun untuk kemajuan daerah. Disamping itu, pemerintah juga dapat mensosialisasikan visi dan misi serta program kerja kepada komunitas yang menjadi representasi dari masyarakat, karena anggota komunitas merupakan masyarakat luas.
Kolaborasi yang paling lemah tercipta antar pemerintah dan komunitas yaitu saling mengingatkan satu sama lain. Namun, kolaborasi yang kuat hasil dari pertemuan atau diskusi tersebut yaitu membentuk suatu rencana aksi/gerakan bersama antara pemerintah dan komunitas, masing-masing akan mengambil peran yang sesuai.
Komunitas kreatif merupakan aset yang berharga bagi pemerintah. Peran komunitas sangat besar dalam pembangunan daerah, karena selain menjadi penggerak mereka juga menjadi jambatan yang menghubungkan pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah juga harus memperhatikan perkembangan komunitas dengan memberikan ruang bagi komunitas untuk berekspresi bebas dan menjejaringkan mereka dengan para donator. Hal tersebut merupakan bentuk dari dukungan pemerintah untuk menjaga aset (komunitas) daerah. Disamping itu dukungan dan jejaring yang diberikan oleh pemerintah merupakan suatu modal yang utama dalam memulai kolaborasi antar pemerintah dan komunitas demi kemajuan daerah.
Mungkin kita bisa berkiblat pada kota Bandung yang memiliki banyak komunitas kreatif dan telah berkolaborasi dengan pemerintah untuk pembangunan daerahnya. Kita bisa mencontohnya untuk mendorong dan memicu lahirnya komunitas baru dari berbagai disiplin atau latar belakang. Mereka selalu kreatif dan bergerak bersama dengan pemerintah. Kota kembang tersebut juga menghimpun komunitasnya dalam Bandung Creative City Forum (BCCF) sebagai wadah seluruh komunitas yang ada di kota bandung. Wali Kota Bandung sebelumnya adalah mantan dari ketua BCCF.
Sekolah Kepemimpinan
Pemerintah mesti mendorong para pemuda untuk bergabung didalam sebuah komunitas atau membuat sebuah komunitas baru, agar mereka mengerti bagaimana menghadapi, beradaptasi dan bekerjasama didalam satu tim. Kelompok pemuda tersebut akan belajar mengelola pendanaan mereka secara mandiri, mencari pendanaan dari donator, atau membuat sebuah karya baru yang memiliki nilai lebih. Mereka dituntut untuk memiliki banyak ide dalam beraktifitas.
Ketika pemuda ikut terhimpun didalam sebuah komunitas, maka mereka sudah belajar dan praktek dimensi kepemimpinan diorganisasi. Modal itulah yang akan dibawa oleh generasi-genarasi muda saat ini untuk meneruskan estafet kepemimpinan di daerahnya masing-masing.
Sudah saatnya pemerintah kota dan kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara mulai melirik komunitas dimasing-masing daerah yang bisa mendukung pembangunan. Pemberdayaan komunitas sama halnya memperdayakan masyarakat. Kekuatan yang besar dalam mencapai kemajuan adalah gotong royong danatau/ kolaborasi antara pemerintah dan komunitas
Oleh: Legi Okta Putra
Penulis Merupakan Pengajar SD Latoma Utama Konawe