Ini adalah eranya standarisasi. Apa-apa harus ada standarnya. Sepeda motor saja ada standarnya, apalagi pekerjaan…hehehe. Standar upah, dan terutama standar kerja, harus jelas. Jika tidak jelas, maka itu meragukan. Layak untuk tidak dipercayai.
Jika itu barang, harus ada ukuran-ukuran baku yang menjadi pembeda. Jika itu profesi, maka orang-orang yang menjalaninya harus kompeten. Seseorang dinyatakan kompeten jika dia mendapat pengakuan dengan legalitas resmi. Tentunya, harus menjalani serangkaian pembuktian kompetensi.
Sejak kemarin malam hingga keesokan harinya, saya menghadiri –dan sedikit ambil bagian– dalam proses uji kompetensi profesi wartawan. Panitia pelaksananya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Tenggara (Sultra). Biaya penyelenggaraannya dari Dewan Pers Republik Indonesia.
Para pengujinya, wartawan-wartawan senior yang telah mengantongi sertifikat penguji. Dari berbagai provinsi di Indonesia. Pesertanya 54 orang. Uji kompetensinya terbagi tiga level. Muda. Madya. Utama. Jika disederhanakan kira-kira begini: yunior, senior, super senior.
Bocoran dari panitia pelaksananya, peminatnya membeludak. Angka 54 orang itu adalah daya tampung maksimal. Yang mau ikut jauh lebih banyak dari itu. Dari sini, kita bisa menangkap beberapa hal.
Pertama, para wartawan di Sultra punya semangat besar untuk meningkatkan kompetensinya. Berkeinginan untuk diukur kapasitasnya. Ini kabar baik bagi iklim pers di Bumi Anoa. Antusiasme menjalani ujian berarti kesadaran memperbaiki kualitas.
Mereka yang telah mengikuti proses uji kompetensi, bakal tahu, paham, ngerti –dan harus mau– mempraktikkan standar ideal kerja-kerja jurnalistik. Saking rigidnya standar uji kompetensi, bahkan cara bertanya saja dinilai khusus.
Jika selama ini beritanya bermodal narasumber tunggal, usai uji kompetensi mereka sudah insyaf. Bahwa cover both side itu harga mati. Ini penyakit kronis media kita, terutama media online.
Ketika memberikan sambutan dalam seremoni pembukaan uji kompetensi itu, saya menangkap ada sebentuk keprihatinan dari Sekretaris Daerah Provinsi Sultra Ibu Nur Endang Abbas, yang menyatakan bahwa bukan kecepatan yang utama dalam pemberitaan, melainkan ketepatan dan akurasi dari pemberitaan.
Dalam dunia digital saat ini, kecepatan memang sebuah keniscayaan. Tapi apalah arti sebuah berita yang cepat terbit kalau kemudian data dan informasinya tidak tepat. Berita cepat namun tidak akurat ini rawan menuai polemik. Berpotensi membuka ruang konlik. Menciptakan tengkar.
Bertengkar itu berat. Energi yang dihabiskan besar. Menyelesaikan pertengkaran itu ibarat berangkat dari titik minus menuju nol. Damai itu titik nol. Pembangunan yang esensial baru bisa dilakukan setelah damai tercipta.
Kalau kita sibuk berdamai: mendamaikan atau didamaikan, berarti kita baru bekerja untuk mencapai titik nol. Itu kerja yang belum apa-apa. Sementara orang lain sudah jauh, karena mereka memulainya dari titik nol, kita memulainya dari titik minus.
Antusiasme para jurnalis mengikuti uji kompetensi merupakan sebuah kesadaran kolektif untuk menjadi pekerja pers yang mengantisipasi atau menutup potensi tengkar.
Hal kedua, membeludaknya peserta menunjukkan bahwa lembaga pers berkembang pesat di daerah ini. Artinya, bahwa kendatipun pers sedikit berbeda dengan praktik usaha-usaha lainnya, pers tetaplah sebuah institusi bisnis yang punya andil dalam pertumbuhan ekonomi. Lembaga pers yang menjamur tentu berimplikasi pada perekonomian: penyerapan tenaga kerja, dan seterusnya.
Kendatipun, pertumbuhan pesat media –terutama online– dapat pula menjadi bumerang. Jika pers tumbuh subur semata hanya responsifitas atas kran kebebasan berpendapat atau keterbukaan informasi yang dibuka lebar oleh negara, namun abai pada aspek hitungan-hitungan bisnis, ini berbahaya.
Kita bisa terjebak pada apa yang saya sebut dengan pseudo journalism. Jurnalisme palsu. Wajahnya jurnalisme. Tapi kaki, tangan, dan tubuhnya bukan. Abai pada hitungan bisnis, akan menggiring praktik jurnalistik kita menjadi anarki dan bermuara pada kepalsuan tadi.
Jika semua wirausahawan pers membangun lembaga persnya semata mengandalkan belanja pemerintah untuk kelangsungan hidupnya, tidak menghitung potensi sektor swasta atau menggali ekonomi kreatif lainnya, maka napas lembaga pers akan megap-megap.
Sebab, belanja pemerintah itu begitu terbatas. Kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, jika hanya mengandalkan APBD/APBN, maka akselerasi pembangunan akan sangat lamban.
Kita semua tahu kalau sudah megap-megap. Lihat orang yang tenggelam, rumput rapuh pun akan jadi pegangan. Artinya, jebakan-jebakan jurnalisme palsu begitu menggoda untuk tetap bertahan.
Hal ketiga yang dapat ditangkap atas membeludaknya peserta uji kempentensi wartawan (UKW) ini adalah kode keras –salah satunya– ke saya, selaku pembantu pemerintah yang secara kelembagaan menjadi mitra strategis pers dan para pekerjanya.
Kira-kira kodenya berbunyi begini, “jangan Dewan Pers terus yang tangkis ini UKW. Supaya tidak membeludak kone…”. Baiklah kalau begitu…hehehe.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis adalah Kepala Bidang informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Sultra